Pemerintah didesak memberikan pengakuan dan posisi yang setara bagi seluruh agama dan kepercayaan di Tanah Air, baik yang asli Nusantara maupun dari luar, yang hidup dan memiliki umat. Desakan itu mengemuka karena pemerintah hanya mengakui secara resmi enam agama.
Agama Djawa Sunda (ADS) atau yang lebih dikenal sebagai Sunda Wiwitan, adalah salah satu agama lokal Nusantara. Agama ini diajarkan oleh Pangeran Sadewa Madrais Alibasa Kusumawijayaningrat yang lahir pada 1832. Mulai 1885, di tengah penjajahan Belanda Pangeran Madrais mulai mengajarkan nilai-nilai agama, di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Lokasi ini sampai sekarang juga menjadi pusat kajian ADS.
Kesalahpahaman mengenai ADS di tengah masyarakat yang masih ada sampai sekarang, adalah warisan politik pecah belah Belanda. Ira Indrawardana, pengajar di Universitas Padjadjaran menyebut, peran Madrais dalam perlawanan melawan penjajah, mendasari kampanye buruk Belanda terhadap mereka.
“Bisa jadi, warisan kolonialisme itu sampai sekarang masih ada. Karena pada masa kolonial penjajah Belanda, warisan mereka ketika meninggalkan Indonesia adalah orang-orang yang punya perspektif senang untuk melakukan adu domba,” kata Indra yang juga melakukan kajian terkait ADS.
Di Luar Kementerian Agama
Bukan hanya sebagian masyarakat Indonesia yang memiliki perspektif negatif terhadap ADS, bahkan pemerintah pun belum sepenuhnya lurus bersikap. Dalam diskusi Mengenal Agama Djawa Sunda yang diselenggarakan Nusantara Institute pada Sabtu (25/9), persoalan ini turut disinggung.
Meski Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa posisi agama dan kepercayaan adalah setara di Indonesia, namun perlakuan yang diterima keduanya berbeda. Kondisi itu antara lain diceritakan oleh Dewi Kanti, cicit Pangeran Madrais yang juga berbicara dalam diskusi ini.
“Ketika agama dan kepercayaan setara, maka pelayanan itu di kementerian yang sama. Bukan di kementerian berbeda, dengan levelnya juga tidak setara. Kalau di Kementerian Agama, diurus oleh sebuah ke-dirjenan. Kalau teman-teman kepercayaan, dianggapnya hanya cukup diurus oleh satu level di bawah ke-dirjenan,” kata Dewi yang juga anggota Komnas Perempuan 2020-2024.
Di Indonesia, enam agama yang diakui secara resmi dibina oleh Kementerian Agama. Sementara aliran kepercayaan di luar enam agama itu, diposisikan di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
“Bagaimana kita mau mengusung asas keadilan dan kesetaraan bila itu tidak diimplementasikan dalam sebuah kebijakan yang setara,” tambah Dewi.
Aspirasi ini menurut Dewi berada dalam rel konstitusi sesuai amanat Mahkamah Konstitusi. Pada 2017, MK memang menyatakan pengakuan terhadap kesetaraan bagi umat agama dan penganut kepercayaan, dalam layanan birokrasi. Kesetaraan, lanjut Dewi, memposisikan negara terkait proses administrasi, dan tidak boleh ada penolakan. Layanan harus diberikan sesuai dengan agama ataupun kepercayaan yang diakui oleh masing-masing warga negara, ketika mengakses layanan birokasi.
“Negara sekedar mengayomi, mencatat segala peristiwa yang berakibat hukum. Karena meskipun melalui pintu masuk pengadministrasian di KTP, tetapi itu berdampak panjang itu. Misalnya terhadap pencatatan perkawinan atau pembuatan akta kelahiran,” tambahnya.
Indonesia, kata Dewi harus lebih terbuka mengakui keberadaan agama-agama di luar agama abrahamik. Agama yang lahir di Nusantara juga bukan merupakan ancaman agama-agama resmi yang diakui pemerintah. Bahkan, menurut Dewi, agama Abrahamik berkembang di Indonesia karena penganut agama lokal memberikan toleransi ketika mereka datang dan disebarkan.
