Masyarakat Sikapi Perbedaan Idul Adha dengan Bijak

  • Nurhadi Sucahyo

Warga bersiap melakukan penyembelihan hewan kurban di salah satu Masjid di Yogyakarta, Minggu 5/10 (foto: VOA/Nurhadi).

Meskipun perayaan Idul Adha atau Hari Raya Kurban tahun ini dilaksanakan di hari yang berbeda, masyarakat mampu menyikapi hal itu dengan bijak.

Sebagian masyarakat Yogyakarta sudah melaksanakan sholat Idul Adha pada Sabtu, 4 Oktober 2014. Sejak pukul 07.00 pagi, sejumlah lokasi seperti Alun-Alun Keraton Yogyakarta, berbagai taman parkir dan tanah lapang, telah dipadati ribuan umat muslim.

Perayaan pada tanggal ini didasari atas perhitungan ilmiah, berdasar ilmu matematika dan astronomi, sehingga penetapannya dapat dilakukan jauh sebelum hari bersangkutan tiba, atau disebut sebagai metode hisab.

Syafaruddin Murbawono, takmir atau pengurus Masjid Pertiwi, di kota Yogyakarta, adalah salah satu warga yang merayakan Idul Adha pada hari Sabtu. Dia mengatakan kepada VOA, ibadah kurban intinya adalah keikhlasan. Salah satunya adalah ikhlas untuk bersikap toleran menghadapi perbedaan perayaan Idul Adha itu sendiri.

“Merayakan Idul Adha itu dengan ikhlas dan sepenuh hari, karena prinsip dari Idul Adha adalah bagaimana kita bisa meneladani kisah Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS, untuk sabar, untuk ikhlas, dan tentu saja kalau dikaitkan dengan kondisi sekarang adalah kita ikhlas untuk bisa saling toleransi terhadap sesama manusia, termasuk bisa menghargai perbedaan pendapat itu,” jelas Syafaruddin.

Sementara itu, ada pula masyarakat di Yogyakarta yang menyelenggarakan ibadah sholat Idul Adha pada hari Minggu, 5 Oktober. Salah satunya adalah Sudaryono Alblitari.

Penetapan hari Minggu sebagai hari Idul Adha menggunakan metode rukyat, yaitu pengamatan langsung bulan sabit pada senja hari di akhir bulan sebelumnya.

Sudaryono mengatakan, perayaan yang berbeda hari itu harus disikapi dengan lebih dewasa, karena masing-masing memiliki dasar yang kuat. Perbedaan yang terjadi secara nasional ini juga merupakan buah dari reformasi, karena di era Suharto dulu, perayaan diseragamkan, dan perbedaan dihapuskan. Karena itu, semestinya perbedaan juga disyukuri.

“Kita sebagai warga negara yang baik, ya silahkan mau Sabtu silakan, mau Minggu silakan. Hal-hal seperti ini, perbedaan ini menurut saya jangan terlalu dibesar-besarkan. Biarkan saja masyarakat punya keyakinan sendiri-sendiri. Tapi secara pribadi kalau saya, kita kan punya ulil amri atau pemerintah, apa yang ditetapkan oleh pemerintah itu sudah mengakomodir semua suara,” ujar Sudaryono.

Ketua Forum Persaudaraan Umat Beriman, DI Yogyakarta, KH Abdul Muhaimin juga melihat kedewasaan umat muslim yang semakin baik belakangan ini. Perayaan hari raya adalah pelaksaan keyakinan, dan semua didasari oleh perhitungan yang bisa dipetanggungjawabkan. Abdul Muhaimin menggarisbawahi perlunya peran pemimpin agama untuk menjaga kondisi agar toleransi bisa berjalan dengan baik.

“Tokoh jangan sampai memprovokasi, yang jelas. Toh masing-masing kan sudah punya keyakinan, dan masing-masing sudah melalui perhitungan-perhitungan sendiri. Karena yang berbeda bukan masalah teologi, itu tidak ada masalah. Ini kan masalah ibadah, dan memang selalu ada perbedaan. Saya kira perbedaan itu wajar dan kita cukup melaksanakan apa yang menjadi keyakinan kita sendiri,” papar Muhaimin.

Salah satu bentuk kedewasaan masyarakat dalam menghadapi perbedaan, adalah fakta ada banyak masjid dan kelompok masyarakat yang sholat Idul Adha pada hari Sabtu, tetapi baru menyembelih hewan kurban pada hari Minggu.

Kesempatan menyembelih hewan kurban sesuai aturan memang disediakan selama 4 hari. Dengan demikian, penyembelihan pada hari Minggu juga sesuai dengan aturan agama yang telah ditetapkan. Pemilihan penyembelihan hari Minggu itu juga didasari semangat untuk bersikap toleran terhadap mereka yang baru berlebaran hari Minggu ini.