Mengungkap Rahasia Unit 731 Jepang, Harga Mahal yang Harus Dibayar Penyintas

FILE - Pengunjung melihat-lihat museum Unit 731 di Harbin, provinsi Heilongjiang di timur laut China, tempat 'penelitian ilmiah' yang menggunakan manusia sebagai bahan uji coba, 17 Januari 2015 ini. (FRED DUFOUR/AFP)

Unit 731 adalah bagian kecil dari pendudukan Jepang di China pada tahun 1931-45, meski mungkin dianggap yang paling kejam. Di markas besarnya di Harbin, para ilmuwan melakukan eksperimen terhadap warga sipil China dan tawanan perang lainnya saat mereka mengejar kemajuan perang biologi dan kimia.

Pada bulan Agustus 1945, ketika pasukan Soviet mendekati posisi Jepang di wilayah pendudukan China, Hideo Shimizu yang berusia 14 tahun diberi tugas berat: mengumpulkan dan membuang tulang belulang para tahanan yang telah dibunuh.

Belakangan dia baru menyadari bahwa dia telah membantu menghancurkan bukti salah satu kejahatan perang paling mengerikan di abad ke-20, yaitu tindakan Unit 731. Unit ini merupakan sebuah cabang rahasia militer Jepang yang menyiksa dan membunuh para tahanan dengan mengatasnamakan penelitian ilmiah.

Selama puluhan tahun Shimizu menyembunyikan masa lalunya, bahkan tidak memberi tahu istrinya atau kedua anak perempuan yang mereka besarkan bersama di sebuah sudut yang sunyi di Pegunungan Alpen Jepang. Namun kini, di usianya yang ke-94, dia tidak bisa lagi tinggal diam.

Meski tidak terlibat langsung dalam kekejaman tersebut, Shimizu berbicara tentang pengalamannya dengan Unit 731, dan baru-baru ini dia kembali ke China untuk meminta maaf secara langsung.

Hideo Shimizu. ( Ken Watanabe, Bill Gallo/VOA)

Namun membuka kembali babak kelam masa lalu Jepang harus dibayar mahal. Shimizu telah mengalami serangan online dari kaum nasionalis yang marah, juga dikucilkan dari komunitas dan sejumlah anggota keluarganya.

Duduk bersila di lantai rumahnya yang kecil, yang kini perlahan mulai tertutupi tumbuhan di Prefektur Nagano, Shimizu berbicara dengan pelan tetapi penuh keyakinan ketika ia membahas dampak pribadi dari keputusannya.

“Saya siap menghadapinya,” katanya kepada VOA, dalam wawancara pertamanya dengan wartawan Amerika. “Saya hanya mengatakan yang sebenarnya.”

Penelitian yang Tidak Manusiawi

Unit 731 adalah bagian kecil dari pendudukan Jepang di China pada tahun 1931-45, meski mungkin yang paling kejam. Di markas besarnya di Harbin, para ilmuwan melakukan eksperimen terhadap warga sipil China dan tawanan perang lainnya saat mereka mengejar kemajuan perang biologi dan kimia.

Rincian yang muncul – dari kesaksian dari anggota yang masih hidup, investigasi pascaperang, dan penelitian oleh para sejarawan – mengungkap berbagai praktik yang sangat brutal.

Reruntuhan bangunan Unit 731 Jepang, di Harbin, China (Video CCTV-1/AP)

Tahanan yang sakit dikurung bersama tahanan yang sehat untuk melihat seberapa cepat wabah mematikan bisa menyebar. Anak-anak dipaksa masuk ke dalam kamar gas agar dokter bisa mengatur waktu kejang-kejang mereka. Yang lainnya menjadi sasaran eksperimen radang dingin; anggota tubuh mereka berulang kali dibekukan dan dicairkan untuk mempelajari efek dari suhu dingin yang ekstrem.

