Munculnya gesekan di tengah masyarakat, di media sosial, serta kehidupan nyata akibat pilihan politik yang berbeda, menjadi keprihatinan sejumlah tokoh sehingga mereka berupaya untuk membangun kembali kesadaran pentingnya berbangsa dan bernegara secara rukun dan damai. Pemilihan presiden 2019 pada 17 April nanti, menjadi salah satu pemicu munculnya perpecahan di tengah masyarakat yang dipengaruhi politik indentitas.
Munculnya indikasi perpecahan di tengah masyarakat akibat pilihan politik, menjadi keprihatinan sejumlah tokoh yang bersepakat membentuk Gerakan Suluh Kebangsaan. Gerakan ini bertujuan mengembalikan nilai-nilai kebangsaan yang selama ini dimiliki rakyat Indonesia.
Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan, Mahfud MD mengatakan, melalui gerakan ini masyarakat diajak untuk mengedepankan dialog, menjunjung tinggi kebersamaan, serta menghargai kebhinnekaan dalam bingkai NKRI. Politik identitas, kata Mahdfud MD, telah menjadi sarana memecah belah masyarakat untuk kepentingan politik sesaat.
Your browser doesn’t support HTML5
“Kenapa gerakan ini lahir, ada gejala munculnya politik identitas, di mana gerakan politik itu sudah didasarkan pada identitas-identitas primordial yang dulu kita sudah lebur bersama, misalnya di dalam pemilihan presiden itu terjadi pengelompokan ini Islam, non-Islam, Cina bukan Cina. Islam sendiri ada Islam garis keras, Islam khilafah, ada Islam kebangsaan, macam-macam. Itu memprihatinkan kita karena itu bukan hanya ada di pikiran, bukan hanya ada di ide mereka, ini sudah muncul di pertempuran di lapangan,” jelasnya.
Rohaniwan Katolik, Romo Beny Susetyo menyebut munculnya gesekan di tengah masyarakat akibat politik identitas, dipengaruhi faktor miskinnya gagasan yang memunculkan propaganda untuk saling menjatuhkan. Agama, kata Romo Beny, merupakan kekuatan terbesar di Indonesia yang dapat dimainkan untuk mempengaruhi masyarakat, didukung adanya media sosial dan tokoh agama yang tidak memberikan contoh yang baik kepada masyarakat.
“Itu muncul karena fenomena miskinnya gagasan, ketika incumbentmemiliki kemampuan yang lebih, incumbentitu sulit dikalahkan. Yang paling gampang apa, propaganda, merusak karakternya. Nah, di Indonesia yang punya kekuatan besar itu agama, ya itu yang dimainkan. Itu yang menjadi salah satu komodifikasi. Nah, ketika sentimen agama dikomodifikasi untuk kepentingan sesaat, maka yang terjadi seperti sekarang ini. Nah, mengapa terjadi, ya karena pengguna media sosial kita itu tidak memiliki budaya kritis, budaya kita afirmasi peng-iya-an, apalagi kalau isu-isu itu dilontarkan oleh tokoh, baik tokoh politik, tokoh agama. Karena kita budaya panutan, maka itu menjadi panutan mereka,” kata Romo Beny Susetyo.
Pakar politik Prof. Katjung Maridjan mengatakan, kondisi yang terjadi di Indonesia saat ini merupakan ancaman bagi bangsa dan negara, karena ada upaya untuk mengganti entitas publik yang melahirkan Indonesia menjadi entitas pribadi atau kelompok.
“Kelompok etnis, agama dan lainnya adalah entitas individu dan entitias kelompok yang tunduk kepada entitas publik itu. Para pendiri bangsa menyadari betul bahwa entitas publik itu tidak akan terwujud, terbangun, kalau tidak ada ketertundukan dari entitas privat dan entitas kelompok itu, maka lahirlah Indonesia. Nah, kalau sekarang muncul upaya untuk menggantikan entitas publik itu dengan entitas pribadi, privat, atau kelompok tertentu, maka itu sebetulnya merupakan ancaman bagi bangsa dan negara Indonesia,” jelas Katjung Maridjan.
Pakar politik dan hubungan internasional, Prof. Basis Susilo mengingatkan kembali proses terbentuknya bangsa Indonesia yang lahir dari komitmen bersama oleh berbagai kelompok dan suku bangsa melalui Sumpah Pemuda, dengan meleburkan perbedaan yang ada demi Indonesia merdeka. Basis Susilo yakin, upaya memecah belah masih kalah kuat dibandingkan dengan upaya persatuan yang digalang oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
“Sejak tahun 1928 sampai sekarang, proses inkorporasi jauh lebih kuat daripada proses penceraian, walaupun ada unsur medsos dan sebagainya. Cuma karena yang penceraian ini sedikit, tetapi yang mempunyai medium media sosial, ya kelihatannya besar sekali. Oleh karena itu, ada baiknya kita untuk menyikapi gerakan-gerakan yang menceraikan diri dari Indonesia itu, itu bukan sebagai lawan, tetapi sebagai mereka yang belum meng-Indonesia,” jelas Basis Susilo.
Sementara itu, mantan Ibu Negara Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid mengingatkan tentang Sumpah Pemuda sebagai dasar persatuan bangsa Indonesia, yang tidak memandang perbedaan sebagai suatu hambatan untuk menjadi satu bangsa yang merdeka.
“Kelahiran Sumpah Pemuda itulah yang melebur sekat-sekat etnis, ideologis atau keagamaan, dan klaim mayoritas-minoritas menjadi satu bangsa Indonesia,” kata Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. [pr/uh]