Komunitas Tionghoa Muslim di Indonesia menjadikan Laksamana Cheng Ho sebagai salah satu tokoh pemersatu. Namanya bahkan diabadikan sebagai nama belasan masjid di Tanah Air. Namun, ada dugaan pemahaman yang tidak tepat mengenai apa agama Cheng Ho sebenarnya.
Upaya untuk menelusuri agama Cheng Ho antara lain dilakukan oleh Novi Basuki. Dia adalah santri salah satu pesantren di Jawa Timur, yang kini sedang menempuh pendidikan S3 Politik Internasional di Universitas Sun Yat-sen, China.
“Saya tidak menampik, terus terang, bahwa Cheng Ho ini dilahirkan dari keluarga seorang muslim, sebagaimana epitaf tadi, ayahnya adalah seorang haji. Mungkin dia terlahir sebagai seorang muslim, tetapi saya curiga jangan-jangan setelah dia dewasa, dia mungkin mengubah keyakinannya,” kata Novi.
Muslim Konfusianis
Bahasan terkait itu ditulis Novi dalam buku berjudul "Islam di China Dulu dan Kini" yang belum lama diterbitkan. Buku itu dibedah oleh Pusat Penelitian Politik LIPI dan Penerbit Buku Kompas, Rabu (2/6). Novi sendiri menempuh pendidikan S1 jurusan Bahasa dan Budaya China di Universitas Huaqiao, China dan melanjutkan studi S2 Hubungan Internasional, Universitas Xiamen. Dia juga duduk sebagai Sekjen Forum Sinologi Indonesia dan Pemimpin Redaksi di laman Aseng.ID.
Novi tentu saja tidak begitu saja mengambil kesimpulan. Dia memastikan telah membaca teks-teks berbahasa Mandarin, terutama literatur kedinastian klasik, yang masih memakai model penulisan kuno. Dalam penelusurannya, Novi tidak menemukan bukti langsung yang menyatakan bahwa Cheng Ho seorang muslim.
Selain itu, dalam sebuah naskah sutera Budhis yang dilelang di sebuah balai lelang di New York tahun 2015, Cheng Ho justru menyebut dirinya sebagai kasim Kaisar Ming yang menganut Budha dan mempunyai nama darma Fu Jixiang.
“Sementara yang menyebut Cheng Hho adalah muslim, hanya berdasar kepada satu bukti, yaitu satu epitaf atau batu nisan ayah Cheng Ho yang bermana Haji Ma. Epitaf ayah Cheng Ho ini sekarang ada di Yunan,” lanjut Novi.
Menurut silsilah, Cheng Ho memang lahir di tengah keluarga muslim. Dia masih keturunan Sayyid Ajal Syamsuddin Umar, gubernur pertama Provinsi Yunan. Sayyid adalah julukan lain untuk Habib, atau keturunan Nabi Muhamamad. Nenek moyang Cheng Ho, berasal dari Bukhara, sebuah kota yang kini ada di wilayah Uzbekistan.
BACA JUGA: Belajar Toleransi dari Lasem dan KudusKemungkinan pertama, Cheng Ho mengubah agamanya pada umur belasan tahun, setelah menjadi tawanan dalam era Dinasti Ming. Ini adalah dinasti yang sangat anti pada segala sesuatu berbau asing, dan tentu saja tidak mudah bagi Cheng Ho untuk tetap menjadi muslim. Kemungkinan kedua, kata Novi, jika Cheng Ho tetap muslim, maka dia mengamalkan juga ajaran Konfusianisme. Di China sendiri, Konfusianisme tidak dianggap sebagai agama, tetapi sebagai ajaran tata krama. Praktik ini juga berlaku di sebagian muslim Indonesia, seperti Islam Kejawen, yang beragama tetapi tetap mempraktikan ajaran leluhurnya.
“Ketika Cheng Ho mau berangkat muhibah tujuh kali ke mancanegara, dia nyekar ke makam muslim, dan di waktu yang sama, dia juga melakukan ibadah di Kuil Mazu, yang dikenal sebagai dewi laut,” tambahnya.
