Memetakan Dampak Kecerdasan Buatan Bagi Sektor Tenaga Kerja

  • Nurhadi Sucahyo

Para buruh perempuan di sebuah pabrik rokok di Yogyakarta. Indonesia perlu mewaspadai dampak teknologi kecerdasan buatan terhadap sektor ketenagakerjaan. (Foto: VOA/ Nurhadi)

Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan terus berkembang dalam berbagai format. Indonesia perlu mewaspadai dampak teknologi ini terhadap sektor ketenagakerjaan.

Dosen dan peneliti manajemen dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Deniey Adi Purwanto menyebut dampak AI di sektor ketenagakerjaan terbagi ke dalam dua kutub. Di satu sisi, banyak pihak memprediksikan bahwa AI akan berdampak mendalam terhadap lapangan kerja, dalam bentuk hilangnya jenis pekerjaan tertentu.

“Di sisi lain, AI itu memang menggantikan beberapa tugas, yang tadinya dikerjakan oleh manusia, oleh tenaga kerja. Tetapi perkembangan AI juga memunculkan lapangan kerja baru, baik secara parsial di satu sektor, maupun secara global,” ujarnya dalam diskusi yang diselenggarakan lembaga kajian ekonomi Indef, Kamis (9/3) sore.

Tiga dampak itu disebut sebagai job destruction, job disruption, dan job creation.

Ribuan pekerja pabrik di Cikarang, Jawa Barat ikut dalam aksi mogok buruh nasional untuk menuntut kenaikan upah dan penghapusan outsourcing pada Oktober 2012. (Foto: AP)

Namun, ini adalah dampak yang wajar ketika teknologi berkembang. Dia mengingatkan, pada era ketika komputer mengalami perkembangan luar biasa, berbagai pihak khawatir sektor tenaga kerja terdampak negatif. Buktinya, memang ada pekerjaan yang hilang, tetapi banyak pula jenis pekerjaan baru yang lahir.

World Economic Forum memperkirakan, hingga tahun 2025 akan ada sekitar 85 juta pekerjaan tergantikan AI. Namun dalam periode yang sama, laporan itu juga menyebut AI juga akan mendorong penciptaan 97 juta lapangan kerja baru. Melihat angka itu, kata Deniey, net impact yang ditimbulkan positif.

Di Indonesia, belum ada penelitian mendalam terkait dampak AI bagi sektor tenaga kerja. Namun, sejumlah referensi memperkirakan ada sekitar 50 persen hingga 60 persen pekerjaan akan terdampak oleh otomasi, yang di antaranya penggunaan AI.

BACA JUGA: PBB: Kecerdasan Buatan Timbulkan 'Risiko Serius' bagi HAM 

“Beberapa pekerjaan memiliki risiko cukup tinggi untuk terdampak otomasi melalui AI. Diantarnya retail, jasa, industri manufatur, termasuk lapangan kerja yang erat kaitanya dengan administrasi kantor, aktivitas penunjang kantor, dan aktivitas penunjang usaha lainnya,” papar Deniey.

Secara lebih detil, Deniey menyebut setidaknya ada empat dampak yang bisa diperkirakan. Pertama, pengurangan jam kerja, penurunan pendapatan hingga pemutusan hubungan kerja. Kedua, mobilitas tenaga kerja baik horizontal antarjenis pekerjaan atau vertikal serta mobilitas antarwilayah. Ketiga perumusan kembali tugas dan pekerjaan tenaga kerja, karena sebagian atau seluruhnya akan digantikan AI. Keempat, keterampilan tenaga kerja yang harus diatasi dengan upaya pelatihan dan sejenisnya.

Solusinya, kata Deniey, harus ada upaya menyiapkan angkatan kerja yang disebut AI-Ready. Tidak harus selalu angkatan kerja baru, tetapi industri bisa melakukan penyesuaian dengan melatih tenaga kerja mereka saat ini.

Robot yang dilengkapi kecerdasan buatan terlihat di AI Xperience Center di VUB (Vrije Universiteit Brussel) di Brussels, Belgia 19 Februari 2020. (Foto: REUTERS/Yves Herman)

Sejumlah Tantangan di Indonesia

Kepala Center of Digital Economy Indef Eisha Maghfiruha Rachbini menyebut Indonesia memiliki sejumlah tantangan dalam pemanfaatan teknologi AI ke depan.

