Memulihkan kondisi di Amerika pasca pemilihan presiden menjadi salah satu target utama presiden yang diproyeksikan menang, Joe Biden, seperti disampaikannya secara terbuka dalam pidato kemenangannya di Wilmington, Delaware, Sabtu (8/11) malam setelah meraih 279 kursi elektoral beberapa jam sebelumnya.
Dr. Juhaeri Mukhtar PhD, pakar di Universitas Princeton, New Jersey, mengatakan warga Amerika memang lebih berharap agar masalah-masalah di dalam negeri seperti perekonomian, penanganan pandemi virus corona, jaminan layanan kesehatan dan rasisme pandemik dapat segera menemukan solusi, dibanding isu-isu internasional.
“Pandemi ini salah satu yang sangat menjatuhkan Trump karena sebelum pandemi ini sebenarnya keadaan perekonomian sudah enak-enak saja bagi orang Amerika, tapi pandemi masuk, ekonomi ambruk," katanya.
"Warga berharap sekali masalah ini segera selesai. Ekonomi segera baik lagi. Ini jauh lebih penting bagi warga Amerika dibanding isu-isu luar negeri, seperti Iran, Laut China Selatan atau Korea Utara," kata Juhaeri.
Hal senada disampaikan Dr. Ratri Istania, pakar politik di Universitas Loyola, Chicago.
“Berdasarkan riset Pew diketahui bahwa publik Amerika tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi di luar negeri. Mau Trump atau Biden, mereka tidak terlalu antusias. Namun, warga yang ada di kubu Republikan lebih peduli pada soal ekonomi, sementara di kubu Demokrat pada soal layanan kesehatan dan Covid-19," paparnya.
BACA JUGA: Joe Biden Jadi Presiden Terpilih AS ke-46Biden Berpengalaman Tangani Isu Hubungan Internasional
Namun, menurut pakar hubungan internasional Dr. Anwar Makarim yang juga seorang diplomat senior, Joe Biden adalah sosok yang paling tepat untuk menata ulang posisi Amerika di luar negeri pasca Trump. Biden, katanya, memiliki pengalamannya yang banyak karena sudah tiga kali menjadi ketua Komisi Hubungan Luar Negeri Senat.
“Sebelum ia menjadi wakil presiden, ia memiliki latar belakang dan pengalaman politik luar negeri yang sangat kuat sekali. Jadi Joe Biden memiliki ketajaman dalam masalah luar negeri dengan memberikan jalan keluar di mana semua negara bisa merasakan manfaatnya," paparnya.
Joe Biden memang telah berjanji akan memulihkan hubungan Amerika di dunia, termasuk mengikuti atau memulai kembali perjanjian-perjanjian strategis yang ditinggalkan Amerika. Perjanjian tersebut antara lain Perjanjian Iklim Paris tahun 2015 yang secara resmi ditinggalkan Amerika pada 4 November lalu, atau satu hari setelah pemilihan presiden. Juga perjanjian nuklir dengan Iran yang juga melibatkan lima negara adidaya lain, yang ditinggalkan Amerika pada tahun 2018, tiga tahun setelah dicapai oleh pemerintahan Obama. Juga beberapa perjanjian perdagangan strategis dengan Organisasi Perdagangan Dunia atau Kemitraan Trans Pasifik TPP.
Dr. Teuku Rezasyah, pakar hubungan internasional di Universitas Padjajaran memaparkan hal ini.
“Tantangan besar Biden adalah 'clearing the deck.' Warisan-warisan penting Obama yang ditinggalkan Trump. JCPOA (Joint Comprehensive Plant of Action atau perjanjian nuklir dengan Iran.red) secara khusus memonitor perkembangan Iran, tapi Amerika melihat Iran sangat konfrontatif dan ini tidak baik bagi kekuatan-kekuatan nuklir yang lain," katanya.
Selain itu, Kemitraan Trans-Pasifik (Trans Pasific Partnership/TPP) juga sangat mengecewakan, terutama bagi Vietnam, Thailand, Malaysia dan Brunei yang sudah terlanjur mendesain aturan dalam negeri agar sesuai dengan TPP.
"Ini khan mengingkari niat baik dari lebih separuh dunia," tukasnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Siapa Pembantu yang akan Dipilihnya?
Diwawancarai secara terpisah Dr. Suzie Sudarman, pakar Amerika di Universitas Indonesia, mengatakan selain pengalaman dan kepiawaian Joe Biden dalam hubungan internasional, ia membutuhkan pembantu-pembantu yang memiliki jaringan luas dan integritas tinggi pula. Itulah sebabnya dunia perlu mencermati siapa pembantu-pembantu yang diangkat Biden untuk membantunya.
“Ada beberapa posisi yang perlu kita amati. Misalnya siapa yang akan diangkatnya sebagai kepada Dewan Keamanan Nasional. Apakah ia memiliki perspektif luas, termasuk dalam soal Indonesia misalnya, atau tidak. Jangan sampai yang dipilih adalah sosok akademisi yang ugal-ugalan lagi, yang tidak santun maka bisa menjadi sumber marabahaya," katanya.
"Kemlu harus memperhatikan ini, siapa penasehat yang memberikan briefing pada presiden. Jika presidennya kuat dan memiliki perspektif baik akan satu isu atau satu negara, ia bisa memveto pandangan para pembantunya. Tetapi jika presidennya tidak kuat maka ia dapat dimasuki pengaruh para pembantunya itu," lanjut Suzie.
Dalam pidato pertamanya setelah memenangkan pemilihan presiden, Joe Biden belum merinci langkah yang akan diambilnya pada hari-hari pertama menjabat. Pidatonya masih bersifat upaya menyatukan warga Amerika yang terpecah selama pemilihan presiden.
Baru pada isu pandemi virus corona, Biden dengan tegas mengatakan akan mengumumkan satu-satu tugas baru pada hari Senin (9/11) yang beranggotakan sejumlah ilmuwan dan pakar terkemuka yang akan mengadopsi rencana dan mewujudkannya menjadi tindakan segera setelah ia dilantik 20 Januari mendatang.
“Saya tidak akan menyisihkan upaya atau komitmen apapun untuk menyudahi pandemi ini,” tegas Biden. [em/lt]