Maraknya Kasus Perundungan Siswa, Potret Buram Dunia Pendidikan yang Nihil Nilai Kemanusiaan?

  • Fathiyah Wardah

ILUSTRASI - Seorang aktivis mengikuti acara memperingati Hari Perempuan Sedunia di Banda Aceh, Aceh, 8 Maret 2019. Seorang pengunjuk rasa membawa spanduk bertuliskan "Stop Bullying". (Foto: AFP/Chaideer Mahyuddin)

Kembali maraknya kasus perundungan dan kekerasan oleh siswa dan guru telah mencoreng dunia pendidikan Indonesia, yang dinilai nihil nilai kemanusiaan.

Seorang siswa SMP di Cilacap dipukuli beramai-ramai oleh kakak kelasnya akhir September lalu. Sementara seorang guru SMP di Lamongan mencukur rambut 14 siswinya karena dinilai tidak mengenakan jilbab secara benar. Rentetan perundungan dan aksi kekerasan di lingkungan sekolah yang melibatkan guru dan siswa terus muncul akhir-akhir ini bagai jamur di musim hujan.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) bahkan mencatat kasus perundungan di satuan pendidikan sejak bulan Januari hingga September 2023 ini saja mencapai 23 kasus. Dari 23 kasus itu, 50 persen terjadi di jenjang SMP; 23 persen di jenjang SD; 13,5 persen di jenjang SMA dan 13,5 persen lainnya di jenjang SMK. Perundungan di tingkat sekolah menengah pertama paling banyak terjadi, baik yang dilakukan peserta didik terhadap teman sebaya, maupun yang dilakukan pendidik terhadap siswanya.

Dari 23 kasus perundungan tersebut, seorang siswa sekolah dasar di Kabupaten Sukabumi dan seorang santri MTs di Blitar meninggal dunia. Seorang santri lain di Pasuruan yang dibakar teman sebayanya, mengalami luka bakar serius. Sementara seorang siswa SD yang kerap di-bully akhirnya gantung diri, meskipun pihak berwenang mengatakan penyebabnya bukan satu faktor tunggal.

ILUSTRASI - Edukasi kesehatan bagi anak-anak SMP N 1 Yogya. (Courtesy: KPCDI Yogya).

Dari 23 kasus itu tercatat ada pendisiplinan dengan kekerasan yang dilakukan guru terkait pelanggaran tata tertib sekolah, seperti kasus guru di SMPN I Sukodadi, Lamongan Jawa Timur, yang mencukur rambut 14 siswi karena tidak memakai ciput agar jilbab yang dikenakan terlihat rapi. Juga kasus guru SMPN I Sianjur Mula Mula di Samosir, Sumatera Utara, yang mencukur kepala seorang siswa dengan hanya menyisakan di bagian samping, yang berdampak pada psikologi korban yang merasa dipermalukan.

YCG: Pendidikan Harus Ajarkan Nilai-Nilai Kemanusiaan

Diwawancarai VOA hari Kamis (5/10), Direktur Eksekutif Yayasan Cahaya Guru (YCG), Muhammad Mukhlisin, mengatakan pendidikan seharusnya memberikan pemahaman yang utuh, bagaimana menjadi manusia yang baik dan juga menjadi warga negara yang baik. Hal itu bisa dilakukan jika sistem pendidikan atau guru-guru mengajarkan nilai- nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan, tambahnya, penting sekali untuk mencegah kekerasan dan perundungan.

“Bagaimana pendidikan kita mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan, bagaimana anak-anak itu bisa menghargai teman-temannya, menghargai perbedaan yang ada di dalam diirinya dan juga teman-temannya. Jika anak-anak sudah memahami apa itu perbedaan, kelebihan, kekurangan dirinya dan teman-temannyam, perbedaan keragaman yang ada dirinya dan orang lain, menghargai atau mengempati terhadap orang lain maka kami menyakini perundungan-perundungan itu mestinya tidak terjadi,” ujarnya.

FILE - Proyek percontohan untuk mengatasi masalah bullying di sekolah (courtesy SMPN 3 Sungguminasa).

Lebih jauh Mukhlisin menegaskan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dibanding pengetahuan. Pengetahuan dapat disampaikan lewat pengajaran di kelas dan berbagai kurikulum, tetapi nilai kemanusiaan harus dibangun secara terus menerus hingga membangun kesadaran penuh.

“Harus ditanamkan terus menerus, diajarkan secara terus menerus melalui berbagai pendekatan, misalnya melalui pendekatan kurikulum, melalui interaksi siswa dengan guru, mengembangkan interaksi-interaksi yang basis-basis nilai kemanusiaan di kegiatan-kegiatan non kurikuler,” tambahnya.

Dia mengapresiasi langkah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset.& Teknologi (Kemendikbudristek) yang pada bulan Agustus lalu mengeluarkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Salah satu poin penting dalam aturan itu adalah pembentukan satuan tugas di tingkat sekolah dan pemerintah daerah untuk mengatasi potensi perundungan. Tetapi menurut Mukhlisin, sedianya aturan menjelaskan dengan rinci terkait apa yang harus dilakukan satuan tugas itu, dan pendekatan apa yang harus diberikan kepada murid maupun orangtua.

Faktor Penyebab Anak Jadi Pelaku Perundungan

Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang anak melakukan tindak pidana sehingga membuatnya harus berhadapan dengan hukum atau berkonflik dengan hukum. Salah satu diantaranya adalah minimnya keteladanan dari orangtua atau orang dewasa di sekitar anak, mengingat perilaku anak 70 persen meniru orang dewasa di sekitarnya.

BACA JUGA: Federasi Serikat Guru Akui Perundungan di Pendidikan Masih Marak

“Faktor internal adalah faktor di mana anak ini diasuh dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga. Ketika lingkungan keluarga mengasuh anak dengan kekerasan, kalau salah dipukul, dicaci, dimaki, maka kemungkinan anak ini pun akan melakukan kekerasan serupa ketika dia berada pada lingkungan sekolah. Dia akan melampiaskan rasa marah dan rasa sakit yang selama ini dia terima kepada anak lain yang dinilainnya lebih lemah,” kata Retno.

Penyebab lainnya adalah faktor yang berasal dari lingkungan sekolah sendiri, faktor pergaulan atau faktor lingkungan masyarakat, termasuk faktor pengaruh dunia maya akibat penggunaan piranti canggih tanpa aturan atau edukasi, dan minim pengawasan orang tua. Anak yang kerap mengakses konten kekerasan, dapat saja meniru konten tersebut.

Your browser doesn’t support HTML5

Maraknya Kasus Perundungan Siswa, Potret Buram Dunia Pendidikan Nihil Nilai Kemanusiaan?


Mendikbudristek Dorong Peningkatan Kualitas Guru

Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan transformasi pendidikan tanpa upaya meningkatkan kualitas guru tidak ada artinya. Namun ia tidak merinci lebih jauh hal ini.

Menurutnya Peraturan Mendikbudristek disahkan sebagai payung hukum untuk semua warga sekolah atau satuan pendidikan. Peraturan ini lahir sebagai bentuk ketegasan semua pihak dalam menanganani dan mencegah kekerasan seksual, perundungan serta diskriminasi dan intotoleransi.

Regulasi ini juga membantu satuan pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang mencakup kekerasan daring, psikis dan lainnya yang berperspektif pada korban. [fw/em]