Menakar Kans Penyelesaian Konflik Israel-Palestina Kini

Orang-orang di Kota Nablus, di Tepi Barat yang diduduki, membentangkan bendera Palestina raksasa dalam pawai untuk menunjukkan dukungan terhadap warga di Jalur Gaza di tengah pertempuran antara Israel dan Hamas, Kamis, 26 Oktober 2023. (Foto: Zain Jaafar/AFP)

Dalam pidato televisi pada 19 Oktober, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden masih ingin memperjuangkan solusi dua negara (two-state solution) untuk menciptakan perdamaian antara Israel dan Palestina. Pidato Biden itu menyusul kunjungan singkatnya ke Tel Aviv untuk mendukung Israel dalam perang melawan militan Hamas.

Sentimen yang sama ia sampaikan lagi pada 25 Oktober di Gedung Putih saat menerima kunjungan kenegaraan perdana menteri Australia.

Prinsip solusi dua negara, di mana negara Israel hidup berdampingan dengan negara Palestina yang merdeka, sudah dicetuskan sejak 1937 oleh Komisi Peel atau Komisi Kerajaan Palestin. Namun hingga kini belum tercapai.

“Ketika krisis ini selesai, harus ada visi tentang apa yang akan datang. Dalam pandangan kami, visi itu harus berupa solusi dua negara,” kata Biden dalam konferensi pers bersama di Gedung Putih (25/10).

BACA JUGA: AS Jatuhkan Sanksi Baru Terhadap Hamas

Biden berulang kali menekankan bahwa Hamas – yang dikategorikan sebagai organisasi teroris oleh pemerintah AS – tidak mewakili rakyat Palestina. Hamas sendiri adalah faksi yang berkuasa di Jalur Gaza setelah mengalahkan Fatah dalam pemilu parlemen 2006 di wilayah Palestina.

“Hamas itu, kalau merdeka, ya inginnya Palestina itu menjadi negara Islam dan dia sejak awal no two-state solution. Kalau two-state solution, pihak Hamas mengatakan, ‘Lho, tanah saya diambil kok, kemudian dibagi dua, bagaimana itu?’,” ungkap Siti Muti’ah Setiawati, pengamat politik Timur Tengah dari Universitas Gadjah Mada, kepada VOA (13/10).

Tidak seperti Fatah – faksi moderat yang memimpin Otoritas Nasional Palestina (PA) dan menguasai daerah pendudukan Tepi Barat, Hamas sejak awal tidak mau menerima solusi dua negara.

Seorang remaja Palestina memegang bendera Hamas dalam bentrokan dengan tentara Israel di pintu masuk utara Ramallah, di Tepi Barat, dekat permukiman Israel Beit El di tengah konflik Israel dan Hamas, Jumat, 27 Oktober 2023. (Foto: Jaafar Ashtiyeh/AFP)

Muti'ah mengatakan di tengah persaingan berbagai faksi di wilayah Palestina, solusi dua negara jadi sulit diwujudkan.

Perundingan antara Israel dan PA sendiri terakhir kali diselenggarakan 2014 yang dimediasi oleh John Kerry, yang saat itu menjabat menteri luar negeri AS. Perundingan itu berakhir dengan kebuntuan.

Tidak Ada Lagi Persatuan Arab

Secara historis, negara-negara yang tergabung dalam Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) berkomitmen untuk memperjuangkan pendirian negara Palestina sambil memboikot Israel.

Akan tetapi, seiring waktu, beberapa di antara mereka menormalisasi hubungan dengan Israel. Diawali dengan Mesir pada 1980, Yordania pada 1994, dan kemudian Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko serta Sudan melalui Perjanjian Ibrahim (Abraham Accords) yang dimediasi AS pada 2020 dan 2021.

“Tidak ada lagi persatuan Arab, kalau dalam pandangan saya,” kata Muti’ah.

BACA JUGA: Militer Israel Katakan Pasukan Lakukan Serangan Darat Lainnya di Jalur Gaza

Persatuan itu menurutnya sudah tergerus sejak Perang Enam Hari pada 1967, ketika Israel mengalahkan Mesir, Yordania dan Suriah. Sejak itu, Yerusalem Timur, Tepi Barat, Jalur Gaza dan Dataran Tinggi Golan diduduki oleh Israel. Permukiman Yahudi di daerah-daerah pendudukan pun dimulai tak lama setelahnya.

Persis sebelum eskalasi terbaru mengemuka, AS sedang membantu Arab Saudi menjajaki rencana normalisasi hubungan dengan Israel. Meski Saudi membekukan proses tersebut setelah perang pecah, pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia, Broto Wardoyo, menduga rencana tersebut akan kembali dilanjutkan begitu eskalasi mereda, selama penolakan dari masyarakat tidak signifikan.

