Keluarga berperan besar dalam kampanye cuci tangan, memakai masker dan jaga jarak untuk adaptasi kebiasaan baru (new normal). Orang tua atau saudara adalah sumber perintah paling didengar, mengalahkan seruan dari pemerintah.
Itu bukan hasil penelitian, tetapi sekedar hasil jajak pendapat yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo melalui akun twitter-nya. Dia menanyakan, terkait cuci tangan, memakai masker dan jaga jarak, anjuran siapa yang paling didengar warganet. Hingga Senin siang, ada lebih dari 4.700 pengguna media sosial merespon jajak pendapat itu. Sekitar 47 persen warganet menyebut orang tua atau saudara sebagai yang paling ditaati, diikuti pemerintah (39 persen), tokoh agama (tujuh persen) dan teman (enam persen).
Ganjar mengaku, masih mencari cara paling efektif untuk mengajak masyarakat menjalani pola hidup baru akibat pandemi virus corona ini. “Metodenya belum ketemu. Sepertinya kita tidak bisa membuat kebijakan yang seragam. Sepertinya top down juga tidak terlalu menarik karena orang dipaksa juga tidak terlalu suka,” kata Ganjar.
Analisa Ganjar didasarkan pada pengalamannya sebagai kepala daerah. Untuk mendisiplinkan pemakai masker di tempat umum, banyak daerah harus menurunkan Satpol PP. Padahal jelas, pemakaian masker adalah untuk kesehatan masyarakat sendiri.
Ganjar Pranowo memaparkan hasil jajak pendapat kecil itu dalam Perbincangan UGM seri 15 yang tentang "Membangun Budaya Tatanan Baru melalui Pengelolaan Perilaku". Diskusi daring ini diselenggarakan Universitas Gadjah Mada bersama Keluarga Alumni Gadjah Mada (Kagama), Minggu (12/7).
“Perubahan perilaku dalam menjalankan aktivitas dan melaksanakan protokol, nampaknya memang harus cerewet betul. Berbagai media harus dilakukan, metode baru diterapkan, pengembangannya tidak boleh berhenti,” tambah Ganjar menggambarkan besarnya tantangan.
Banyak Faktor Bentuk Kedisiplinan
Berbicara dalam diskusi yang sama, Wening Udasmoro dari Fakultas Ilmu Budaya UGM menyebut, teknologi dan perilaku adalah produk budaya. Ironisnya, ada fakta yang berbeda jauh antara capaian manusia dalam bidang teknologi dan kemajuan perilaku.
“Robot saja diberi identitas tapi di sisi lain manusia masih diajari cara mencuci tangan, dan sering-sering mencuci tangan. Padahal mencuci tangan itu adalah produksi pengetahuan abad 19, artinya ada garis yang hilang antara kemajuan teknologi manusia yang luar biasa, dengan perilaku kita yang sepertinya belum banyak berubah,” kata Wening.
Ada tiga faktor yang berpengaruh membentuk kedisiplinan dalam penerapan pola hidup baru. Ketiga faktor itu, lanjut Wening, adalah ekonomi, ideologi dan budaya.
Masyarakat Indonesia memiliki sifat mandiri dan kemampuan bertahan hidup yang baik. Ketika pandemi melanda, mereka tidak menunggu bantuan ekonomi datang. Kelebihan ini membantu masyarakat merespon dengan baik kebijakan penanganan wabah dari pemerintah. Sayangnya, daya tahan mereka tidak panjang. Karena pertimbangan memenuhi kebutuhan dasar, sebagian besar masyarakat kemudian tidak disiplin, dengan beraktivitas seperti biasa karena faktor ekonomi .
Faktor lain terkait kedisiplinan adalah ideologi. Sebagai masyarakat yang agamis, arahan pemerintah mengubah praktik beragama banyak mengalami resistensi. Karena itu, muncul berbagai klaster penularan virus dari kegiatan-kegiatan keagamaan itu.
“Selanjutnya faktor budaya. Masyarakat Indonesia itu senang kumpul. Ini akan menjadi sarana baru penyebaran virus Covid-19 yang akan datang, ketika kedisiplinan itu tidak ditegakkan,” kata Wening.
Karena itulah, untuk membuat kebijakan, pemerintah harus memahami budaya masyarakat. Wening menyebut, diperlukan mekanisme yang spesifik. Harus diperhatikan juga faktor kesukuan, geografi dan resistensi yang mungkin muncul. Dalam adaptasi kehidupan baru, ada pola yang harus diubah dan penerapan stategi jangka panjang. Negara harus melakukan rekayasa sosial, peningkatan disiplin dengan mekanisme tepat sesuai kategori sosial, dan menyusun desain sesuai wilayah dan struktur masyarakat.
Tiga Pendekatan Berbeda
Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, Djamaluddin Ancok menyebut ada tiga cara yang bisa diterapkan untuk membentuk perilaku baru. Pemerintah bisa menerapkan hukuman dengan sanksi yang tegas terhadap pelanggar aturan selama pandemi. Dalam situasi tertentu, strategi ini memang diperlukan meski sifatnya memaksa.
Your browser doesn’t support HTML5
Metode kedua adalah menerapkan skema identifikasi, di mana masyarakat patuh oleh komunikator yang baik dari pemerintah. Misalnya, seorang gubernur yang dekat dengan masyarakat mengkampanyekan pola kehidupan baru ini. Masyarakat percaya dengan apa yang dikatakan, dan mengikuti karena kedekatan emosi dengan pemimpinnya itu.
Strategi ketiga adalah internalisasi atau membentuk kesadaran berdasar pengetahuan. Masyarakat secara mandiri menerapkan pola hidup baru itu karena sadar jika tidak maka dia harus menanggung resikonya sendiri.
“Ini yang dalam pandemi Covid-19 ini kita terlalu terlambat, yang bagian ketiga ini. Misalnya kita tidak memberi informasi, kenapa jenazah korban Covid-19 harus dibungkus sedemikian rupa. Tidak pernah ada penjelasan lengkap tentang itu,” kata Ancok. [ns/ab]