Sejak 1979, Indonesia mempunyai undang-undang khusus untuk kesejahteraan anak, bahkan mendedikasikan hari khusus sebagai Hari Anak Nasional (HAN), yang secara resmi ditetapkan pada 1984. Tetapi apakah resonansi hari tersebut sudah sampai ke anak-anak, apalagi anak-anak disabilitas?
Belum, cetus Dian Inggrawati Soebangil. Motivator bagi anak-anak disabilitas, khususnya penyandang tuli, melalui juru bahasa isyarat Louretta Rehuel Jusuf dari Indonesian Sign Language Interpreter (INASLI), Dian mengatakan bahwa walau sudah ada HAN dalam 40 tahun ini, situasi anak Indonesia tidak banyak berubah. Masih banyak yang harus dilakukan untuk optimalisasi anak, cetusnya.
Apalagi untuk anak disabilitas, kata Dian, yang sudah 9 tahun ini tercatat sebagai aparat sipil negeri (ASN) di Kementerian Sosial, masih banyak orang tua yang merasa minder sehingga menyembunyikan anak disabilitas. Ia memperkirakan, 20% orang tua menutupinya sehingga tidak ada data pasti jumlah disabilitas.
Dian hanya tahu jumlah anak yang tuli di Indonesia antara satu dan satu setengah juta. Jumlah sebenarnya, ia yakin, lebih banyak dari itu, mungkin dua kali lipatnya. Karena dianggap aib, orang tua tidak memberi anak disabilitas pendidikan dan kesempatan aktualisasi diri secara optimal.
Sebaliknya pada pihak pemerintah, ada dua beban, ujar Dr. Ayu Sriwahyuni Astria, SpJ. Psikiater di Bali ini aktif berkecimpung dalam lembaga swadaya masyarakat Yayasan Lentera Anak Bali untuk pemberdayaan anak. Ia mengatakan bahwa sekolah di Indonesia umumnya tidak siap menerima anak disabilitas.
“Infrastrukturnya, gurunya, juga tidak siap menerima karena mereka menggunakan kurikulum umum yang cukup berat (bagi anak disabilitas). Dan akses untuk mendapatkan pendidikan itu masih langka saat ini. Jadi, sarana prasarana totally masih sangat, sangat minim.”
Dr. Yuni memperkirakan hanya sekitar 5% disabilitas yang mengenyam pendidikan tinggi. Jumlah itu semakin sedikit untuk jenjang Strata-3, apalagi melanjutkan pendidikan di luar negeri.
“Mungkin hanya satu orang dari empat juta, lima juta, anak (disabilitas) di Indonesia.”
Yuni dan Dian sama-sama menekankan peran orang tua yang justru harus terbuka dan aktif mencari sumber daya yang bisa membantu mengembangkan kemampuan anak disabilitas supaya anak mendapat kesempatan sebanyak dan seluas mungkin untuk mencoba banyak hal dan menjajal kemampuan otak dan jiwanya.
Seperti anak disabilitas umumnya, Dian masuk sekolah luar biasa. Tidak betah, dia pindah ke sekolah negeri, dan terus melanjutkan pendidikan sampai meraih sarjana komunikasi dari universitas swasta di Jakarta.
Berkaca dari pengalamannya, Dian menyarankan orang tua untuk memperkenalkan anak disabilitas ke beragam kegiatan supaya anak mengasah kemampuan dan bakat, dan berprestasi. Orang tua justru kunci kemandirian anak, kata Dian yang aktif mengikuti berbagai lomba keterampilan tingkat nasional dan internasional. Ia menyandang gelar Runner up 2 Miss Deaf World pada 2011 yang diselenggarakan di Ceko; dan masuk top 5 Miss Deaf International di Turki pada 2012.
Bagaimana anak bisa berkembang kalau masih banyak orang tua, kata Dr. Yuni, yang justru menutupi keberadaan anak disabilitas? Para orang tua, kata Yuni, “Selfstigma ya, menstigma diri bahwa ini aib.”
Padahal, kata Dr. Yuni, anak adalah karunia Tuhan. Peran orang tua adalah mencari dan membuka kelebihan anak tersebut.
Bantuan dari komunitas maupun pemerintah, banyak, kata Yuni. Ia merujuk pada situasi di Bali. Sayangnya, hampir semua terkait bantuan pangan.
“Yang susah mereka akses adalah pendidikan. Minimal untuk menolong diri sendiri dan ada keterampilan-keterampilan, itu yang tidak dicari dan tidak ada juga yang jemput bola, dinas-dinas sosial atau pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak juga tidak mencari sehingga data, kita sulit karena itu tadi, selfstigma sehingga tidak melaporkan.”
Pendidikan, menurut Rina Prasarani, adalah mantera pembuka peluang kerja dan memutus rantai kemiskinan yang mengakrabi orang disabilitas pada umumnya. Rina bekerja sebagai customer service call center di hotel bintang lima di Jakarta, satu-satunya disabilitas di sana. Ia percaya itu diawali dengan keputusannya menempuh pendidikan di sekolah umum, walaupun…
“Akhirnya aku jadi tidak setara dengan anak-anak lainnya karena harus berusaha lebih keras. Yang lainnya mencatat, aku harus merekam, mengulang lagi, terus mencatat sendiri atau fotokopi, dulu zamannya begitu karena enggak bisa menyalin dari papan tulis. Anak disabilitas kalau bersekolah di sekolah umum itu enggak setaranya itu. Yang lain bisa dengan mudah menulis, yang lain bisa dengan mudah membaca, yang lain bisa dengan mudah mengikuti apa kata guru yang kadang kadang bahasanya juga tidak terlalu mudah, kita harus bekerja dua, tiga, empat kali lipat dari anak anak reguler lainnya.”
Hasilnya, Rina bisa hidup mandiri dan menghidupi dua anaknya. Anak keduanya menyandang disabilitas ganda: netra dan perkembangan mental.
Terkait Hari Anak, Rina mengatakan, umumnya ibu pasti ingin anaknya bahagia. Tetapi, ia mengakui, di Indonesia tidak mudah bagi ibu dengan anak disabilitas, apalagi dalam kasus Rina, dia juga disabilitas. Pertama, kata Rina yang aktif dalam organisasi netra dan perempuan disabilitas, terkait pengetahuan.
“Masih banyak ibu yang menganggap, kalau anak disabilitas sudah tidak bisa diapa-apakan lagi, hilang masa depan dan… bagi orang umum disabilitas identik dengan tidak berdaya, harus dibantu, objek of charity. Mereka tidak punya bayangan bagaimana seorang anak itu tetap dapat berfungsi walaupun misalnya ia kehilangan penglihatannya. Walaupun dia kehilangan pendengarannya. Haknya itu sama sebetulnya dengan anak pada umumnya.”
Your browser doesn’t support HTML5
Dalam peringatan Hari Anak Nasional, Rina, juga Dian dan Dr. Yuni, mengajak orang tua merenungkan apakah sudah memberi hak-hak anak? Untuk anak disabilitas, pemenuhan hak itu tentu perlu ada penyesuaian.
Rina mengatakan, “Itu yang disebut dengan aksesibilitas, reasonable accomodation gitu ya. Cara pandang yang tepat. Itu semua akan membentuk support system yang baik untuk anak untuk bisa menikmati hak-haknya.” [ka/ab]