Broto mengatakan yang dijanjikan oleh Putra Mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salman adalah modernisasi.

“Dari situ sebetulnya saya tidak melihat bahwa isu Palestina itu akan menjadi hambatan yang luar biasa, karena pihak Saudi lebih menghendaki kehidupan yang jauh lebih – kita nggak bisa mengatakan demokratis – tapi lebih terbuka, lebih modern," kata Broto kepada VOA (11/10).

Konvoi tentara Israel melintas di Sinai, Mesir, dalam Perang Enam Hari antara Israel dan negara-negara Arab, 7 Juni 1967. (Foto: AP Photo/Arsip)

Dalam jajak pendapatArab Barometer, hasil kerja sama dengan Palestinian Center for Policy and Survey Research dan dukungan National Endowment for Democracy, menjelang perang 7 Oktober lalu, warga Gaza memandang negatif normalisasi hubungan yang dilakukan negara-negara Arab dengan Israel.

Hanya 10 persen responden Gaza yang menyetujui normalisasi hubungan, sedangkan banyak lainnya menilai solidaritas negara-negara Arab krusial dalam perjuangan Palestina.

Dalam konferensi pers di Beirut, Lebanon, pada 24 Oktober, pejabat Hamas Osama Hamdan meminta negara-negara Arab menghentikan normalisasi hubungan “dengan penjajah,” merujuk pada Israel. Hamas juga meminta negara-negara Arab dan Muslim yang sudah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel untuk mengusir duta besar negara tersebut.

Broto menambahkan menurunnya relevansi isu Palestina bagi Arab Saudi juga erat hubungannya dengan ketidakpuasan kerajaan itu pada konflik internal di wilayah Palestina. Persaingan faksi-faksi yang tak kunjung menghasilkan konsensus membuat Saudi lebih memprioritaskan kepentingan dalam negeri. Hal itu, kata Broto, berlaku pula untuk negara-negara Arab lainnya.

“Hal-hal semacam ini yang kadang-kadang kita tidak pertimbangkan. Artinya, kalau kita di Indonesia kan berpikirnya, ‘Pokoknya kita dukung apa pun yang terjadi,’ tapi kita kan nggak pernah keluar duit banyak juga untuk mereka. Tapi kalau negara-negara Arab itu, mereka keluar duit banyak untuk mereka. Kalau kita mau fair,” kata Broto.

BACA JUGA: Menlu RI Serukan Israel untuk Hentikan Pendudukan Ilegal 

Menurut data Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the near East/UNRWA) pada 2022, Amerika Serikat merupakan negara donor nomor satu untuk Palestina dengan jumlah bantuan lebih dari 343 juta dollar AS atau setara 5,45 triliun rupiah. Arab Saudi ada di peringkat delapan dengan 27 juta dollar AS, sementara Indonesia duduk di peringkat 54 dengan $200 ribu atau 3,18 miliar rupiah, sama seperti Malaysia yang ada di urutan berikutnya.

“Yang kemudian harus kita pikirkan sebetulnya, kenapa Hamas dengan Fatah nggak pernah bisa dijembatani?” ucap Broto.

Keberpihakan Amerika

Ketika militan Hamas melancarkan serangan dadakan dan besar-besaran ke Israel pada 7 Oktober, AS dengan cepat mengutuk serangan tersebut dan memberikan jaminan dukungan bagi Israel.

“Dukungan pemerintahan saya untuk keamanan Israel sangat kuat dan tidak tergoyahkan,” kata Presiden AS Joe Biden pada hari yang sama.

Pada 18 Oktober, Biden terbang ke Tel Aviv untuk menunjukkan dukungannya secara langsung. Ia berulang kali membela hak – bahkan belakangan disebutnya sebagai tanggung jawab – Israel untuk membela diri.

Di markas PBB di Kota New York, 18 Oktober, AS juga memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan “jeda bantuan kemanusiaan” di Gaza, karena naskah resolusi tidak mencantumkan pernyataan bahwa Israel berhak membela diri.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu (kiri) menyambut Presiden AS Joe Biden yang baru mendarat di Bandara Ben Gurion di Tel Aviv, 18 Oktober 2023, di tengah perang antara Israel dan Hamas. (Foto: Brendan Smialowski/AFP)

Penggunaan hak veto AS untuk membela Israel itu bukan pertama kalinya. Washington selalu memveto resolusi Dewan Keamanan PBB untuk mengutuk berbagai tindakan Israel yang dinilai melanggar hukum internasional dan mengancam proses perdamaian serta solusi dua negara.

