Jumlah mahasiswa Indonesia di China, menurut harian China, China Daily, sejak pandemi 2021 telah mencapai lebih dari 15.000. Jumlah ini secara rutin meningkat 10 persen per tahun sejak 2014. Mereka tersebar di berbagai universitas negeri dan swasta di provinsi-provinsi China.
I Gede Nyoman Bhaskara Wira Putra (Ari) adalah salah satu mahasiswa S2 Indonesia yang sedang menyelesaikan program teknik metalurgi di Central South University di Provinsi Hunan, China. Ia memperoleh beasiswa China lewat program gabungan pemerintah Indonesia LPDP dan universitas China.
“Program-program metalurgi di Indonesia seperti nikel sedang berkembang dan kebetulan juga salah satu program beasiswa yang ditonjolkan itu adalah program nikel jadi sekalian mengapa saya tertarik mengambil ini karena ke depannya mungkin lebih baik di Indonesia,” sebutnya.
Ini sejalan dengan peningkatan pesat operasi perusahaan pertambangan China di Indonesia dalam lima tahun terakhir. Sebagai contoh, bahkan sebagian besar perusahaan smelter di Indonesia adalah perusahaan China.
Pelajar Indonesia lainnya, Dena Mandala, sedang menempuh studi S1, di Hainan Normal University di China setelah menyelesaikan program pertukaran pelajar SMU di Amerika.
“Saya melihat ada peluang besar di sektor bahasa Mandarin di Indonesia karena permintaan untuk yang bisa berbahasa Mandarin dan punya skill dalam bahasa Mandarin itu sangat diperlukan di Indonesia jadi saya memilih jurusan ini,” komentarnya.
Profesor. Dr. Agus Setya Budi, Rektor Universitas Budi Luhur yang putrinya penerima beasiswa dari pemerintah China mengamati bahwa jumlah pelajar Indonesia di China sangat besar. Ia mengaitkan peningkatan minat anak muda Indonesia belajar di China dengan sikap realistis mereka terhadap perubahan tren global.
“Artinya kalau dulu itu kan banyak sekali perusahaan industri Jepang, Amerika, Jerman di sekitar Jakarta industri lumayan banyak, sekarang di mana-mana dimiliki China. Yang paling dahsyat lagi, rumah sakit yang bagus di kota-kota besar di Indonesia terutama di Jakarta memang dikuasai oleh mereka,” jelasnya.
Dr. Ardhitya Eduard Yeremia Lalisang, lektor di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia, yang juga peneliti di Asia Research Centre, banyak menulis mengenai politik dan kebijakan China. Ia mengamati pergeseran beasiswa yang diberikan oleh pemerintah China pada pelajar Indonesia.
Your browser doesn’t support HTML5
“Sepuluh tahun terakhir trennya itu tidak hanya belajar bahasa mandarin, beasiswa yang disediakan tidak hanya untuk belajar bahasa mandarin tapi sudah meluas ke berbagai macam subject, ilmu alam, ilmu sosial hampir sangat bervariasi, ini sangat berbeda dengan tren awal ketika pasca reformasi, di mana anak muda Indonesia kebanyakan belajar bahasa mandarin,” jelasnya.
Yeremia Lalisang memandang pergeseran kebijakan dalam pemberian beasiswa ini wajar, sejalan dengan BRI China, untuk memperluas pengaruhnya demi kepentingan negara tersebut di masa mendatang.
“Pertama itu adalah hal yang normal karena kita melihat Jepang dari periode 1980-an sampai sekarang bahkan, fokus Jepang adalah human capital, dan Jepang sekarang sudah menuai hasilnya misal sekarang pemilihan rektor UI, dua atau tiga dari tujuh calon rektor adalah lulusan Jepang, lalu lulusan Jepang di birokrasi pemerintah Indonesia banyak yang sekarang di satu kementerian banyak yang dirjennya lulusan Jepang,” komentarnya.
China bukan satu-satunya negara yang ingin memengaruhi calon elit bangsa lewat pendidikan. Hal yang sama juga dilakukan Amerika dan Jepang. Amerika memberikan beasiswa kepada pelajar asing lewat program Fullbright sejak 1946 dan banyak lulusannya menempati jabatan-jabatan penting Pemerintah.
Yeremia mengatakan memperdalam pengaruh kepada bangsa lain lewat pemberian beasiswa merupakan salah satu ciri unik dari kebijakan dan politik sebuah negara besar dan hanya terjadi jika negara mitra menyambut kebijakan itu. Indonesia sebaliknya jika ingin dipandang sebagai negara besar harus menempuh cara yang sama. [my/ab]
Artikel ini telah diperbarui untuk mengoreksi jumlah mahasiswa Indonesia di China sejak pandemi. Jumlah yang benar adalah 15.000 orang, bukan 150.000 seperti yang tertulis sebelumnya.