Menentang Diskriminasi, Pesantren Transgender Indonesia Buka Kembali

Ibu Shinta (tengah) dikelilingi para siswanya di satu-satunya pesantren di Indonesia untuk siswa transgender. Ia membuka pesantren ini di rumahnya di Yogyakarta. (K. Varagur/VOA)

Satu-satunya pesantren di Indonesia yang menerima siswa dari kaum transgender ditutup paksa pada Februari 2016, setelah dihujat habis-habisan oleh kelompok Muslim garis keras setempat. Penutupan sekolah ini menjadi salah satu masa tergelap dalam histeria massa menentang LGBT yang lebih besar dan menyita perhatian sepanjang tahun 2016. Dampaknya masih bergema hingga sekarang.

Bila anda bertanya ke orang-orang di sekitar lingkungan Kotagede yang rimbun di kota pendidikan Yogyakarta, mengenai Pesantren al-Fatah, anda mungkin akan menerima tatapan kosong. Tapi bila anda bertanya di mana "rumah Ibu Sinta," anda akan segera diantarkan ke sana. Namun untuk Ibu Shinta, tahun 2016 hanyalah seperti cegukan dalam sejarah Pesantren al-Fatah yang akan menginjak usia 9 tahun pada Kamis minggu lalu.

Ibu Shinta, bernama lengkap Shinta Ratri, adalah aktivis transgender berumur 55 tahun yang memindahkan sekolah ini ke rumahnya yang bergaya Jawa pada tahun 2014 ketika pendiri awal sekolah tersebut meninggal. Setelah ditutup selama empat bulan, Ibu Shinta diam-diam membuka pintu Al-Fatah pada bulan Juni 2016 saat bulan Ramadan, yang ia gambarkan sebagai "waktu yang baik untuk beribadah."

Selain menyediakan tempat untuk kajian agama mingguan, pembukaan kembali sekolah ini memberikan layanan-layanan penyambung hidup dan menjadi tempat kehidupan sosial bagi komunitas transgender setempat.

Layanan Sosial untuk Waria

Ibu Shinta dan siswa-siswanya dikenal juga dengan sebutan kaum waria. Banyak dari kaum waria bekerja sebagai pekerja seks atau bekerja di salon-salon kecantikan.

Pesantren al-Fatah telah menjadi pusat program pemberdayaan setempat "Transgender Care", sebuah inisiatif Persatuan Keluarga Berencana Indonesia yang memberikan pelatihan keterampilan, kartu tanda penduduk dan layanan sosial lainnya untuk kaum waria di seluruh Indonesia.

"Ada juga layanan-layanan yang berhubungan dengan pendidikan seperti memulai "sekolah trans" untuk waria yang mulai beranjak dewasa dan program-program untuk waria manula seperti klinik berjalan dan bantuan makanan," Ibu Shinta mengatakan kepada VOA. "Lengkap kan? Kami berdoa semoga berjalan lancar."

Pada acara ulang tahun terakhir, pesantren tersebut menggelar klinik kesehatan gratis yang dihadiri oleh 76 peserta.

Program "Transgender Care" saat ini beroperasi di delapan provinsi dan Ibu Shinta mengatakan upaya untuk memetakan seluruh peserta dan layanan di seluruh Indonesia adalah tujuan utamanya.

Ibu Shinta (mukena hijau) dan waria lainnya melaksanakan shalat maghrib di Pesantren al-Fatah di Yogyakarta. (K. Varagur/VOA)

Kelompok Belajar

Aktivitas pendidikan utama di Al Fatah adalah kelompok kajian mingguan yang diadakan setiap Minggu malam. Dalam kegiatan ini, kaum waria bisa shalat bersama, berdiskusi mengenai teologi Islam dan belajar membaca Alquran.

Dalam satu kesempatan kajian Minggu, ada enam waria yang hadir termasuk Ibu Shinta. Menurut Ibu Shinta, total ada 42 anggota, namun setiap minggu jumlah kehadiran berkisar antara tujuh hingga 25 orang. Seorang mahasiswa universitas setempat membantu Yuni Shara al-Buchory membaca ayat-ayat Alquran. Ketika azan shalat maghrib bergema, mereka mulai memasuki ruang tengan untuk shalat. Ibu Shinta dan Yuni memakai mukena satin, semetara yang lainnya memakai sesuai cara mereka masing-masing.

"Saya bingung ketika pesantren ditutup selama empat bulan karena tidak ada tempat untuk belajar agama," kata Yuni Shara. "Saya biasanya keluyuran di kota, bekerja, beli camilan, dan akhirnya saya jadi berpikir: ada sesuatu yang hilang, tapi apa?." Di masa-masa itu, kata Yuni, ia merasa hidupnya tidak lengkap.

Namun rasanya salah apabila menggambarkan al-Fatah hanya sebagai tempat tenang untuk belajar, apalagi siswa-siswanya bukan lah remaja seperti di pesantren biasa, melainkan orang-orang dewasa yang sudah bekerja. Sisa enam hari dalam seminggu dan bahkan Minggu malam, pesantren ini adalah tempat berkumpul komunitas waria Yogyakarta. Mereka menonton film bersama, memasak dan makan, serta tak lupa saling bertukar gosip tentang pelanggan-pelanggan mereka.

Tempat ini seperti mengembalikan kenormalan untuk kelompok warga yang hidup di tengah semakin tidak menentunya ruang bermasyarakat.

Optimis

Hari ini, Ibu Shinta "sama sekali tidak khawatir" dengan kaum Islamis setempat. Ia hanya fokus membangun jaringan sosial untuk waria dan sekolahnya.

Niat baik dari komunitas setempat mulai meningkat. Ibu Shinta mencontohkan bahwa tahun lalu ia menerima satu kambing sebagai sumbangan Idul Adha dan tahun ini, mereka menerima dua kambing.

"Waria dan kontruksi trans perempuan atau fenomena lainnya telah ada sejak lama," kata Dede Oetomo, aktivis hak-hak LGBT yang bermukim di Jawa Timur. "Sebagian besar orang Indonesia mengetahui keberadaan mereka dan setidaknya bisa mentolerir mereka jika tidak bisa menerima mereka secara penuh, terutama bila mereka bukan anggota keluarganya."

"Kami adalah penyintas," kata Ibu Shinta. "Bila ada serangan dan diskriminasi atas kami, ini membuat kami semakin ingin untuk berjuang." [fw/as]