Alexander Aan, 30 tahun, warga Muaro Sijunjung, Sumatera Barat, yang memuji kebaikan atheisme dan memasang kartun kontroversial Nabi Muhammad secara online, telah dihukum dua setengah tahun penjara.
Menurut para aktivis hak asasi manusia penghukuman ini merupakan langkah mundur bagi negara yang mayoritas penduduknya Muslim yang dikenal karena toleransi terhadap agama.
Pemasangan kata-kata "Tuhan tidak ada" di halaman Facebook-nya merupakan sebab pertama Alexander Aan, yang berusia 30 tahun, mendapat masalah. Pegawai Negeri dari Sumatera itu dipukuli oleh massa yang marah dan kemudian ditangkap, tapi tidak hanya karena pengakuannya terhadap atheisme.
Aan juga menaruh secara online beberapa kartun yang dianggap menghina Nabi Muhammad.
Dihadapkan pada tuduhan menghina, penghasut kebencian dan mendorong atheisme, pengadilan Sumatera hari Kamis menjatuhkan hukuman dua setengah tahun penjara dan denda sebesar Rp. 100 juta padanya. Pengacaranya Deddi Alparesi mengatakan keputusan itu tidak adil.
Alparesi mengatakan hakim tidak mempertimbangkan fakta-fakta, seperti Aan tidak pernah bermaksud untuk menyebarkan kebencian agama. Dia menambahkan bahwa seorang profesor Islam bahkan maju untuk memverifikasi bahwa Aan sesungguhnya ingin sekali mengetahui agama hanya tidak seorangpun yang bisa diajaknya untuk membahas pemikirannya tentang atheisme.
Sementara tuduhan menghina dan mendorong atheisme dibatalkan, Aan dinyatakan bersalah menyebarkan kebencian bernuansa agama berdasarkan undang-undang transaksi elektronik tahun 2008 yang kontroversial.
Tim pembela hukumnya bermaksud untuk mengajukan banding atas putusan itu, tetapi para analis mengatakan itu merupakan kemunduran bagi kebebasan beragama di Indonesia. Seperti kegemparan di banyak negara dengan mayoritas penduduk Muslim setelah publikasi pada tahun 2005 mengenai kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad di koran Denmark, kasus ini telah menimbulkan perdebatan tentang perbedaan antara kebebasan berekspresi dan menghasut kebencian bernuansa agama.
Andreas Harsono dari Human Rights Watch membandingkan hukuman yang dijatuhkan pada Aan dengan hukuman yang hanya beberapa bulan yang dijatuhkan kepada kelompok Muslim garis keras yang memukuli tiga orang hingga tewas tahun lalu di Jakarta. Ia mengatakan keputusan itu merupakan semakin tidak adanya toleransi beragama.
"Ini banyak mengungkapkan tentang kekebalan relatif terhadap orang yang melakukan kekerasan atas nama agama, sementara orang yang melakukannya dengan cara sopan tanpa kekerasan, tidak peduli seberapa kontroversial, sekarang dihukum 30 bulan penjara,” papar Andreas.
Bentuk-bentuk lain dari intoleransi agama di Indonesia minggu ini, adalah sebuah penerbit buku nasional dipaksa untuk membakar ratusan buku yang berjudul Five Cities that Ruled the World yang isinya diduga memfitnah nabi.
Di Aceh, para pemimpin agama konservatif menuntut penutupan 20 gereja di sana – dan minggu lalu ada gerakan untuk melarang penjualan pakaian ketat di provinsi yang menjalankan hukum syariah tersebut.
Dan awal bulan ini bintang pop flamboyan Amerika, Lady Gaga, membatalkan konsernya di Jakarta sebagai bagian dari turnya di Asia setelah kelompok garis keras Islam mengancam akan menggagalkan konser itu.
Kebebasan beragama secara teknis dijamin di negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, tetapi penduduk Indonesia harus memilih salah satu dari enam agama resmi yang diakui sedang atheism tidak bisa dijadikan pilihan.
Pemasangan kata-kata "Tuhan tidak ada" di halaman Facebook-nya merupakan sebab pertama Alexander Aan, yang berusia 30 tahun, mendapat masalah. Pegawai Negeri dari Sumatera itu dipukuli oleh massa yang marah dan kemudian ditangkap, tapi tidak hanya karena pengakuannya terhadap atheisme.
Aan juga menaruh secara online beberapa kartun yang dianggap menghina Nabi Muhammad.
Dihadapkan pada tuduhan menghina, penghasut kebencian dan mendorong atheisme, pengadilan Sumatera hari Kamis menjatuhkan hukuman dua setengah tahun penjara dan denda sebesar Rp. 100 juta padanya. Pengacaranya Deddi Alparesi mengatakan keputusan itu tidak adil.
Alparesi mengatakan hakim tidak mempertimbangkan fakta-fakta, seperti Aan tidak pernah bermaksud untuk menyebarkan kebencian agama. Dia menambahkan bahwa seorang profesor Islam bahkan maju untuk memverifikasi bahwa Aan sesungguhnya ingin sekali mengetahui agama hanya tidak seorangpun yang bisa diajaknya untuk membahas pemikirannya tentang atheisme.
Tim pembela hukumnya bermaksud untuk mengajukan banding atas putusan itu, tetapi para analis mengatakan itu merupakan kemunduran bagi kebebasan beragama di Indonesia. Seperti kegemparan di banyak negara dengan mayoritas penduduk Muslim setelah publikasi pada tahun 2005 mengenai kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad di koran Denmark, kasus ini telah menimbulkan perdebatan tentang perbedaan antara kebebasan berekspresi dan menghasut kebencian bernuansa agama.
Andreas Harsono dari Human Rights Watch membandingkan hukuman yang dijatuhkan pada Aan dengan hukuman yang hanya beberapa bulan yang dijatuhkan kepada kelompok Muslim garis keras yang memukuli tiga orang hingga tewas tahun lalu di Jakarta. Ia mengatakan keputusan itu merupakan semakin tidak adanya toleransi beragama.
"Ini banyak mengungkapkan tentang kekebalan relatif terhadap orang yang melakukan kekerasan atas nama agama, sementara orang yang melakukannya dengan cara sopan tanpa kekerasan, tidak peduli seberapa kontroversial, sekarang dihukum 30 bulan penjara,” papar Andreas.
Bentuk-bentuk lain dari intoleransi agama di Indonesia minggu ini, adalah sebuah penerbit buku nasional dipaksa untuk membakar ratusan buku yang berjudul Five Cities that Ruled the World yang isinya diduga memfitnah nabi.
Di Aceh, para pemimpin agama konservatif menuntut penutupan 20 gereja di sana – dan minggu lalu ada gerakan untuk melarang penjualan pakaian ketat di provinsi yang menjalankan hukum syariah tersebut.
Dan awal bulan ini bintang pop flamboyan Amerika, Lady Gaga, membatalkan konsernya di Jakarta sebagai bagian dari turnya di Asia setelah kelompok garis keras Islam mengancam akan menggagalkan konser itu.
Kebebasan beragama secara teknis dijamin di negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, tetapi penduduk Indonesia harus memilih salah satu dari enam agama resmi yang diakui sedang atheism tidak bisa dijadikan pilihan.