Presiden Filipina Ferdinand Marcos pada Senin (25/11) bertekad melawan ancaman yang sembrono dan meresahkan terhadapnya. Orang nomor satu Istana Malangcanang itu menegaskan sikapnya usai Wakil Presiden Sara Duterte mengancam akan menghabisi Marcos jika ia terbunuh.
Dalam pesan video bernada tegas yang ditujukan kepada rakyat, Marcos tidak secara spesifik menyebutkan nama Sara Duterte. Namun, ia menegaskan bahwa "rencana kriminal semacam itu tidak boleh dibiarkan."
Pertikaian sengit antara klan Marcos dan klan Duterte mencapai puncaknya pada Sabtu, ketika putri mantan Presiden Rodrigo Duterte yang dikenal berapi-api itu mengungkapkan bahwa ia telah memerintahkan seorang pembunuh bayaran untuk menghabisi Marcos, istrinya, dan ketua DPR jika dirinya terbunuh.
Dia mengungkapkan hal itu saat menanggapi pertanyaan selama konferensi pers daring tentang apakah dia takut akan keselamatannya. Sara Duterte tidak menyebutkan adanya ancaman khusus apa pun terhadapnya.
"Pernyataan yang kami dengar beberapa hari sebelumnya meresahkan," kata Marcos pada Senin. "Ada penggunaan kata-kata kasar dan ancaman yang sembrono untuk membunuh sebagian dari kita."
"Saya akan melawan mereka," ujarnya, sambil menambahkan bahwa kini ia tidak akan membiarkan upaya kriminal seperti itu begitu saja terjadi.
"Jika merencanakan pembunuhan presiden semudah itu, apalagi bagi warga biasa?” katanya.
Sara Duterte mengatakan kepada wartawan bahwa ia belum mendengar pernyataan Presiden, tetapi akan menanggapinya nanti.
Ancaman untuk membunuh Marcos muncul setelah perintah dari anggota parlemen untuk memindahkan kepala staf wakil presiden ke penjara, terkait dugaan penghalangan penyelidikan atas kasus penyalahgunaan dana publik yang melibatkan dirinya.
BACA JUGA: Pertikaian Memanas, Duterte Ancam Habisi Presiden Marcos dan KeluargaMenurut seorang pejabat senior Departemen Kehakiman, wakil presiden tidak memiliki kekebalan hukum.
Serangan Sara Duterte terhadap Marcos juga terjadi beberapa minggu setelah sang ayah, Rodrigo Duterte, yang dikenal vokal, menjadi subjek penyelidikan di DPR dan Senat terkait terjadinya ribuan pembunuhan selama "perang melawan narkoba" saat ia menjabat menjadi presiden dari 2016 hingga 2022.
Selama dengar pendapat tersebut, pemerintahan Marcos untuk pertama kalinya menyatakan akan mempertimbangkan untuk bekerja sama dengan dunia internasional. Hal ini berkaitan dengan penyelidikan yang dilakukan oleh Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) terhadap mantan presiden itu atas dugaan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dalam sidang tersebut, Rodrigo Duterte mengaku bertanggung jawab penuh atas tindakan keras berdarah itu dan mendesak ICC untuk "mempercepat" proses penyelidikannya.
Marcos menegaskan bahwa sangat penting bagi pemerintahan yang baik agar pejabat terpilih tidak menghalangi tugas legislator, sambil menambahkan, "Kita tidak akan berada dalam situasi seperti ini jika pertanyaan yang wajar dari Kongres dijawab."
Dalang Pembunuhan
Sementara itu, Departemen Kehakiman Filipina pada Senin juga menuduh Sara Duterte sebagai "dalang" di balik rencana pembunuhan presiden. Sara Duterte diberi waktu lima hari untuk merespons panggilan pengadilan.
Sara Duterte diminta memberikan penjelasan mengenai ancaman pembunuhan itu.
"Pemerintah mengambil tindakan untuk melindungi presiden kita yang terpilih secara sah," kata Wakil Menteri Kehakiman Jesse Andres kepada wartawan pada Senin.
"Rencana pembunuhan presiden yang telah direncanakan sebelumnya, seperti yang diungkapkan oleh sang dalang, kini akan menghadapi konsekuensi hukum,” katanya.
BACA JUGA: Presiden Filipina Sesumbar Berantas Narkoba Tidak Seperti DuterteAliansi Marcos-Duterte yang sukses merebut kekuasaan pada 2022 mulai retak menjelang pemilihan paruh waktu pada tahun depan. Kedua belah pihak saling menuduh satu sama lain kecanduan narkoba.
Dalam konferensi pers pada Sabtu yang penuh diwarnai kata-kata umpatan, selain menyebut Marcos, Sara Duterte juga menyebut nama ibu negara Liza Araneta-Marcos dan sepupu presiden, Martin Romualdez, sebagai target potensial.
"Saya katakan, jika saya mati, jangan berhenti sampai kalian membunuh mereka," katanya.
Beberapa jam kemudian, istana presiden mengatakan bahwa mereka menganggap komentar tersebut sebagai "ancaman aktif". [ah/rs]