Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur, Aan Anshori mendesak negara untuk melindungi seluruh umat beragama di Indonesia, dalam menjalankan kebebasan beribadah dan berkeyakinan.
Rencana kelompok-kelompok masyarakat untuk merobohkan patung Dewa Kwan Seng Tee Koen atau Kwan Kong, di Klenteng Kwan Seng Bio, Tuban, dinilai sebagai tentangan terhadap konstitusi dan pengingkaran kebhinnekaan di Indonesia, yang harus dilawan secara bersama-sama.
Your browser doesn’t support HTML5
“Konstitusi itu menjamin setiap orang itu bisa beribadah sesuai dengan keyakinannya dan menggunakan simbol-simbol itu. Jadi kalau misalkan ada upaya atau keinginan untuk menghancurkan patung atas nama apa pun, itu sesungguhnya ingin menantang Indonesia dan ingin menantang kebhinnekaan itu,” ujar Aan Anshori.
Dalam sepuluh tahun terakhir, sedikitnya ada sembilan peristiwa yang menjadi perhatian publik, terkait penolakan dan perobohan patung di Indonesia. Pada tahun 2015 lalu, patung Jayandaru di Sidoarjo, Jawa Timur, sebagai penggambaran profesi masyarakat harus diturunkan karena dianggap berhala.
Selain itu juga ada patung Gatotkaca dan patung Arjuna Memanah di Purwakarta, patung Akar Manusia di Yogyakarta, patung Buddha Amitabha di Vihara Tanjung Balai Sumatera Utara, serta beberapa patung karya seniman, terpaksa harus dirobohkan atau dibakar akibat penolakan sejumlah kelompok masyarakat.
Aan Anshori menengarai sel ISIS berada dibalik aksi penolakan dan perusakan patung. Aparat keamanan menurutnya harus segera mengantisipasi adanya sel ISIS di 16 daerah di Jawa Timur, agar tidak sampai berkembang dan membesar.
“ISIS sedang menggeliat, karena menurut catatan yang saya baca ada 16 titik, dimana 16 kabupaten/kota yang ada di Jawa Timur ini yang teridentifikasi ada ISIS. Bagi saya intelijen harus sudah mencium ini, dan mulai melakukan antisipasi, jangan sampai Jawa Timur diobok-obok seperti ini,” papar Aan Anshori.
Pemuka agama Katolik, Romo Yohanes Gani, CM mengatakan, polemik patung di Tuban merupakan bukti masih adanya umat beragama yang belum menjalankan ajaran agamanya secara menyeluruh, terutama dalam hal menghormati dan menghargai keyakinan agama lain.
“Ketika saya yakin bahwa saya Katolik, ketika saya yakin bahwa Katolik itu benar, saya tidak akan takut, misalnya diundang orang yang bukan Katolik, diajak masuk ke tempat ibadah yang bukan Katolik saya tidak takut, saya yakin benar kok. Nah kalau orang masih takut dengan simbol, orang takut dengan adanya patung, ya gak yakin itu, kalau dia yakin ngapain ngurusi,” ujar Romo Yohanes Gani.
Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) Jawa Timur, Ongky S. Kuncono mengatakan, Dewa Kwan Kong bagi umat agama Khonghucu merupakan sosok yang sangat dihormati, tidak hanya di Indonesia melainkan juga di seluruh dunia. Pendirian patung Kwan Kong merupakan bagian dari ritual kepercayaan umat Khonghocu, yang telah berlangsung lama.
“Kita jelaskan, ini ritual. Semua klenteng itu ada Kwan Kong-nya, di Jawa Timur, Jawa Tengah, kalau kita di luar pulau itu Kwan Kong semua, Medan itu Kwan Kong semua. Dulu di pengadilan kalau orang sumpah, itu pakai gambarnya Kwan Kong itu, karena ini adalah orang jujur, benar. Ini kan bukan Indonesia saja, kalau kita ke Hongkong, Kwan Kong juga menjadi seni orang-orang besar yang dulu berjuang demi agama, dia sudah mendekati Tuhan itu. Singapura, bahkan Vietnam, Jepang, di seluruh dunia itu ada. Kalau ini mau dirobohkan, orang Indonesia bahkan dunia akan protes,” ujar Ongky S. Kuncono.
Ongky menambahkan, keberadaan patung Dewa Kwan Kong tidak dapat dibandingkan dengan patung pahlawan nasional Jenderal Sudirman, karena Kwan Kong merupakan sosok yang berkaitan dengan keyakinan keagamaan suatu masyarakat.
“Kwan Kong itu bukan panglima perang China, apalagi Kwan Kong itu dibandingkan dengan Panglima Soedirman, kalau Panglima Soedirman ini kan jelas pahlawan nasional. Kwan Kong itu ada sebelum negara China itu ada, jauh sekitar (tahun) 200-an, bahkan kalau kita tarik ya jauh sekali Kwan Kong itu. Maka ini tidak bisa ditarik menjadi isu politik itu tidak bisa, karena ini keyakinan,” imbuh Ongky.
Sementara itu, mantan pengurus Klenteng Kwan Seng Bio, Tuban, Teguh Prabowo mengungkapkan, polemik patung Dewa Kwan Kong di Tuban tidak lebih dari persoalan administratif pemberian izin mendirikan bangunan (IMB). Hal ini akibat belum adanya pengesahan pengurus yayasan klenteng, yang berhak mengajukan IMB kepada Pemerintah Kabupaten Tuban.
“Pengajuan sudah, cuma karena yang memohon (IMB) itu tidak punya jabatan, tidak pengurus yang sah, jadi Bupati tidak berani mengeluarkan izin itu. Yang penting pengurus ada dulu, diserahkan kepada Bupati. Penyelesaian ini kan harus ada pengurusnya yang sah, sehingga nanti mengajukan IMB itu kepada Bupati. Dengan demikian pokok permasalahan yang selama ini tidak keluar izinnya, karena tidak ada pengurusan yang sah selama lima tahun,” pungkas Teguh Prabowo. [pr/em]