Film dokumenter “You and I” besutan perdana Fanny Chotimah, Kamis malam (24/9) dinobatkan sebagai film terbaik di Asian Competition of the 12th DMZ International Documentary Film Festival. “The Asian Perspective Award” yang diraih film ini merupakan anugerah tertinggi dalam kompetisi itu.
“Saya luar biasa senang tetapi sekaligus sedih karena tidak dapat membagi kebagian ini dengan Kaminah dan Kusdalini,” ujar Fanny ketika dihubungi VOA melalui telpon Jumat pagi (25/9). Kaminah dan Kusdalini adalah dua tokoh sentral yang menjadi nadi film dokumenter yang digarap selama hampir empat tahun ini.
“Mereka tidak bisa menyaksikan film ini karena sudah damai di sana. Kusdalini meninggal pada 2017, Kaminah setahun kemudian. Film ini sebenarnya sekaligus menjadi dokumentasi terakhir kehidupan mereka,” tutur Fanny lirih.
“You & I” Potret Kehidupan Dua Mantan Tapol
“You and I” memotret perjalanan dua mantan narapidana politik Kaminah dan Kusdalini.
“Kedua perempuan ini bertemu di penjara ketika masih muda, pada tahun 1965. Setelah keluar dari penjara Kaminah ditolak kembali ke keluarga karena stigma terhadap keputusan politiknya dan akhirnya ia tinggal bersama Kusdalini. Keduanya tidak pernah menikah karena begitu kuatnya stigma mantan tapol. Mereka juga tidak bisa melanjutkan sekolah dan tidak bisa bekerja. Untuk bertahan hidup mereka membuka warung, jualan soto, melayani catering, dan menghabiskan hari tua bersama dengan berjualan kerupuk,” papar Fanny menjelaskan kedua subyek yang diangkatnya dalam film itu.
Berbeda dengan film lain, selama bertahun-tahun Fanny memberi ruang sangat luas kepada Kaminah dan Kusdalini, untuk menerima kehadirannya sebelum memotret kehidupan mereka ke layar lebar.
“Keduanya tinggal di satu kelurahan yang sama dengan saya, di kota Solo. Seringkali saya datang hanya karena senang mendengar cerita-cerita mereka. Saya sedang didongengkan, mendengar apa yang mereka alami. Mungkin karena saya juga merindukan sosok nenek yang hilang dalam hidup saya, juga karena stigma. Saya jadi jatuh cinta pada keduanya. Saya suka bawa makan siang dan makan siang bersama, atau ngobrol-ngobrol lama. Saya tidak gegabah untuk langsung ambil gambar misalnya. Ada proses yang panjang, dan akhirnya saya yang justru menikmati persahabatan ini,” papar Fanny.
Kedekatan Fanny, sutradara perempuan kelahiran tahun 1983 ini, membuat pengambilan gambar Kaminah dan Kusdalini berjalan alami.
“Ada bagian ketika mereka bercerita mengingat masa lalu, tertawa dan menangis bersama. Saling memberi obat, masak dan berdoa. Hingga saling menguatkan ketika Kusdalini terbaring di rumah sakit,” tambahnya.
Sejarah, Stigmatisasi dan Sisi Kemanusiaan
“You and I” tidak menampilkan latar belakang yang membuat kedua tokoh ini dipenjara, tetapi memaparkan bagaimana keduanya bertahan hidup selepas menjalani hukuman penjara, di tengah kuatnya stigma sebagai tahanan politik pembantaian G30S/PKI.
“Selain menunjukkan langsung kehidupan mereka, saya ingin mengirim pesan kepada penonton tentang dampak stigmatisasi, dari hal sederhana seperti anggapan tentang 'perempuan tidak baik' hingga soal dampak pilihan politik seperti yang dialami Kaminah dan Kusdalini sebagai 'pilihan politik yang jahat.' ," papar Fanny.
Fanny menegaskan keinginannya untuk menunjukkan bahwa lepas dari stigmatisasi ini, ada sisi kemanusiaan yang luar biasa, yang menjadi inti film ini.
"Bukan soal latar belakang politik atau pilihan yang diambil seseorang. Dan hal ini masih terjadi sampai sekarang ketika ada orang atau kelompok yang distigmatisasi karena memiliki orientasi seksual atau kepercayaan berbeda,” jelasnya.
Diwawancarai secara terpisah, budayawan Tommy F. Awuy mengatakan “takjub dengan adanya generasi milenial yang peduli sejarah dan kemanusiaan.”
Sementara panitia Asian Competition of the 12th DMZ International Documentary Film Festival, Kim Young Woo, menyebut “You and I” sebagai “film dokumenter terbaik di Asia tahun ini! Film yang memilukan dan secara hati-hati menampilkan saat-saat terakhir kehidupan dua perempuan yang hidupnya dipelintir oleh sejarah.”
KawanKawan Media, yang memproduksi film ini, juga sedang menyelesaikan tiga film dokumenter lain, yaitu “Voice of Baceprot” karya Yosep Anggie Noen, “Ballad of Clove Village” karya DS Nugraheni dan “Treasure of Sumatra” karya Dennis Angga. Ada pula beberapa film feature lain, yang memotret fenomena di Indonesia dan Asia Tenggara. [em/es]