Indonesia tidak hanya kaya akan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati, tapi juga keanekaragaman budaya karena terdiri dari 1.340 suku bangsa. Keberagaman yang dimiliki Indonesia merupakan aset berharga dan kekuatan bangsa untuk menjadi maju dan sejahtera.
Tokoh Masyarakat Sunda Wiwitan, Juwita Jatikususmah Putri, menyebut keberagaman suku, adat, dan bahasa yang dimiliki Indonesia, masih sering dipandang sebagai perbedaan yang menampilkan mana yang paling unggul atau yang paling baik, termasuk dalam praktik menjalankan keyakinannya. Masyarakat adat kata Juwita, sering dianggap sesat atau aneh oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.
“Sunda Wiwitan itu sebuah tuntunan hidup, atau sebuah nilai yang secara turun temurun kita dapatkan dari leluhur kita, terutama masyarakat Sunda. Ya boleh disebut bahwa ini adalah sebuah keyakinan yang dijalankan untuk menuntun kehidupan di masyarakat Sunda,” kata Juwita Jatikususmah Putri.
Juwita, yang juga Ketua Bidang Pendidikan di Yayasan Tri Mulya Tri Wikrama, berharap pemerintah dan masyarakat tidak lagi memposisikan agama maupun keyakinan masyarakat adat yang lebih dahulu ada di nusantara, sebagai dua sisi yang saling berhadapan.
“Jadi harusnya pemerintah tidak harus membedakan ada agama yang diakui atau yang tidak diakui, karena justru dengan pernyataan-pernyataan yang terus dikembangkan seperti itu, kita perlahan menafikan kesadaran kita sebagai negara yang berbhineka. Saya pikir tidak akan ada Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa adanya suku, adat dan budaya. Kenapa ada Bhinneka Tunggal Ika, pun karena pendiri bangsa ini menghargai kebhinekaan itu sendiri,” jelas Juwita Jatikususmah Putri.
Co-Founder dan Direktur SOKOLA Institute, Saur Marlina Manurung, menilai keberadaan masyarakat adat sebenarnya merupakan komponen penting penjaga kelestarian keanekaragaman hayati serta budaya yang ada di suatu bangsa. Keinginan untuk menyeragamkan pemikiran, budaya, serta keyakinan, menurut Saur Marlina Manurung, akan menghilangkan keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia.
“Masyarakat adat di Indonesia ada 50 sampai 70 juta, menurut AMAN, yang tinggal di dalam dan di luar hutan ada 60 jutaan. Dan di dunia sendiri jumlahnya hanya lima persen atau 400 juta, tetapi fakta yang mengejutkan adalah mereka itu sebetulnya yang memelihara 80 persen keanekaragaman hayati di bumi ini, dan 90 persen keanekaragaman budaya. Keanekaragaman budaya inilah yang sebetulnya diturunkan dari nenek moyang setiap masyarakat adat,” ujarnya.
Aktivis perempuan yang biasa disapa Butet Manurung ini juga menyoroti sektor pendidikan di Indonesia, yang menerapkan kurikulum yang sama kepada pelajar dari wilayah Indonesia timur, tengah, maupun barat. Padahal, kata Butet Manurung, kondisi geografis, budaya serta adat istiadat yang sangat beragam di Indonesia, memiliki karakteristik dan kebutuhan yang tidak sama satu dengan yang lain. Sebagai bangsa yang beragam, sudah seharusnya Indonesia menganut kurikulum pendidikan yang menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat di setiap daerahnya.
“Kalau di barat, masyarakatnya homogen, wajar kalau punya kurikulum yang seragam. Tetapi untuk di Asia, saya merasa tidak cocok. Tentu ada mata pelajaran yang harus seragam, tetapi kalau kurikulum seragam itu tidak cocok, karena kita itu geografisnya beragam, budayanya beragam, tantangan yang dihadapi beragam. Ada daerah yang banyak tsunami, ada daerah yang harus belajar untuk menyesuaikan diri dengan gempa terus menerus, tetapi di pelajaran sekolah tidak ada satu pun itu,” jelas Butet.
Your browser doesn’t support HTML5
Ditambahkannya, sudah saatnya komunitas-komunitas, maupun suku dan masyarakat adat di Indonesia, mendukung keberagaman dan menjadi diri sendiri sesuai karakter yang dimiliki. Menurut Butet Manurung, menghargai perbedaan dan keberagaman akan menghadirkan kedamaian di Indonesia, sehingga masyarakat secara bersama-sama dapat membangun kesejateraan bangsa yang lebih maju.
“Kalau saya sangat menganjurkan sekali kita semua di sini bisa menjadi agen keberagaman, dimulai dari anak, sepupu, keponakan, karena mendukung keberagaman atau mendukung masyarakat adat akan memperkuat Indonesia. Saya sangat yakin kalau komunitas-komunitas kecil di Indonesia bisa menjadi dirinya sendiri, bahagia dan juga mandiri, itulah yang justru akan membangun Indonesia,” imbuhnya. [pr/em]