Menteri Pertahanan Amerika Ash Carter bertemu dengan Raja Salman dan Menteri Pertahanan Arab Saudi sebelum kembali ke Yordania untuk bertemu dengan para pemimpin militer Yordania.
Hari Selasa (21/7), Carter bertemu dengan pasukan koalisi di Yordania utara di sebuah pangkalan udara dimana operasi terhadap sasaran-sasaran di Suriah dilancarkan.
"Kita akan menang. KIta tidak tahu untuk berapa lama tapi kita tahu bagaimana dan apa yang dilakukan disini adalah bagian yang sangat berarti dari usaha tersebut," kata Ash Carter.
Ia berangkat ke Yordania dari Israel dimana ia bertemu dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menekankan kembali dukungan keamanan Amerika yang berlanjut setelah perjanjian nuklir Iran. Netanyahu menyambut Carter dengan wajah muram sebelum melakukan pembicaraan selama dua jam di kantor Netanyahu di Yerusalem.
"Kita tidak sepakat mengenai semua hal dan perdana menteri menjelaskan bahwa ia tidak setuju dengan kita terkait perjanjian nuklir dengan Iran tapi sahabat bisa saja tidak setuju. Kita akan terus bekerja sama dengan Israel dan mitra-mitra kita di kawasan ini untuk menghadapi bahaya dari Iran, seperti yang kita lakukan terhadap ISIS," lanjutnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Carter merupakan pejabat pertama Amerika setingkat kabinet yang mengunjungi Israel sejak Iran, minggu lalu, setuju untuk menghentikan program senjata nuklirnya dengan imbalan pencabutan sebagian sanksi-sanksi ekonomi terhadap negara itu.
Hubungan antara Amerika dan Israel renggang karena perjanjian itu. Netanyahu mengecamnya sebagai "perjanjian buruk dalam sejarah" dan berjanji untuk menghambat perjanjian itu lewat sekutu-sekutunya di Kongres Amerika.
Banyak analis Israel yang mengecam perjanjian itu mengatakan, negara-negara besar Barat yang dipimpin Amerika "menyerah" karena tidak berminat untuk terlibat dalam perang lainnya di Timur Tengah.
Selasa malam Netanyahu mengeluarkan pernyataan yang menyebut kesepakatan dengan Iran itu adalah “kesepakatan yang buruk” dan “kesalahan bersejarah.”
Tapi para analis lain termasuk banyak mantan pejabat militer dan intelejen berpendapat perjanjian itu tidaklah buruk.
Amos Yadlin, Direktur Lembaga Studi Keamanan Nasional di Tel Aviv menyebut "perjanjian yang sangat bermasalah, yang beresiko bagi keamanan nasional Israel" tapi menambahkan, membandingkannya dengan "perjanjian ideal" dimana Iran akan menghentikan pengayaan uraniumnya adalah tidak realistis.
"Kalau tidak dicapai perjanjian," kata Yadlin. "Infrastruktur yang ada tahun 2013 ketika perundingan dimulai akan semakin bertambah luas lagi sampai batas maksimal kapasitasnya tanpa ada pemeriksaan," imbuhnya.
Mantan direktur badan intelijen Mossad, Ephraim Halevy bahkan menyatakan lebih ringkas lagi "jangan melawan Amerika".