Pemimpin-pemimpin dunia hari Senin (1/2) bereaksi terhadap langkah militer Myanmar menguasai kendali negara untuk satu tahun ke depan.
Menteri Luar Negeri Amerika Anthony Blinken menyampaikan “keprihatinan mendalam” dan menyerukan militer Myanmar untuk “membatalkan” tindakan mereka segera.
Hal senada juga disampaikan Juru Bicara Gedung Putih Jen Psaki, Minggu malam (31/1), yang menegaskan “dukungan kuat pada institusi demokrasi di Myanmar” dan “menyerukan militer dan seluruh pihak untuk menghormati norma-norma demokrasi dan aturan hukum, serta membebaskan semua orang yang ditahan hari ini.”
BACA JUGA: AS Peringatkan Myanmar Pasca Penahanan Suu KyiLebih jauh Gedung Putih mengatakan “Amerika menentang segala upaya untuk mengubah hasil pemilu baru-baru ini atau menghalangi transisi demokrasi di Myanmar, dan akan mengambil tindakan terhadap mereka yang bertanggung jawab jika langkah-langkah ini tidak dibatalkan.”
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan mengutuk kudeta itu dan “pemenjaraan yang melanggar hukum” terhadap warga sipil dan pemimpin Aung San Suu Kyi yang dilaporkan telah ditahan bersama sejumlah politisi senior lainnya.
Empat pejabat tinggi Uni Eropa dengan suara bulat mengutuk tindakan militer di Myanmar, menyebut penahanan para pemimpin madani sebagai kudeta, dan menyerukan pemulihan pemerintah.
Juru Bicara Komisi Eropa Nabilla Massrali mengatakan, “Ini jelas pelanggaran konstitusi negara itu. Upaya militer untuk membatalkan, tidak menerima keinginan rakyat Myanmar dan keterikatan rakyat pada demokrasi merupakan sesuatu yang sangat kami sesalkan. Kami mengutuk kudeta ini.”
Empat pemimpin tinggi Uni Eropa yang menyampaikan pernyataan serupa terhadap situasi di Myanmar itu adalah Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, Presiden Dewan Uni Eropa Charles Michel, Presiden Parlemen Eropa David Sassoli, dan pejabat tinggi Uni Eropa Josep Borrell.
Myint Swe Serahkan Kekuasaan pada Jendral Ming Aung Hlaing
Penjabat Presiden Myanmar Myint Swe, Senin siang (31/1) bertemu sejumlah pejabat tinggi angkatan bersenjata di Naypyitaw setelah militer mengambil alih kendali negara dengan memberlakukan hukum darurat untuk satu tahun ke depan.
Myint Swe sebelumnya ditunjuk militer sebagai wakil presiden ketika hari Senin ini ia dinyatakan sebagai penjabat presiden pasca ditangkapnya pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dan sejumlah pemimpin Partai Liga Nasional Untuk Demokrasi NLD. Setelah diangkat menjadi penjabat presiden, Myint Swe menyerahkan kekuasaan kepada panglima militer tertinggi di Myanmar, Jendral Senior Ming Aung Hlaing.
BACA JUGA: Mengenal Sosok Panglima Militer Myanmar yang Ambil Alih Kekuasaan NegaraBerdasarkan konstitusi Myanmar tahun 2008, dalam kondisi darurat nasional presiden dapat menyerahkan kekuasaan kepada panglima tertinggi militer. Ini merupakan salah satu dari banyak cara yang dilakukan militer untuk mempertahankan kendali tertinggi di negara berpenduduk 54,5 juta jiwa itu.
Min Aung Hlaing (64 tahun), telah menjadi panglima angkatan bersenjata sejak tahun 2011 dan akan segera memasuki masa pensiun. Hal ini akan memuluskan jalannya untuk menduduki kepemimpinan sipil jika junta militer melangsungkan pemilu sesuai janji mereka.
Militer menjustifikasi langkah kudeta itu dengan mengatakan pemerintah gagal menjawab klaim soal kecurangan pemilu.
Bagaimana Reaksi Warga Myanmar?
Warga Myanmar kembali bergulat dengan pemerintahan militer setelah memiliki pemerintahan demokratis selama beberapa tahun.
Warga Yangon, Kyaw Zhaw, mengatakan “bagaimana mungkin militer akan berkuasa selama satu tahun? Berdasarkan apa? Mereka sudah melakukan banyak hal lain di masa silam. Jadi kami tidak percaya mereka. Jika seluruh orang bersatu, akan ada solusi atas hal ini.”
Lei Lei Win yang juga tinggal di Yangon mengatakan “sudah banyak berjuang saat ini untuk mencukupi kebutuhan pangan, untuk hidup secara keseluruhan, untuk kesehatan. Sebut saja! Orang-orang menghadapi masalah Covid-19 dan kini kudeta. Kita hampir pulih (dari Covid-19) dan kini ini terjadi. Apa yang harus kami lakukan supaya bertahan hidup?.”
Di Yangon, demonstran pro-militer membentuk konvoi dan turun ke jalan-jalan untuk menunjukkan dukungan mereka pada langkah militer mengambil alih kendali pemerintahan hanya beberapa jam sebelum pelantikan parlemen yang baru terpilih.
Tetapi mereka yang mendukung Partai Liga Nasional Untuk Demokrasi NLD pimpinan Aung San Suu Kyi, yang menurut hasil resmi pemilu November lalu menang telak, sejauh ini masih tenang.
Suu Kyi Ditahan Bersama Sejumlah Pemimpin Lain
Aung San Suu Kyi, yang berusia 75 tahun, sejauh ini adalah politisi yang paling terkenal di Myanmar, dan telah menjadi pemimpin de facto negara itu setelah partainya memenangkan pemilu pada tahun 2015, meskipun aturan konstitusi membuatnya tidak dapat menjadi presiden. Ketika menjalani tahanan rumah, Suu Kyi merupakan pengecam keras militer.
Your browser doesn’t support HTML5
Meskipun demikian begitu berkuasa Suu Kyi harus menyeimbangkan hubungannya dengan para jendral militer dan bahkan membela tindakan mereka terhadap warga minoritas Muslim-Rohingya di bagian barat negara itu; tindakan yang oleh Amerika dan banyak pihak lain dinilai sebagai genosida. Sikap Suu Kyi ini membuat reputasinya di mata dunia menjadi compang-camping. [em/ka]