Seperti di kota-kota lain, Manusia Gerobak juga bermunculan di Jakarta, untuk mengharap adanya berkah dan rezeki di Hari raya Idul Fitri atau Lebaran.
Beberapa hari jelang hari raya Idul Fitri atau Lebaran, mulai bermunculan sekelompok orang yang bekerja sebagai pemulung dan pengemis dengan membawa gerobak yang berisi anggota keluarganya. Mereka akrab dikenal dengan istilah manusia gerobak. Kehadiran manusia gerobak di tengah kota seperti Jakarta adalah untuk mengharap belas kasih dari orang-orang mulai dari sebelum hingga saat Lebaran tiba. Meski demikian, tidak semua manusia gerobak menggantungkan nasib dengan cara mengemis.
Agus (45 tahun), selama belasan tahun hidup di Jakarta, menghidupi anak istrinya dengan memulung barang-barang bekas. Ayah dari 5 anak ini berharap bisa mendapat pekerjaan selain memulung barang bekas.
Namun demikian Sutinah (40 tahun) istri dari Agus, sangat mendukung pekerjaan suaminya itu. Saat agus pergi bekerja, Sutinah memilih untuk tinggal di gubuk rumah mereka, sambil menunggu putra putrinya pulang sekolah. Meski hidup dalam kemiskinan, Sutinah bertekad untuk menyekolahkan anak-anaknya dan melarang mereka untuk mengemis.
Di Hari Raya Idul Fitri ini, Sutinah berharap ada keberkahan dari Allah Subahana Wa Ta’ala. Ia juga berharap pemerintahan Presiden terpilih Joko Widodo tidak menggusur gubuknya.
Sementara itu Soleh (55 tahun) yang juga berprofesi sebagai pemulung mengaku mendapat rp 50 ribu minimal perhari nya dari pekerjaannya sebagai pemulung sambil sesekali cuci mobil.
Soleh berharap pemulung tidak diusir dari Jakarta.
Agus dan Soleh adalah potret manusia gerobak yang bertahan hidup di belantara kota Jakarta dengan bekerja sebagai pemulung. Selain berharap pada sang presiden terpilih, mereka juga berharap agar ada setitik berkah di Hari Raya Idul Fitri.