Peneliti Bidang Kepolisian di Institute for Security and Srategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai banyak hal yang tidak substansial dalam materi revisi UU Polri, seperti masalah usia pensiun dan kewenangan. Menurutnya, dalam revisi tersebut hampir tidak ada pasal-pasal yang membahas pokok permasalahan yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh Polri dan menjadi poin untuk pembenahan Polri ke depan.
Dia mencontohkan pokok permasalahan yang belum ada dalam draf revisi Rancancan Undang-Undang (RUU) Polri adalah mengenai anggaran operasional. Padahal, semua kementerian dan lembaga negara memperoleh anggaran operasional dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bambang menegaskan perlunya Polri mendapat anggaran operasional untuk mencegah lembaga penegak hukum ini memperoleh anggaran dari non-APBN. Selama ini anggaran Polri berasal dari hibah pemerintah maupun non-pemerintah, bisa dari swasta atau korporasi.
"Ini sangat berisiko pada independensi kepolisian. Ketika pemberi hibah itu ada masalah dengan hukum, kepolisian tidak bisa obyektif dan independen untuk melakukan penegakan hukum," katanya.
BACA JUGA: Jabatan Sipil Bagi TNI/Polri Tetap DibatasiMenurut Bambang, tidak ada anggaran operasional Polri dari APBN membuat seolah negara membiarkan Polri melakukan pungutan liar (pungli) yang bertahun-tahun menjadi keluhan masyarakat.
Bambang juga menyoroti soal penambahan kewenangan polisi untuk bidang intelijen dan penyadapan. Dia mengatakan hal tersebut keluar dari substansi. Penambahan kewenangan soal penyadapan dan intelijen tegasnya akan menambah resah masyarakat.
Persoalan lainnya terkait fungsi pengawasan yang dilakukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang masih lemah saat ini. Dalam revisi itu seharusnya adanya pasal tentang penguatan pengawasan terhadap Polri yang dilakukan oleh Kompolnas. Dia menyarankan struktur Kompolnas harus diubah dengan memperbanyak anggota dari masyarakat sehingga pengawasan dari masyarakat menjadi lebih dominan.
Bambang meminta pasal mengenai polisi bisa melakukan pengamanan di sektor swasta, seperti tambang, perlu dikaji lagi karena berpotensi terjadi konflik kepentingan. Dia juga menilai perpanjangan usia pensiun polisi menjadi 60 hingga 65 tahun dari sebelumnya 58 tahun, sangat tidak krusial untuk dimasukkan dalam revisi UU Polri. Sebab hal itu dapat mengganggu kaderisasi di kepolisian. Jika draf revisi UU Polri sampai disahkan maka hal tersebut tidak akan menjadikan Polri lebih baik di masa depan.
Penolakan atas draf revisi RUU Polri juga dilakukan oleh 23 organisasi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian. Mereka menilai substansi dari RUU yang diusulkan oleh DPR tersebut sangat menyimpang dari desain negara hukum dan demokrasi yang dicita-citakan pasca reformasi.
Nenden S. Arum, peneliti mengenai hak digital dan kebebasan di SAFEnet, mengatakan muatan yang ada revisi RUU Polri akan semakin memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak memperoleh informasi, serta hak warga negara atas privasi, terutama di media sosial dan forum digital.
BACA JUGA: Publik Pertanyakan Pemberian Pangkat Istimewa kepada PrabowoNenden menyebutkan dalam Pasal 16 Ayat 1 (huruf q), kewenangan kepolisian bertambah sampai ke ruang siber. Hal ini tentu akan memberikan kewenangan bagi polisi untuk mengamankan, membina, dan mengawasi ruang siber. Selain itu, polisi bisa melakukan penindakan, pemblokiran, pemutusan, dan pelambatan akses Internet. Dia menilai tambahan kewenangan bisa disalahgunakan oleh kepolisian karena tidak jelas indikator-indikator yang membuat kepolisian dapat memblokir, memutus, dan memperlambat akses Internet.
"Ini memperkuat gelagat otoritarianisme digital yang ada di Indonesia. Bagaimana polisi akan mungkin melakukan proses penyensoran, kemudian pengawasan secara menyeluruh kepada masyarakat sipil, termasuk melakukan sensor dan pembatasan informasi. Hal ini pasti dan akan sangat mungkin berdampak pada hak atas kebebasan berekspresi bagi masyarakat," ujarnya.
Nenden menegaskan jika ini dilegitimasi dalam revisi UU Polri, maka akan sangat mungkin terjadi upaya-upaya pembungkaman kebebasan berekspresi sehingga orang enggan menyampaikan kritik dan takut melakukan aktifitas di dunia maya. Padahal Intenet merupakan salah satu alternatif bagi masyarakat sipil untuk menikmati kebebasan berpendapat dan berkespresi.
Yang terjadi, menurut Nenden, internet sudah bukan lagi ruang yang bebas dan aman bagi masyarakat sipil. Namun, malah menjadi target bagi represi dan juga dibatasi sehingga masyarakat sulit melakukan praktek-praktek demokrasi melalui Internet.
Melalui RUU Polri, DPR mengusulkan perluasan kewenangan kepolisian yang diatur di sejumlah pasal. Salah satunya, Pasal 16 Ayat 1 huruf yang memperbolehkan Polri melakukan pengamanan, pembinaan danpegawasan terhadap ruang siber. Kewenangan tersebut di antaranya penindakan, pemblokiran, atau pemutusan serta memperlambat akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri.
Your browser doesn’t support HTML5
DPR juga menyisipkan Pasal 16A yang mengatur penambahan kewenangan Polri dalam menjalankan tugas intelijen dan keamanan. Polri berwenang melakukan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan intelijen. Kemudian Pasal 14 Ayat 1 Huruf g disebutkan pula bahwa polisi memiliki kewenangan untuk mengawasi dan membina secara teknis pegawai negeri sipil (PPPNS) dan penyidik lain yang ditetapkan oleh aturan perundang-undangan. Pasal 14 Ayat 1 huruf e juga menyatakan polisi akan turut serta dalam pembinaan hukum nasional. Lalu di Pasal 14 ayat 1 huruf o, Polri juga bertugas melakukan penyadapan.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad memastikan mekanisme permbahasan revisi UU Polri tetap berlanjut di DPR. Terkait poin-poin perluasan wewenang, Sufmi memastikan perluasan yang dimaksud tetap terbatas. [fw/ft]