Diperkirakan 3.000 orang terbunuh dalam eksperimen semacam itu, dan lebih banyak lagi yang diyakini meninggal akibat uji coba perang biologis yang secara sengaja menyebarkan penyakit mematikan di sejumlah pedesaan China.

Realitas yang Mengejutkan

Sebagai seorang pekerja magang muda yang bertanggung jawab merawat tikus-tikus laboratorium, Shimizu awalnya tidak memahami sepenuhnya apa yang terjadi di sekelilingnya.

Kecurigaannya bertambah setelah ia dibawa ke ruang spesimen, di mana ia melihat bagian tubuh yang diawetkan mengambang di stoples berisi formalin, dengan kepala dan tangan di dalamnya. Dia sangat terguncang oleh pemandangan seorang perempuan hamil yang bagian tengah tubuhnya telah dibelah untuk memperlihatkan kondisi janin.

“Saya pikir itu adalah sebuah penelitian tentang bagaimana mencegah orang jatuh sakit,” kenang Shimizu. “Saya baru menyadari bahwa kami menginfeksi dan membedah orang untuk melakukan perang dengan menggunakan kuman.”

Reruntuhan bangunan bekas tempat penelitian unit 731 jepang di Harbin, China. (video CCTV-1/AP).

Shimizu menghabiskan lebih dari empat bulan di Unit 731 sebelum melarikan diri bersama pasukan Jepang yang mundur. Ketika kembali ke rumah, dia dilarang untuk berbicara tentang apa yang telah dilihatnya.Selama lebih dari 70 tahun, dia mengikuti perintah itu.

Shimizu fokus membangun kariernya sebagai arsitek, setelah diperingatkan untuk mengejar profesi non-medis.

Selama tahun-tahun awal, Unit 731 jarang terlintas di benaknya, karena ia berusaha mendukung keluarga mudanya di negara yang sedang membangun kembali setelah perang. “Saya tidak terlalu memikirkannya, karena saya pikir saya tidak boleh mengatakan apa-apa,” kenang Shimizu.

Mengunjungi Kembali ke Masa Lalu

Sikap Shimizu berubah pada tahun 2015, ketika ia dan istrinya mengunjungi pameran perdamaian keliling di daerahnya. Di antara benda-benda peninggalan dan foto-foto yang dipamerkan, terdapat gambar-gambar dari Unit 731 – termasuk sebuah bangunan batu bata tua di markas besar Harbin, tempat dia bekerja saat remaja.

Untuk pertama kalinya, Shimizu bercerita kepada istrinya tentang keterlibatannya dengan Unit 731.

Seorang mahasiswa China melihat patung yang menggambarkan tentara Jepang menggendong seorang pria China saat dokter militer melakukan eksperimen biologis di sebuah museum di Harbin, ibu kota provinsi Heilongjiang di timur laut China, 24 April 2005. (Jason Lee CC/KS/REUTERS)

Ketika dia membuka kembali masa lalunya, Shimizu secara bertahap terlibat dalam aktivisme perdamaian. Pada bulan Agustus lalu untuk pertama kalinya dia kembali ke China, dan mengunjungi lokasi markas Unit 731.

Di sana, di depan pagoda batu hitam yang dibangun sebagai monumen anti-perang dan dikelilingi oleh kamera media pemerintah Tiongkok, dia membungkuk dalam-dalam, mengungkapkan “penyesalan dan permintaan maaf yang mendalam” karena telah bergabung dengan Unit 731 dan “menjadi penyerang.”

Sengketa Lokal

Kunjungan Shimizu diterima dengan baik di China, dipandang sebagai pengakuan yang sudah lama tertunda atas kekejaman Jepang. Namun, reaksi di Jepang lebih rumit karena hal-hal buruk masa lalu negara ini masih diperdebatkan – dan banyak orang lebih memilih untuk diam-diam melupakan hal itu.

