Melawat ke Uganda, Raisi Kecam Dukungan Barat pada Homoseksualitas

  • Associated Press

Presiden Iran Ebrahim Raisi (kiri) menjabat tangan Presiden Uganda Yoweri Museveni dalam pertemuan di Entebbe, Uganda, pada 12 Juli 2023. (Foto: AP/Hajarah Nalwadda)

Dalam lawatan yang sangat jarang dilakukannya, Presiden Iran Ebrahim Raisi, pada Rabu (12/7), mengecam keras dukungan negara-negara Barat pada homoseksualitas, yang menurutnya merupakan “salah satu hal paling kotor yang dilakukan dalam sejarah manusia.”

Raisi berbicara di Uganda, yang baru-baru ini mengesahkan undang-undang anti-gay yang menetapkan hukuman mati terhadap “homoseksualitas yang sangat buruk,” yang mendapat kecaman luas internasional.

Yang dimaksud dengan “homoseksualitas yang sangat buruk” adalah hubungan seksual yang melibatkan orang-orang yang mengidap HIV, anak di bawah umur dan kategori orang-orang rentan lainnya.

BACA JUGA: Gereja Inggris Susun Panduan Pastoral tentang Pemberkatan Pasangan Sesama Jenis

“Saya percaya masalah ini, dan serangan kuat dari Barat terhadap pembentukan keluarga dan budaya bangsa, merupakan bidang kerja sama untuk Iran dan Uganda,” ujar Raisi setelah melangsungkan pertemuan dengan Presiden Uganda Yoweri Museveni.

“Negara-negara Barat mencoba memperkenalkan homoseksualitas sebagai sebuah bagian dari peradaban, sementara homoseksualitas sendiri merupakan salah satu hal paling kotor dalam sejarah manusia,” kata Raisi.

Lawatan Raisi ke Uganda ini merupakan yang pertama yang dilakukan oleh seorang pemimpin Iran selama lebih dari sepuluh tahun. Iran sedang menghadapi sanksi ekonomi yang berat dari Amerika Serikat dan sedang mencari lebih banyak kemitraan di seluruh dunia. Raisi juga berkunjung ke Zimbabwe dalam lawatannya ke Afrika.

Dalam perhentian pertamanya di Kenya, Raisi menyebut Afrika sebagai “benua dengan banyak peluang” dan merupakan platform hebat untuk produk-produk Iran.

Iran Hadapi Jalan Buntu Untuk Hidupkan Kembali Kesepakatan Nuklir Tahun 2015

Sejak September 2022 Iran menghadapi jalan buntu terkait pembicaraan untuk memulihkan kembali kesepakatan nuklir tahun 2015. Amerika Serikat, di bawah pemerintahan presiden sebelumnya Donald Trump, telah secara sepihak meninggalkan kesepakatan itu.

Negara-negara lain yang menandatangai kesepakatan itu berupaya memulai kembali perundingan untuk menghidupkan perjanjian nuklir itu, tetapi Iran dinilai telah mengajukan berbagai tuntutan yang tidak masuk akal saat semua pihak telah menyetujui kesepakatan baru.

BACA JUGA: Acara LGBT di Indonesia Dibatalkan karena Ancaman Keamanan

VOA pada akhir tahun lalu melaporkan betapa upaya untuk menyelamatkan perjanjian itu tampaknya semakin menemui jalan curam ketika Iran telah secara brutal mengambil tindakan tegas terhadap para demonstran. Sementara di sisi lain negara-negara Barat mengatakan Rusia telah menggunakan pesawat nirawak buatan Iran dalam perang di Ukraina dan Iran telah mempercepat program nuklirnya. Ketiga hal ini semakin menyulitkan untuk meringankan sanksi terhadap Iran.

Sementara itu, Uganda pada tahun ini sedang berupaya membangun pembangkit listrik bertenaga nuklir, yang menurut pihak berwenang akan menghasilkan listrik pada tahun 2031. Pembangkit listrik yang dikembangkan dengan bantuan teknis dari China National Nuclear Corporation itu akan mengeksploitasi cadangan uranium yang substansial yang dimiliki negara di Afrika Timur itu. [em/jm]