Masalah Menumpuk, Saham Bayer Anjlok ke Level Terendah dalam 20 Tahun

Pabrik kimia perusahaan Bayer AG di kota Leverkusen, Jerman (foto: dok).

Saham Bayer turun drastis ke level terendahnya dalam 20 tahun terakhir pada Selasa (12/11), setelah perusahaan kimia raksasa asal Jerman itu menurunkan proyeksi laba dan melaporkan kerugian yang lebih besar daripada perkiraan.

Perusahaan itu sebelumnya berjanji untuk terus melanjutkan upaya pengurangan biayanya setelah melaporkan kerugian sebesar €4,18 miliar (sekitar Rp80 triliun) dalam tiga bulan terakhir hingga akhir September lalu. Angka tersebut jauh lebih buruk daripada perkiraan para analis.

Kerugian ini terutama disebabkan oleh sejumlah berita buruk dari unit agrokimia. Salah satunya adalah merosotnya penjualan herbisida (pestisida untuk rumput dan gulma) berbahan dasar glifosat, di mana Bayer terjerat kasus hukum berkepanjangan di AS karena produk herbisida tersebut diklaim berpotensi menyebabkan kanker.

Pendapatan dari unit pertanian perusahaan itu juga terdampak oleh penghapusan nilai aset yang besar.

Bayer, yang juga memproduksi obat-obatan dan produk kesehatan konsumen, mengalami penurunan saham lebih dari 11 persen di Bursa Efek Frankfurt setelah melaporkan kerugian kuartalan keduanya secara berturut-turut.

BACA JUGA: Inggris Catat Dua Kasus Mpox, Penularan Lokal Pertama di Eropa: WHO

Ini menjadi masalah baru bagi CEO Bayer Bill Anderson, yang ditunjuk tahun lalu untuk memimpin perusahaan ke arah yang baru dan telah meluncurkan program restrukturisasi besar-besaran, seraya menolak permintaan dari investor aktivis untuk membubarkan perusahaan tersebut.

Masalah itu juga mencerminkan situasi buruk yang dihadapi para produsen tradisional Jerman secara umum. Mereka sedang menghadapi berbagai tantangan, mulai dari biaya yang tinggi hingga permintaan yang lemah. Di sisi lain, Jerman, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Eropa, tengah menuju tahun kedua kontraksi ekonomi.

Isu-isu yang dihadapi Bayer, yang juga produsen Aspirin, diperkirakan akan berlanjut pada 2025. Kepala keuangannya, Wolfgang Nickl, memperingatkan adanya “prospek yang suram” tahun depan, disertai “potensi penurunan pendapatan”.

“Kami berencana untuk mempercepat langkah-langkah pengurangan biaya dan peningkatan efisiensi,” kata Nickl. [br/uh]