Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pemerintah harus memperhatikan pendapat masyarakat setempat atau masyarakat lokal dalam proses penetapan wilayah pertambangan.
Mahkamah Konstitusi hari Senin mengabulkan sebagian permohonan uji materil Undang-undang Petambangan, Mineral dan Batubara (Minerba) yang diajukan lima lembaga swadaya masyarakat dan 16 orang penggugat lainnya. Lima Lembaga Swadaya Masyarakat tersebut adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Kiara, Solidaritas Perempuan, KPA dan PBHI.
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan, dalam menetapkan wilayah pertambangan, pemerintah wajib menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu. Hal ini untuk mencegah terjadinya konflik antar pelaku usaha pertambangan dengan masyarakat.
Selain itu pendapat masyarakat tersebut juga untuk menjamin kepastian hukum yang adil baik untuk masyarakat yang berada dalam wilayah pertambangan maupun juga untuk masyarakat yang terkena dampak akibat pertambangan itu.
Mekanisme kewajiban menyertakan pendapat masyarakat tersebut menjadi kewenangan pemerintah untuk mengaturnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mengacu pada pertimbangan hukum yang telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi.
Mahfud MD menjelaskan, "Wajib melindungi, menghormati dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah dan tanah miliknya akan dimasukan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak."
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menolak permintan para penggugat agar dalam menetapkan wilayah pertambangan harus ada persetujuan maupun ketidaksetujuan tertulis masyarakat lokal terlebih dulu.
Meski dikabulkan sebagian namun salah satu penggugat mengkritisi keputusan tersebut.
Direktur Nasional WALHI Albert Nego Tarigan mengatakan, "Bagi WALHI itu mengecewakan yah keputusan ini apalagi memuat itu tidak ada untuk secara tertulis karena bahwa tertulis tidak menjamin. Kalau menurut kami ada praduga juga dari MK bahwa ketidakjujuran juga berada ditengah-tengah masyarakat jadi kemudian harus menunggu ada PP (peraturan pemerintah) yang akan mengatur untuk itu, tapi sudah menjadi pengetahuan umum bahwa yang berkaitan dengan kepentingan dengan masyarakat biasanya PP nya agak lambat."
Sementara itu, Direktur Litigas Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi menyatakan pihaknya akan segera merumuskan soal mekanisme aturan penyertaan persetujuan masyarakat ini yang akan dimasukan ke dalam aturan menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
"Persetujuan masyarakat itu secara konkrit, nanti akan kita fikirkan mekanismenya karena tidak serta begitu saja," papar Mualimin Abdi.
Uji Materi terhadap Undang-undang ini sebelumnya dilakukan karena kerap terjadi pertikaian antara warga pemilik lahan dengan perusahaan tambang terkait penetapan kawasan yang dijadikan lokasi eksplorasi tambang seperti yang terjadi di Bima, Nusa Tenggara Barat dan sejumlah daerah lainnya beberapa waktu lalu.
Aturan dalam Undang-undang tersebut dinilai oleh para penggugat tidak mencukupi untuk mengatur perselisihan tersebut.
Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan, dalam menetapkan wilayah pertambangan, pemerintah wajib menyertakan pendapat masyarakat terlebih dahulu. Hal ini untuk mencegah terjadinya konflik antar pelaku usaha pertambangan dengan masyarakat.
Selain itu pendapat masyarakat tersebut juga untuk menjamin kepastian hukum yang adil baik untuk masyarakat yang berada dalam wilayah pertambangan maupun juga untuk masyarakat yang terkena dampak akibat pertambangan itu.
Mekanisme kewajiban menyertakan pendapat masyarakat tersebut menjadi kewenangan pemerintah untuk mengaturnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mengacu pada pertimbangan hukum yang telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi.
Mahfud MD menjelaskan, "Wajib melindungi, menghormati dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah dan tanah miliknya akan dimasukan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak."
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menolak permintan para penggugat agar dalam menetapkan wilayah pertambangan harus ada persetujuan maupun ketidaksetujuan tertulis masyarakat lokal terlebih dulu.
Meski dikabulkan sebagian namun salah satu penggugat mengkritisi keputusan tersebut.
Direktur Nasional WALHI Albert Nego Tarigan mengatakan, "Bagi WALHI itu mengecewakan yah keputusan ini apalagi memuat itu tidak ada untuk secara tertulis karena bahwa tertulis tidak menjamin. Kalau menurut kami ada praduga juga dari MK bahwa ketidakjujuran juga berada ditengah-tengah masyarakat jadi kemudian harus menunggu ada PP (peraturan pemerintah) yang akan mengatur untuk itu, tapi sudah menjadi pengetahuan umum bahwa yang berkaitan dengan kepentingan dengan masyarakat biasanya PP nya agak lambat."
Sementara itu, Direktur Litigas Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Mualimin Abdi menyatakan pihaknya akan segera merumuskan soal mekanisme aturan penyertaan persetujuan masyarakat ini yang akan dimasukan ke dalam aturan menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
"Persetujuan masyarakat itu secara konkrit, nanti akan kita fikirkan mekanismenya karena tidak serta begitu saja," papar Mualimin Abdi.
Uji Materi terhadap Undang-undang ini sebelumnya dilakukan karena kerap terjadi pertikaian antara warga pemilik lahan dengan perusahaan tambang terkait penetapan kawasan yang dijadikan lokasi eksplorasi tambang seperti yang terjadi di Bima, Nusa Tenggara Barat dan sejumlah daerah lainnya beberapa waktu lalu.
Aturan dalam Undang-undang tersebut dinilai oleh para penggugat tidak mencukupi untuk mengatur perselisihan tersebut.