Ketegangan terlihat jelas di Kota Iida, di mana Shimizu dan para aktivis lainnya mendorong transparansi yang lebih besar mengenai Unit 731 di museum lokal yang dibangun untuk melestarikan pengalaman masa perang penduduk setempat.

Setelah melalui pertimbangan selama bertahun-tahun, sebagian kecil dari museum ini mengakui penelitian senjata biologis dan eksperimen manusia yang dilakukan Unit 731.

Namun, pajangan tersebut juga menyertakan penjelasan bahwa “penelitian sedang berlangsung” dan masyarakat memiliki “banyak pendapat yang berbeda” tentang unit tersebut.

Takeshi Goto. ( Ken Watanabe, Bill Gallo/VOA)

“Masyarakat memiliki banyak pandangan yang berbeda. Jadi, kami mencoba untuk menjaga keseimbangan dengan pameran semacam ini,” jelas Takeshi Goto, seorang pejabat di dewan pendidikan Kota Lida, yang mengelola museum.

Museum menolak untuk menampilkan kesaksian dari anggota Unit 731 setempat, termasuk Shimizu, dengan alasan kesaksian tersebut terlalu panjang, dan dalam beberapa kasus, terlalu vulgar untuk anak-anak. “Ada banyak tragedi selama perang, tetapi museum ini tidak dimaksudkan untuk menampilkan semua peristiwa menyedihkan itu,” kata Goto.

Namun, bagi aktivis lokal Hideaki Hara, yang bekerja sama dengan Shimizu, masalah yang sebenarnya adalah ketidakmauan pemerintah untuk menghadapi bagian yang tidak nyaman dari sejarah Jepang.

“Lida dan pemerintah daerah lainnya cenderung menyelaraskan diri mereka dengan pemerintah pusat,” jelas Hara. “Hal ini membuat mereka ragu-ragu untuk mengakui peran Jepang dalam berbagai peristiwa ini.”

Perdebatan Sejarah

Upaya Shimizu untuk mengungkap Unit 731 adalah bagian dari “pertempuran” yang lebih besar atas warisan masa perang Jepang.

Dalam beberapa dekade terakhir, sejumlah politisi konservatif, yang berusaha memulihkan kekuatan nasional Jepang, telah berupaya meremehkan aspek-aspek tertentu dari sejarah negara itu; bahkan menulis ulang buku-buku pelajaran sekolah.

Banyak kaum konservatif berpendapat bahwa Jepang telah dikucilkan secara tidak adil dan tidak boleh dikekang oleh masa lalu mereka selamanya – terutama di bawah konstitusi pasifis yang ditulis Amerika Serikat, yang menurut mereka membatasi kemampuan Jepang untuk menegaskan dirinya di kawasan yang berbahaya.

Jeffry Kingston. (Ken Watanabe, Bill Gallo/VOA)

Jeffrey Kingston, seorang profesor sejarah dan studi Asia yang berbasis di Tokyo, Temple University Jepang, mengatakan “mereka ingin menciptakan masa lalu, masa perang yang indah, masa lalu yang diputihkan, yang menurut mereka akan lebih nyaman dilihat oleh kaum muda Jepang, dan membantu memupuk kebanggaan terhadap negara.”

“Jadi, ketika veteran seperti Shimizu bersaksi tentang apa yang sebenarnya terjadi, itu agak canggung bagi para revisionis – karena dia ada di sana,” tambahnya.

Shimizu tidak sendirian. Kesaksiannya adalah bagian dari gelombang pengungkapan yang dimulai pada akhir tahun 1980-an setelah kematian Kaisar Hirohito. Episode-episode kelam dalam sejarah Jepang, termasuk Unit 731, mulai terungkap ketika para veteran maju ke depan dengan kisah-kisah mereka.

“Setelah kaisar meninggal, tiba-tiba arsip-arsip tersebut membuka rahasianya, para veteran menemukan buku harian mereka, dan sejarah yang lebih jujur dan terus terang muncul,” ujar Kingston.