“Walaupun memang penerapan AI ini memberikan manfaat, tetapi butuh biaya dan modal yang tinggi. Kemudian butuh inovasi, riset, development juga yang memang effort-nya besar,” kata Eisha terkait tantangan pertama.

Yang kedua, ujar dia, adalah AI akan mengubah struktur ekonomi dan ketenagakerjaan di Indonesia. Selanjutnya, AI juga berpotensi menciptakan inequality.

“Kesenjangan antar sektor ekonomi, antarwilayah, antargender. Itu sebenarnya kesenjangan multi aspek, juga multi perspektif. Dan yang keempat adalah regulasi mengenai penerapan AI,” imbuhnya.

BACA JUGA: Microsoft Batasi Layanan Bing Chats Hanya 5 Pertanyaan per Sesi 

Karena itulah, Indef merekomendasi sejumlah upaya yang semestinya diambil pemerintah. Melihat potensi pemanfaatannya untuk pertumbuhan ekonomi di satu sisi, dan dampak buruk di sisi lain, menurut Eisha Indonesia perlu mengantisipasi dampak negatif perkembangan AI.

Sebagai alat bantu, AI membutuhkan regulasi kebijakan yang harus diambil dengan mengedepankan technology ethical dan privacy data protection. Standar yang sama harus diterapkan, baik untuk pengembang teknologi AI maupun penggunanya.

“Jadi diharapkan, tidak mengekang pertumbuhan inovasi, tetapi juga bisa mengantisipasi dampak negatif,” ujarnya.

Kebijakan strategis ini, terutama perlu diterapkan di sektor industri. Karena membutuhkan modal besar dalam pengembangannya, Indonesia membutuhkan dorongan investasi. Selain itu, perlu juga membangun infrastruktur dan pengembangan sumber daya manusia.

Robot humanoid R1, dirancang oleh Institut Teknologi Italia, berfungsi sebagai panduan virtual bagi pengunjung. (Foto: AFP)

“Serta bagaimana ekosistem inovasi dan research development ini bisa berjalan dengan baik. Jadi menumbuhkan penelitian dan inovasi teknologi ke depan,” kata Eisha.

Tantangan Tambahan bagi Perempuan

Gelombang perkembangan AI memang menciptakan kesenjangan gender yang menempatkan perempuan tersisihkan dalam perebutan pekerjaan terkait teknologi ini. Perwakilan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Indonesia Valerie Julliand mengungkit hal ini ketika berkunjung ke Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Selasa (7/3).

Mengutip data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2020 di Indonesia persentase lulusan bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika di perguruan tinggi adalah 32 persen dari seluruh lulusan. Angka itu didominasi oleh lulusan laki-laki.

UNESCO menyebut 61 persen perempuan mempertimbangkan stereotipe gender saat mencari pekerjaan. Sekurangnya 50 persen perempuan tidak tertarik bekerja di bidang STEM karena sektor ini sudah didominasi laki-laki. Secara global, laki-laki mengakses daring 21 persen lebih sering dibandingkan perempuan. Ada dua perempuan untuk setiap satu laki-laki di industri teknologi.

BACA JUGA: Elon Musk Rekrut Tim Saingi ChatGPT

“Perbandingan yang lebih buruk lagi ada di bidang artificial intelligent, yaitu lima banding satu,” ungkap Valerie.

Karena itulah, PBB memberi perhatian besar terhadap upaya mendobrak stereotipe, bias, dan hambatan struktural mewujudkan kesetaraan gender, khususnya di dunia digital.

PBB, kata Valerie, telah menyerukan sejumlah tindakan, seperti menutup semua kesenjangan akses dan keterampilan digital serta menghilangkan hambatan sistemik. PBB juga mendukung partisipasi dan kepemimpinan perempuan dan anak perempuan dalam pendidikan dan karier di bidang STEM. Dukungan juga diberikan dapam penciptaan teknologi yang memenuhi kebutuhan perempuan dan anak perempuan, dan mengatasi kekerasan berbasis gender yang difasilitasi oleh teknologi.

“PBB di Indonesia telah bekerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan untuk menyediakan akses ke pengembangan keterampilan kewirausahaan digital, memperkuat dan mendorong lingkungan yang mendukung pemberdayaan ekonomi perempuan, serta mempromosikan perempuan dan anak perempuan dalam STEM dan inkubator inovasi, dan terus menerus menumbuhkan para pejuang perubahan,” papar Valerie. [ns/ah]