Berawal dari kegiatan yang diselenggarakan oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Sulistyorini mengenal BISMA, atau Bekraf Information System Mobile Application.
Tanpa menunggu lama, pemilik usaha Pabriek Kopi Nata yang memproduksi kopi rendah kafein dari Yogya inipun memutuskan bergabung. Perempuan yang akrab disapa Orin ini yakin, platform keluaran pemerintah tersebut memberi kesempatan usahanya lebih berkembang.
“Kalau saya lebih berharap ke networking sebenarnya ketika bergabung ke BISMA. Networking untuk buyer. Karena produk saya kopi rendah kafein, di mana di Indonesia masih langka. Saya berharap BISMA untuk mengakses buyer, orientasinya ke ekspor. Karena untuk kualitas produk, kita sudah siap untuk itu,” Kata Sulistyorini.
Kopi rendah kafein atau decaffeinated relatif jarang di pasaran. Prosesnya yang tidak mudah, menjadikan harga kopi jenis ini relatif tinggi. Produk Orin bahkan lebih dari itu, menjanjikan proses produksi yang lebih sehat tanpa bahan kimia buatan di dalamnya. Sebagai produk, kopi ini masuk dalam industri kreatif dengan pasar yang terbuka.
Persoalannya pada penjualan. Meski produknya bagus, Orin tidak memiliki cukup modal untuk mengikuti pameran, terutama di luar negeri. Dari sisi inilah, dia berharap Bekraf berperan lebih.
Sebagai pengusaha kecil, Orin berharap Bekraf membuat klasifikasi dalam upaya pendampingan. Produk-produk yang secara kualitas dan kemasan sudah siap ekspor, sebaiknya dipisahkan dengan produk lain dengan sasaran pasar sangat lokal.
“Dalam bimbingan yang diselenggarakan Bekraf, kita dijadikan satu dengan produk makanan ringan tradisional yang hanya produksi ketika ada pesanan. Menurut saya ini yang membuat BISMA kurang maksimal. Seharusnya ada klaster-klaster di dalamnya,” kata Orin.
Direktur Riset dan Pengembang Bekraf dari Badan Ekonomi Kreatif, Wawan Rusiawan, menyebut BISMA sebagai salah satu dukungan lembaga itu bagi pelaku kreatif untuk mendapat akses pasar. BISMA tersedia sebagai situs online dan aplikasi yang dapat diunduh secara gratis di internet. Platform ini memuat informasi pelaku bisnis kreatif, termasuk lokasi, jenis usaha dan produk yang dihasilkan. Dengan data yang ada di dalamnya, pemerintah lebih mudah terhubung dengan pelaku usaha kreatif, demikian juga sebaliknya.
Meski sudah ada sejak Februari 2016, dari 8,2 juta usaha kreatif yang terdata, baru sekitar 16 ribu yang tergabung dalam BISMA. Kendalanya, kata Wawan, adalah persoalan penguasaan teknologi.
“Contohnya, ketika kita bicara di DI Yogyakarta, ada 172 ribu pelaku ekonomi kreatif, hanya 590 yang ada di Bisma. Hampir di semua kota ada tiga subsektor dominan, yaitu kuliner, fesyen dan kriya. Sementara, di 3 sub-sektor ini, literasi digitalnya agak rendah. Penetrasi internet yang dimanfaatkan oleh ekonomi kreatif masih sangat rendah. Beda dengan sektor animasi dan game, itu mudah,” kata Wawan Rusiawan.
Dalam sosialiasi mengenai BISMA di Yogyakarta pada Selasa (10/7), Wawan mengatakan sejauh ini, aplikasi ini dipakai untuk seleksi awal dalam program-program mereka. Misalnya, untuk mencari peserta pameran ke luar negeri dengan dukungan Bekraf, maka data di BISMA yang menjadi acuan. Inilah salah satu faktor penting, mengapa usaha kreatif seharusnya menjadi bagian dari aplikasi tersebut.
Pemerintah, kata Wawan, juga berharap masukan dari kalangan usaha kreatif melalui aplikasi BISMA.
Direktur Harmonisasi dan Standarisasi Bekraf, Sabartua Tampubolon secara khusus menyoroti kurangnya kesadaran pelaku industri kreatif Indonesia dalam pengurusan Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Sabartua menyatakan, berdasar data 2016, hanya 11 persen dari seluruh produk kreatif yang dilindungi HKI-nya. Angka itu merupakan tantangan bagi Bekraf, karena badan ini meyakini bahwa HKI merupakan jantung dari ekonomi kreatif.
“Kami sekarang sedang menyusun RUU Ekonomi Kreatif. Sehingga teman-teman pelaku ekonomi kreatif dapat semakin kreatif dan dilindungi kreativitasnya, terutama Hak Kekayaan Intelektualnya. RUU ini sedang dibahas dengan DPR. Regulasi ini diharapkan menjadi dasar bagi pelaku ekonomi kreatif untuk meningkatkan kreativitasnya.”
Your browser doesn’t support HTML5
Bekraf terus mendorong pelaku usaha kreatif untuk memperoleh HKI bagi produk-produk yang mereka hasilkan. Badan ini telah meluncurkan aplikasi khusus seputar HKI, dan membantu pembiayaan pengurusan HKI dengan skema tertentu.
Bekraf kini juga terus mendorong sertifikasi pelaku usaha kreatif agar mampu bersaing secara global. Sabartua mencontohkan, Indonesia memiliki banyak barista dengan kualitas bagus. Namun, karena belum mengikuti sertifikasi, kemampuannya tidak dapat dibawa ke dunia internasional.
BISMA didesain agar mampu mendorong ekspor ekonomi kreatif, yang telah mencapai $20 miliar per tahun pada 2016 dan mampu mempekerjakan 16,91 juta orang.