Dukungan itu diberikan AS sejak sebelum negara Israel berdiri. Menurut Congressional Research Service, hingga Februari 2022, AS telah memberi bantuan sebesar $150 miliar (belum disesuaikan dengan inflasi) atau sekitar 2.357,5 triliun rupiah kepada Israel. Jumlah itu menjadikan Israel negara penerima bantuan kumulatif terbesar AS sejak Perang Dunia II.

Menurut Broto Wardoyo, persekutuan AS dan Israel terbentuk karena sejumlah faktor. Pertama, alasan moral berupa solidaritas dengan penderitaan dan perjuangan bangsa Yahudi yang dulu menghadapi persekusi dan genosida oleh Nazi. Kedua, kuatnya lobi kepentingan kelompok-kelompok Yahudi dalam politik AS. Ketiga, kepentingan Amerika untuk mempertahankan pengaruhnya di Timur Tengah.

BACA JUGA: Militer Israel Katakan Pasukan Lakukan Serangan Darat Lainnya di Jalur Gaza

Keberpihakan terhadap Israel itulah yang membuat Siti Muti’ah Setiawati memandang pesimis prospek perdamaian Israel-Palestina selama AS memediasi proses tersebut.

“Syarat (menjadi) mediator itu tidak memihak. Lah, kalau dia memihak, ya harapan kita habis,” ungkapnya.

Indonesia Sulit Jadi Penengah

Di sisi lain, dari masa ke masa, Indonesia konsisten mendukung perjuangan warga Palestina untuk meraih kemerdekaan.

Di sela-sela pertemuan Dewan Keamanan PBB, nRabu (25/10), Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi kembali menyerukan diakhirinya akar penyebab konflik Israel-Palestina melalui solusi dua negara.

Tapi peran seperti apa yang bisa dimainkan Indonesia?

“Kalau untuk menyelesaikan konflik dalam konteks Palestina-Israel, itu tidak realistis,” ungkap Broto. Pasalnya, Indonesia tidak punya pengaruh apa-apa untuk menekan Israel.

“Karena Indonesia tidak pernah membangun kontak dengan Israel. […] Kita tidak punya (kontak) kan karena masalah ideologis," imbuhnya.

Demo pro-Palestina di depan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, 20 Oktober 2023, di tengah berlangsungnya konflik antara Israel dan Hamas yang sudah menewaskan ribuan orang. (Foto: Bay Ismoyo/AFP)

Padahal, menurutnya, apabila Indonesia punya hubungan dagang, intelijen atau antarmasyarakat dengan Israel – bukan hubungan diplomatik – pemerintah akan memiliki daya tawar terhadap Israel untuk membantu penyelesaian konflik.

Broto menambahkan yang mungkin bisa dilakukan Indonesia saat ini adalah membantu menyelesaikan masalah internal Palestina menjembatani faksi-faksi yang saling bersaing karena Indonesia mempunyai hubungan degan kedua kubu tersebut.

Tantangannya adalah mengubah kebijakan luar negeri non-intervensi yang dianut Indonesia saat ini.

Ketegangan antarfaksi di Palestina juga disoroti Siti Muti’ah, yang sependapat bahwa Indonesia akan sulit menengahi konflik Israel-Palestina.

“Menjadi penengah yang mana? Konflik Hamas-Israel? Lha, Fatahnya juga mungkin akan keberatan,” tuturnya.

Baginya, dukungan yang diberikan Indonesia untuk rakyat Palestina sejauh ini sudah sangat baik.

“Di Jalur Gaza kita punya rumah sakit Indonesia. Kemudian di Ramallah kita punya konjen khusus (konsulat kehormatan, red.). Kemudian kita juga secara rutin membangun kapasitas orang-orang Palestina, menyiapkan mereka (seandainya) merdeka,” ungkapnya.

Alih-alih Indonesia atau AS, Muti’ah berharap Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat memaksimalkan perannya dalam mengatasi konflik Israel-Palestina.

Setelah terlibat dalam berbagai upaya diplomasi untuk memediasi kedua pihak – dari Resolusi 181 pada 1947 hingga Perjanjian Oslo pada 1993, PBB belum berhasil juga mendamaikan Israel dan Palestina.

Belakangan, Israel justru murka kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres karena dianggap membenarkan serangan Hamas yang menewaskan lebih dari 1.400 orang di Israel pada 7 Oktober.

Dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB pada 24 Oktober, Guterres mengatakan bahwa “serangan Hamas tidak terjadi tanpa alasan.”

Hingga berita ini diturunkan, kementerian kesehatan di Gaza yang dikelola oleh Hamas menyatakan bahwa sedikitnya 6.000 warga Gaza tewas akibat serangan udara Israel. [rd/ab/ft]