Siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Darussalam, Ciamis, Jawa Barat, mengajukan ‘konsep 3T’ untuk semakin menumbuhkan sikap moderat. Siswa tersebut, Muhammad Iqbal Zia Ulhaq, mengatakan sikap moderat sangat penting.
“(Itu) mengharuskan seseorang mempunyai perilaku dapat menghargai perbedaan pendapat atau pun perbedaan suku, ras, dalam konteks perbedaan apapun,” ujarnya ketika ditemui VOA di Bandung, Rabu (23/10) siang.
Iqbal yang saat ini duduk di kelas XI mengatakan, sikap moderasi punya tiga indikator yakni: tawazun (seimbang), tawasuth (penengah), dan tasamuh (toleran). Sikap ini, tambah Iqbal, sangat penting di tengah keberagaman.
Your browser doesn’t support HTML5
“Nah, keberagaman ini seharusnya kita syukuri. Allah menciptakan berbagai macam makhluk itu diharuskan untuk saling memahami. Jadi kita harus menghargai perbedaan pendapat yang ada di kalangan kita,” jelas remaja asal Bandung ini.
Iqbal mengusung konsep 3T dalam Madrasah Young Researcher Supercamp (MYRES) tingkat Nasional tahun 2019. Gagasannya berhasil memenangkan gelar juara dalam sayembara bergengsi akhir September tersebut.
Menanamkan Spirit Moderat Lewat 3 Cara
Dalam penelitiannya “Islam Moderat: Konsep dan Implementasinya di Pondok Pesantren Darussalam,” dia mengungkap pendidikan agama moderat di sekolahnya sendiri. Dia menemukan tiga hal yang dilakukan sekolahnya dalam upaya menghasilkan muslim moderat.
Temuannya adalah: pertama, tanasub al-ahdaf, memasukkan spirit moderat ke dalam kurikulum, motto, panji siswa, dan lain-lain; kedua, takamul al-afham, menanamkan pemahaman keilmuan agama dan negara yang tinggi; ketiga, tafahum al-afkar wa al-mawafiq, menanamkan sikap bijak dalam menyikapi peristiwa dalam kehidupan.
“Jadi mereka pemikirannya tidak sempit. Mereka memahami senantiasa di masyarakat itu begini oh di masyarakat itu begini. Sehingga mereka, alumni-alumninya ketika terjun ke masyarakat, mereka bisa jadi penengah, bukan pemicu konflik,” papar dia lagi.
Islam di Indonesia telah lama dikenal bersikap moderat. Dua organisasi Islam terbesar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah juga memiliki reputasi tersebut. Namun, sejumlah riset menunjukkan sikap intoleran mulai berkembang.
Penelitian Wahid Institute pada 2015 menunjukkan dalam studi terhadap 306 siswa, ada siswa-siswi yang tidak setuju mengucapkan hari raya keagamaan orang lain sebanyak 27 persen dan ragu-ragu 28 persen. Sementara itu ada siswa-siswi yang akan membalas tindakan perusakan rumah ibadah mereka sebanyak 15 persen dan ragu-ragu 27 persen.
Maarif Institute mengatakan, intoleransi adalah tahap pertama menuju radikalisme dan terorisme.
Di tengah kondisi itu, Iqbal berharap gagasannya bisa diterapkan di institusi pendidikan yang lebih luas. Sebab, menurutnya, pendidikan adalah sarana efektif untuk membendung radikalisme.
“Mungkin konsep ini bisa digunakan di kurikulum. Kurikulum baik sekolah Islam maupun sekolah negeri. Diharapkan bisa dimasukkan ini, dalam kurikulum, dalam proses pembelajaran, dalam mentoring, keteladanan guru dalam bersikap,” jelasnya.
Para Guru Diharapkan Jadi Pembaharu
Sementara itu, kelompok sipil terus menebar nilai-nilai keberagaman di sekolah. Di Bandung, Keluarga Peduli Pendidikan (Kerlip) menggaet 50 guru pendidikan agama Islam dalam Guru Modis (moderat, inovatif, inspiratif, dan santun).
Penanaman nilai-nilai moderat itu sangat penting dalam proses pembelajaran, ujar Muliani Herman dari Komunitas Literasi Infinity. Jangan sampai pelajaran agama Islam hanya menyampaikan materi namun gagal mencetak akhlak baik.
“(Harus) meaningful buat anaknya. Artinya ada perubahan sikap, perubahan akhlak melalui tata kelola pelajaran di kelas, kurikulum, dan silabus. Oleh karena itu kami secara komunitas membantu secara informal,” terangnya ketika ditemui di Bandung.
Muliani menekankan, guru agama perlu pendekatan baru.
“Perlu adanya guru yang inovatif, inspiratif. Kenapa moderat? Karena kalau santun, inovatif, dan inspiratif, itu meminimalkan friksi-friksi yang ada. Jadi tujuan akhirnya adalah semua orang menuju akhlak baik,” jelasnya.
Sementara itu, Nia Kurniati dari SMPN 11 Bandung, mengatakan penting menanamkan sikap moderat sejak dini.
“Agar mereka paham bahwa berbeda itu indah. Justru yang harus dipikirkan oleh kami para guru adalah biasa menerima perbedaan di sekolah. Jadi kalau ada pendapat yang berbeda ya nggak apa-apa. Justru dicari nih kenapa ya kamu punya pemikiran yang berbeda?,” ujarnya yang mendampingi siswa menyusun kolase kebangsaan.
Nia berharap, bibit keberagaman bisa tumbuh subur di masa depan.
“Paling tidak saya sudah memberikan bekal kepada anak-anak di usia 12-14 tahun. Menurut saya itu efektif sekali untuk menanamkan prinsip dan konsep tentang keberagaman,” pungkasnya. [rt/lt]