Uni Eropa menerapkan syarat lebih berat bagi sejumlah produk pertanian, termasuk sawit dan produk turunannya, untuk bisa masuk ke benua itu. Pakar melihat ini bagian dari perang dagang, tetapi aktivis lingkungan menolak klaim itu.
Pernyataan yang menyebut produk sawit dan turunannya dari Indonesia bertanggung jawab atas penggundulan hutan atau deforestasi telah cukup lama bergaung. Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Sri Raharjo mengkritik kampanye negatif negara-negara barat, terhadap minyak sawit Indonesia.
“Kita tahu bahwa sejumlah negara maju di barat telah lama melakukan praktek public relation yang canggih, melalui berbagai media untuk melemahkan minyak sawit. Mereka melakukan ini dengan harapan agar konsumen, terutama di Eropa dan Amerika, menjauhi minyak sawit dan melindungi minyak nabati yang mereka produksi di wilayahnya,” kata Sri Raharjo.
Profesor pertanian itu berbicara dalam pidato ilmiah resmi, untuk memperingati ulang tahun UGM ke 73, pada Senin (19/12).
“Minyak sawit terus dikritik secara tidak fair selama bertahun-tahun, karena dituduh tidak sehat, merusak lingkungan, dan tuduhan yang baru terus dimunculkan ditambahkan ke daftar kesalahan minyak sawit,” tambah Sri Raharjo.
Sri Raharjo adalah satu dari sejumlah pakar yang rajin membela posisi Indonesia dalam lansekap bisnis kelapa sawit. Di tengah kritik karena kebun sawit merusak hutan, dia sering menyampaikan pendapat ilmiah yang melawan kampanye, terutama dari Uni Eropa.
Pada Oktober 2022 lalu misalnya, Sri Raharjo memberikan kuliah umum di Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, yang intinya meminta semua pihak berhenti memberi predikat buruk pada sawit Indonesia. Sebelumnya dalam simposium sawit nasional pada Mei 2022, Sri Raharjo menyebut kampanye negatif muncul karena persaingan bisnis minyak nabati.
BACA JUGA: RI Minta Uni Eropa Perlakukan Kelapa Sawit Indonesia Secara AdilSri Raharjo meyakini, kampanye negatif terhadap sawit Indonesia, adalah bagian dari upaya sistematis untuk melemahkan minyak sawit dan demi memperoleh keuntungan komersial secara tidak fair, dari komoditas negara-negara penghasil minyak nabati non-sawit.
Produksi minyak sawit berkontribusi 36 persen terhadap total produksi minyak nabati dunia. Sawit dinilai turut menjaga pangan dunia, tetapi di sisi lain tidak menerima pengakuan yang adil oleh negara-negara barat. Padahal, Sri Raharjo, meyakini banyak negara diuntungkan dari impor minyak sawit Indonesia.
“Tidak hanya dalam hal memenuhi kebutuhan minyak nabati mereka, tetapi juga sebagai input ekonomi yang penting bagi industri makanan dan oleokimia, di negaranya, serta menyerap tenaga kerja,” tegasnya.
Uni Eropa Sahkan UU Baru
Kampanye negatif sawit Indonesia memasuki babak baru ketika Parlemen Uni Eropa mengesahkan Undang-Undang Komoditas Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EU Deforestation Regulation (EUDR), pada 6 Desember 2022. UU ini tidak hanya berlaku untuk sawit, tetapi juga untuk sapi, kedelai, kopi, kakao, kayu dan karet serta produk turunannya, seperti daging sapi, furnitur, atau coklat. Uni Eropa ingin ada transparansi produk yang masuk dan keluar dari benua itu, dan membawa semangat berkelanjutan.
Dikutip dari pernyataan resmi yang dikeluarkan 5 Desember 2022, Virginijus Sinkevičius, Komisioner Lingkungan, Kelautan, dan Perikanan Parlemen Uni Eropa menyebut, Uni Eropa mengirimkan sinyal kuat ke seluruh dunia bahwa mereka bertekad mengatasi deforestasi global yang berkontribusi besar terhadap krisis iklim dan rusaknya lingkungan.
“Agar berhasil, kami akan membangun kerja sama yang efisien dan erat dengan negara konsumen dan produsen untuk memastikan kelancaran prosesnya,” kata Sinkevičius.
BACA JUGA: Proposal Regulasi Uni Eropa Diyakini Perbaiki Tata Kelola Sawit IndonesiaSementara Frans Timmermans, Wakil Presiden Eksekutif untuk Kesepakatan Hijau Eropa mengatakan, kesepakatan politik ini menandai titik balik penting dalam perjuangan global melawan deforestasi. “Saat kami melakukan transisi hijau di Uni Eropa, kami juga ingin memastikan bahwa rantai nilai kami juga menjadi lebih berkelanjutan. Memerangi penggundulan hutan adalah tugas mendesak bagi generasi ini, dan warisan besar yang harus ditinggalkan untuk generasi berikutnya,” kata dia.
Setelah UU ini berlaku, industri sawit memiliki waktu 18 bulan untuk memenuhi persyaratan yang ada di dalamnya.