Agama Wilayah Batin
Agama Bahai yang datang dari Timur Tengah, juga tidak memiliki posisi yang setara di Indonesia. Bahkan ucapan selamat hari raya Naw Ruz yang disampaikan Menteri Agama Juli 2021 lalu juga menjadi polemik.
Peneliti agama Bahai dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus, Dr Moh Rosyid, menyebut negara seharusnya tidak dapat menolak umat beragama menerima haknya.
“Karena beragama adalah wilayah batin, sehingga negara tidak berhak melakukan campur tangan dalam bentuk penolakan atas haknya,” kata Rosyid ketika dihubungi VOA.
Tahun lalu, hasil penelitian panjang Moh Rosyid mengenai agama Bahai, khususnya di Jawa Tengah, diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Mendialogkan Agama Bahai.
Sepanjang penelitiannya, Rosyid menemukan banyak peristiwa di mana umat Bahai didiskriminasi negara. Dia memberi contoh, umat Bahai di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, ketika sudah nikah secara agamanya, berkas pernikahan yang diajukan ke kantor Kependudukan dan Caatan Sipil setempat ditolak.
“Dalihnya, tidak ada petunjuk pelaksanaan pelayanan. Padahal Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin pada Juli tahun 2014, sudah berkirim surat ke Menteri Dalam Negeri, agar umat Bahai dilayani hak administrasi kependudukannya, sebagaimana amanat pasal 28-29 UUD 45,” kata Rosyid.
Di era Orde Baru, seorang kepala sekolah di Pati juga tidak jadi dilantik, bahkan Surat Keputusan (SK) pengangkatannya dibatalkan, karena diketahui menjadi umat Bahai. Di awal era reformasi, seorang umat Bahai yang meninggal juga sempat ditolak untuk dimakamkan di pemakaman desa. Penolakan ini mendorong desa menyediakan pemakaman khusus umat Bahai.
Agama Bahai memang sangat minoritas di Jawa Tengah. Di daerah Pantai Utara sisi timur yang diteliti Rosyid, hanya ada sekitar 27 orang penganutnya, dalam sembilan kepala keluarga. Mereka menjadi penganut Bahai, setelah salah satu anggota keluarga itu pada tahun 70-an sempat ditugaskan sebagai guru di Kabupaten Rembang.
Suatu saat, dokter-dokter Bahai melakukan kegiatan sosial pengobatan malaria. Dari pertemuan intensif itulah, guru tersebut kemudian ikut menganut Bahai, dan menjadi yang pertama di kawasan itu. Hingga saat ini, penganut Bahai di kawasan ini, hanya berasal dari satu keluarga besar guru itu.
“Mereka tidak memiliki tempat ibadah, karena harus mematuhi SKB 3 Menteri, sehingga kalau beribadah dan berdoa di rumah masing-masing. Setiap 40 hari sekali, mereka melakukan doa kolektif dalam acara pertemuan rutin,” kata Rosyid.
Meski dalam layanan administratif diperlakukan berbeda, Rosyid menilai kerukunan umat Bahai dengan umat agama lain di kawasan itu sangat baik. Mereka melakukan akulturasi, sehingga tradisi Jawa masuk dalam sejumlah kegiatan. Begitupun mereka juga terlibat dalam tradisi warga sekitar, yang mayoritas penganut Islam beraliran tradisional.
“Ketika tetangganya yang muslim meninggal dunia dan mempunyai tradisi membaca doa kematian atau tahlil, umat Bahai datang untuk menghadiri acara doa. Hanya saja doanya secara Bahai,” kata Rosyid memberi contoh.
Your browser doesn’t support HTML5
Rosyid mengingatkan, pada 2018, Kementerian Agama telah menyatakan akan mendata agama selain enam yang diakui pemerintah. Selanjutnya, akan dibentuk sebuah Direktorat Jenderal tersendiri. Namun hingga saat ini rencana itu belum terwujud.
“Sebaiknya, negara mengayomi semua agama. Ajaran agama apapun itu, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang,” pungkas Rosyid. [ns/ah]