Mas Menteri Janjikan Lebih Banyak Perempuan Peneliti

  • Nurhadi Sucahyo

Peneliti Utama World Mosquito Programme (WMP) Yogyakarta, Prof. Adi Utarini, dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

Jurnal ilmiah dunia Nature, pada 15 Desember mempublikasikan "Nature’s 10: ten people who helped shape science in 2020". Prof Adi Utarini, pakar pemberantasan nyamuk aedes aegypti melalui teknologi bakteri wolbachia, menjadi salah satunya.

Di antara nama yang tercatat, selain Adi Utarini, adalah Sekjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, kepala riset vaksin Pfizer, Kathrin Jansen, pakar virus dari China, Zhang Yongzhen, Perdana Menteri Selandia Baru yang dinilai sukses mengatasi perebakan virus Jacinda Ardern, hingga pakar imunologi Amerika Serikat juga direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases, Anthony Stephen Fauci.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Prof Nizam secara khusus mempertemukan Adi Utarini dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim. Ketiganya berbincang dalam obrolan daring pada Senin (21/12) sore, dengan Nizam selaku pemandunya.

“Kami sangat senang, Prof Uut menjadi salah satu dari 10 ilmuwan yang berdampak pada perkembangan ilmu selama tahun 2020. Ini sangat membahagiakan kita semua,” ujar Nizam.

Prof Uut, seperti disebutkan Nizam, adalah panggilan akrab bagi Adi Utarini. Dosen dan peneliti di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM Yogyakarta ini melakukan penelitian nyamuk ber-wolbachia sejak 2011. Prinsipnya, bakteri wolbachia disuntikkan ke nyamuk aedes aegypti, lalu telurnya dilepas ke lingkungan. Bakteri itu akan menghambat virus dengue dan menekan infeksi demam berdarah. Kota Yogyakarta, sebagai lokasi penelitian mampu menurunkan angka kasus demam berdarah hingga 77 persen tahun ini.

Empat Resep Adi Utarini

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim yang biasa dipanggil Mas Menteri lebih banyak mendengar cerita Adi Utarini. Dia menanyakan, apa yang harus dilakukan kementerian, jika ingin ada setidaknya 100 peneliti dengan prestasi seperti Adi Utarini, dalam berbagai bidang. Catatannya, kata Mas Menteri, riset yang dijalankan ke depan harus mudah diaplikasikan, nyata dan berdampak bagi masyarakat.

Perbincangan Nadiem Makarim, Adi Utarini dan Nizam, Senin, 21 Desember 2o20. (Foto: VOA)

Adi Utarini pun memberikan empat resep yang didengar penuh serius oleh Mas Menteri. Resep pertama yang ditawarkan adalah sistem mentoring, tidak hanya di perguruan tinggi, tetapi juga dalam level sebelumnya, yaitu di tingkat SMP dan SMA.

“Operasionalnya, mentoring itu tidak harus individual, tetapi bisa mentoring tim, bahkan bisa mentoring institusi. Institusi mementor institusi yang lain. Tim riset yang hebat, juga bisa mementor tim riset lain,” kata Adi Utarini.

Tentu saja, penerapannya juga terus berjenjang hingga ke bawah, di mana sekolah yang bagus dan berkualitas, bisa menjadi mentor bagi sekolah-sekolah lain yang sedang berkembang.

Resep kedua yang disampaikan adalah memperkuat kemampuan pelajar dan mahasiswa dalam membangun kerja sama tim. Anak-anak muda juga harus memiliki kemampuan berkomunikasi, berani bertanya dan menyampaikan pendapatnya. Adi Utarini mengatakan, bahkan sampai di perguruan tinggi, saat ini banyak mahasiswa yang masih sungkan untuk berbicara.

Resep ketiga, berhubungan dengan yang kedua, di mana Adi Utarini mengharapkan skema penghargaan yang diberikan lebih berbasis tim. Karena itu, yang dihargai bukan lagi sosok individu tertentu, tetapi keseluruhan tim. Hal ini akan menciptakan iklim yang mendukung tumbuhnya kerja sama sejak anak-anak.

“Saya juga ingin melihat perempuan lebih banyak menjadi peneliti hebat, dan itu mungkin perlu budaya yang lebih kondusif, untuk perempuan agar lebih berprestasi,” kata Adi Utarini tentang idenya yang keempat.

Konsep Merdeka Belajar

Nadiem pun langsung menyambut positif apa yang disampaikan Adi Utarini. Mengenai peran perempuan, dia bahkan menjanjikan rasio yang terus meningkat di kementeriannya, hingga nantinya mencapai angka yang sama antara peneliti perempuan dan laki-laki.

Kampus Merdeka adalah bagian dari konsep Merdeka Belajar yang digagas Nadiem. Konsep ini akan memaksa kampus keluar zona dan dipaksa mendapatkan institusi mentor, baik dari industri, peneliti, fakultas di perguruan tinggi asing, hingga organisasi non profit dunia.

“Kompetensi terpenting di dunia 4.0 adalah kolaborasi. Bagaimana kita bisa menciptakan kompetensi itu di masa depan anak-anak kita, kalau sekolah kita tidak berfokus pada aktivitas yang memaksa kolaborasi, yang memaksa project based team. Kolaborasi tidak bisa diajarkan secara teori, harus dilakukan. Jadinya project based learning,” ujar Nadiem.

Skema Kampus Merdeka diyakini Nadiem akan sangat menguntungkan dosen sekaligus peneliti seperti Adi Utarini. Untuk pertama kalinya, ujar Nadiem, kementerian mendorong mata kuliah menjadi project based learning.

“Dosen-dosen kita ini bisa mengajar di lapangan. Jadi sekarang, project di satu lokasi itu bisa menjadi satu mata kuliah, asal mahasiswanya dibawa ke sana. Dosen bisa mengambil mahasiswa untuk melakukan program semacam itu satu semester penuh, menjadi pekerja dan riset,” kata Nadiem.

Lebih luas lagi, dosen seperti Adi Utarini yang ada di UGM, bisa menggelar kuliah dengan mahasiswa dari universitas manapun. Dalam penerapan penelitian mengenai nyamuk yang dirintis itu misalnya, mahasiswa dari berbagai daerah dapat bergabung dalam satu program untuk kuliah sekaligus membesarkan skala penelitian yang diadakan.

Your browser doesn’t support HTML5

Mas Menteri Janjikan Lebih Banyak Perempuan Peneliti

Dengan konsep semacam itu, mahasiswa belajar di lapangan. Di bawah bimbingan dosen dan peneliti seperti Adi Utarini, mereka bukan hanya belajar mengenai demam berdarah, tetapi juga mikrobiologi, kebijakan kesehatan publik, belajar berinteraksi dengan dinas-dinas di daerah dan bagaimana mengeksekusi proyek di lapangan.

“Apa yang dibutuhkan untuk suatu teamwork? Kreativitas seperti apa yang dibutuhkan? Penyuluhan dan komunikasi kepada masyarakat seperti apa yang dibutuhkan,” lanjut Nadiem.

Nadiem Makarim memang terus mengkampanyekan Merdeka Belajar sebagai skema baru dalam pendidikan di Indonesia. Kampus-kampus diberi kebebasan untuk menyusun program pembelajaran. Mereka juga didorong untuk membuka kelas-kelas di luar ruangan. Di tingkat pendidikan menengah, skema ini antara lain diterapkan dalam rencana penghapusan Ujian Nasional tahun depan, dan diganti dengan diganti dengan asesmen Kompetensi minimum dan survei karakter. [ns/ab]