Pemerintah Tidak Diam
Negara-negara penghasil sawit tentu bereaksi untuk melawan kampanye negatif ini. Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) atau Dewan Negara-Negara Produsen Minyak Sawit, baru saja mengadakan pertemuan di Yogyakarta, 15 Desember 2022 untuk merancang strategi. Salah satunya, adalah mengumpulkan lebih banyak negara penghasil minyak sawit sebagai anggota penuh organisasi ini agar lebih kuat.
Dalam pernyataan yang dirilis, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Musdhalifah Machmud memastikan bahwa kelapa sawit penting secara sosial, ekonomi, dan lingkungan.
“CPOPC harus berperan untuk menjawab tantangan yang bergulir di industri ini, dan memberikan kontribusi yang lebih signifikan dari sektor kelapa sawit untuk pemulihan global yang kuat, inklusif, dan berkelanjutan,” ujarnya.
Krisis minyak nabati beberapa waktu terakhir, membuktikan kerentanan pasar. Minyak sawit sebagai minyak nabati paling terjangkau dan paling melimpah, kembali dilirik.
“CPOPC harus mampu memanfaatkan momentum tersebut guna menyoroti bahwa kampanye dan kritik keberlanjutan terhadap minyak sawit, tidak akurat dan tidak berdasar,” tegas Musdhalifah
Pertemuan ini juga membahas legislasi Uni Eropa yang berimplikasi negatif terhadap industri kelapa sawit. CPOPC berencana memperkuat keterlibatan pemangku kepentingan terkait sawit di Uni Eropa, termasuk pembuat kebijakan, organisasi non-pemerintah, perusahaan, dan konsumen. CPOPC juga ingin melibatkan negara anggota Uni Eropa, dalam skema sertifikasi wajib nasional seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO).
Kesempatan Perbaiki Citra
Organisasi lingkungan Greenpeace, tidak setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa Uni Eropa menekan sawit karena perang dagang. Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia yang dihubungi VOA mengatakan, Uni Eropa adalah konsumen terbesar produk-produk yang beresiko tinggi terhadap ekosistem dan deforestasi. Karena itulah, UU baru ini merupakan pertanggungjawaban mereka terhadap lingkungan, dengan menetapkan aturan dari sisi konsumen.
BACA JUGA: Indonesia Gugat Uni Eropa di WTO Terkait Kebijakan Kelapa Sawit“Kalau kemudian mengatakan ini bagian dari trade war-nya Uni Eropa untuk menghadang minyak nabati berupa sawit, menurutku itu adalah pandangan yang sangat keliru,” kata Syahrul, Senin (19/12).
Uni Eropa banyak bergantung pada produk-produk tertentu, terutama minyak sawit. Meski mereka menghasilkan minyak biji bunga matahari, tetapi efisiensi produksi terhadap sawit tidak dapat dibandingkan.
Di sisi lain, sejak lama negara-negara di belahan utara Bumi adalah pendorong deforestasi terbesar, hampir di semua negara yang memiliki hutan hujan tropis seperti Brazil, Kongo dan Indonesia. UU ini menjadi kesadaran baru mereka untuk menjaga lingkungan dan menahan laju dampak perubahan iklim. Satu hal yang harus diketahui adalah bahwa aturan ini berlaku global, sehingga bukan upaya khusus untuk menghambat produk-produk Indonesia.
“Meregulasi penduduk atau warga negara mereka, untuk berhenti mengonsumsi produk yang terhubung dengan deforestasi, itu adalah upaya yang menurutku sangat rasional. Mereka tidak melarang sawit masuk, tetapi hanya sawit yang mengakibatkan deforestasi,” tambah Syahrul.
Syahrul justru mendesak momentum UU baru di Eropa ini dijadikan peluang menetapkan harga minyak sawit lebih adil. Jika petani sawit Indonesia mematuhi untuk tidak melakukan deforestasi dan memastikan produk mereka bebas dari perusakan lingkungan, Uni Eropa selayaknya membayar produk itu lebih tinggi.
Dia juga mengingatkan, Amerika Serikat sedang dalam proses pembuatan UU yang serupa. Karena itu, tidak masuk akal jika komunitas sawit Indonesia bersikap untuk tidak mematuhi aturan baru Eropa, dan mengkampanyekan pasar baru. Jika Indonesia hanya mau menjual minyak sawit ke India atau China, harga yang mereka tetapkan akan rendah.
Your browser doesn’t support HTML5
Diperlukan kesadaran dari komunitas sawit di Indonesia bahwa upaya ini adalah bagian dari tanggung jawab bersama terkait perubahan iklim, krisis iklim dan bencana iklim. Apalagi Indonesia memiliki komitmen serupa, di antaranya melalui kebijakan moratorium hutan dan target FOLU (forest and other land uses atau pemanfaatan hutan dan penggunaan lahan) Net Sink 2030.
“Situasi kita hari ini, perlu tindakan agresif dan aktif setiap negara untuk menekan laju kenaikan suhu bumi tetap di bawah satu setengah derajat celcius. Dan itu sudah menjadi komitmen bersama negara-negara di bidang konferensi COP, di mana Uni Eropa maupun Indonesia bagian dari itu,” tegas Syahrul.
Indonesia sudah memiliki luasan lahan sawit sekitar 16 juta hektare. Jumlah ini, kata Syahrul sudah cukup. Yang harus dilakukan adalah meningkatkan produksi per hektare lahan, bukan membuka lahan baru. [ns/ab]