Peran Amerika Serikat

Ternyata, Jepang bukanlah satu-satunya negara yang membantu mengaburkan tindakan Unit 731. Menurut catatan pemerintah Amerika Serikat, setelah Jepang menyerah kalah dalam Perang Dunia II, Amerika Serikat memberikan kekebalan hukum dari penuntutan kepada banyak ilmuwan top Unit 731 sebagai imbalan atas penelitian mereka, yang ingin mereka jauhkan dari tangan Soviet.

Perempuan China mengunjungi reruntuhan ruang yang dulunya digunakan sebagai tempat pengembangbiakan tikus kuning untuk uji coba medis tentara Jepang, di selatan Harbin, China, timur laut China, 24 April 2005. (Jason Lee/REUTER)

“Amerika Serikat adalah salah satu konspirator dalam penyembunyian Unit 731,” kata Kingston. “Eksperimen mereka dalam perang biologis, perang kimia, eksperimen pembedahan hewan – semua ini dianggap berguna dan akan memberikan keuntungan besar bagi Amerika Serikat.”

Mereka yang diberi kekebalan termasuk Shiro Ishii, ahli mikrobiologi dan petugas medis militer yang memimpin Unit 731. Menurutsebuah surat tahun 1998 yang dikirim oleh Departemen Kehakiman Amerika Serikat ke Simon Wiesenthal Center di Los Angeles, sebagai imbalan atas perlindungan itu, Ishii dan rekan-rekannya memberikan “banyak informasi kepada otoritas Amerika Serikat.”

Kerugian Pribadi

Shimizu merasa kesal karena begitu banyak rekannya sesama anggota Unit 731 yang karirnya berkembang pesat setelah perang. Sementara peluang kariernya sendiri dibatasi. “Atasan saya menjadi profesor di universitas, presiden perusahaan farmasi, dan anggota Pasukan Bela Diri. Bisakah Anda mempercayai itu?,” tanyanya, suaranya bergetar.

Ketika ditanya apakah dia menginginkan permintaan maaf dari Amerika Serikat, Shimizu mengelak dan mengalihkan pembicaraan ke ambisi militer Jepang yang terus meningkat, yang dia khawatirkan bisa membawa negara itu kembali berperang dengan negara-negara tetangganya.“Harapan saya adalah kebahagiaan masa depan anak-anak saya, tidak ada yang lain,” kata Shimizu. “Saya hanya ingin semua negara rukun.”

FILE - Pria China tengah mengamati gambar-gambar yang menunjukkan pembedahan (vivisection) di bekas laboratorium markas besar tentara Jepang di selatan Harbin, ibu kota provinsi Heilongjiang di timur laut China, yang kini menjadi museum, 24 April 2005. (Jason Lee/REUTERS)

Namun, keputusannya untuk bersuara telah merenggangkan hubungannya dengan keluarganya. Kedua putrinya, yang dulunya dekat, menjadi jauh dan jarang mengunjunginya, terutama sejak perjalanannya ke China.

Istrinya, yang kini menderita demensia, tinggal di sebuah fasilitas perawatan, meninggalkannya sendirian di rumah mereka. Isolasi itu, katanya, membuatnya lebih sulit untuk memahami mengapa putrinya menarik diri.

Meski menghadapi tantangan-tantangan itu, Shimizu – yang tampaknya menjadi anggota Unit 731 terakhir yang masih hidup dan bersedia untuk berbicara – fokus untuk memastikan kebenaran tidak dilupakan.

Setelah berbicara dengan VOA, dia mulai mempersiapkan pidato yang akan datang di sebuah kota tetangga. Dia sudah memberikan lebih banyak wawancara media daripada yang bisa dia hitung.

Meskipun ia tahu akhir hidupnya sudah dekat, ia tetap menantang. “Saya pikir merupakan hal yang memalukan dan keterlaluan untuk berpura-pura bahwa apa yang terjadi itu tidak pernah terjadi,” ujarnya lirih. [th/em]