Cheng Ho sendiri dianugerahi gelar Laksamana oleh Kaisar Zhu Di, yang kemudian memerintahkannya melakukan perjalanan internasional. Cheng Ho masuk ke perairan Nusantara pada 1405 dan singgah di sejumlah wilayah, mulai dari Aceh, Palembang, hingga Surabaya.
Your browser doesn’t support HTML5
Banyak Versi Sejarah
Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam mengakui sejumlah versi terkait peran Cheng Ho dalam penyebaran Islam di Nusantara. Salah satu pertanyaan yang mengemuka misalnya adalah apakah benar Cheng Ho singgah di Semarang dan menyebarkan agama. Ada pendapat lain yang meyakini, yang turun adalah salah satu anak buahnya
“Wang jinghong yang turun di Semarang karena sakit. Dan karena sakit, dia ditinggal dan kemudian tidak mau ikut rombongan Cheng Ho dan menetap di Jawa. Dan Wang Jinghong yang kemudian disebut sebagai Kyai Juru Mudi Dampo Awang, yang menyebarkan agama Islam,” kata Asvi.
Menurut Asvi, ada banyak tarik menarik soal kebenaran sejarah peristiwa tertentu. Misalnya terkait buku karya sejarawan Slamet Muljono yang terbit 1968. Buku ini berjudul "Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara Islam di Nusantara."
Buku ini, kata Asvi, dilarang terbit oleh Kejaksaan Agung. Alasannya, Slamet Muljono meyakini bahwa jika tidak semuanya, sebagian Walisongo berasal dari China. Walisongo adalah sembilan tokoh agama Islam di Jawa, yang dianggap menjadi tokoh sangat penting dalam penyebaran agama.
Slamet sendiri mendasarkan pendapatnya pada tiga buku yaitu Serat Kanda, Babad Tanah Jawi dan buku Tuanku Rao. Buku yang disebut terakhir tersebut, mendasarkan datanya pada arsip-arsip yang hingga saat ini tidak dapat diakses kembali.
Terkait penyebaran agama, Asvi meyakini bahwa sebuah tanggal atau tahun tertentu tidak dapat dipastikan dalam sejarah sebagai acuan.
“Karena masuknya agama itu paling tidak ada tiga hal. Ada utusan datang. Ada saudagar yang berkunjung kemudian pada waktu lain dia menyebarkan agama. Dan terakhir, ketika agama itu berkembang, misalnya ketika sultan ataupun raja sudah menganutnya,” ujar Asvi.
Tiga periode ini, tambahnya, adalah proses yang tidak terjadi pada saat yang sama. Karena itulah, masuknya suatu agama ke suatu wilayah, terjadi pada periode yang cukup panjang.
“Menurut Denys Lombard, yang mengambil dari catatan Ma Huan, ada seribu keluarga China di Tuban. Seribu keluarga, artinya cukup banyak orang China di Tuban ketika armada Cheng Ho datang kesana. Jadi artinya, sudah ada orang Islam sebelum kedatangan armada Cheng Ho ini di Jawa,” papar Asvi.
BACA JUGA: Warga Tionghoa Luncurkan Kampung Keberagaman Pertama di AcehMenjadi Nama Masjid
Hamdan Basyar, peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI menyebut, salah satu persoalan terkait Cheng Ho ini adalah karena anggapan yang melekat padanya.
“Tokoh ini sudah terlanjur mashur di Indonesia, sebagai tokoh Islam dan ikut andil menyebarkan Islam di Nusantara. Saat ini, kita melihat ada beberapa masjid dengan nama Cheng Ho sebagai penghargaan,” kata Hamdan.
Mengutip beberapa contoh, Hamdan menyebut Masjid Cheng Ho ada di Surabaya, Palembang hingga Malang. Sebagian bahkan cukup besar dan diresmikan oleh pejabat setingkat menteri agama. Menurut data yang ada, selain di tiga kota itu Masjid Cheng Ho setidaknya sudah berdiri di Semarang, Batam, Purbalingga, Banyuwangi, Gowa, Kutai, Samarinda, hingga Jambi.
“Temuan Mas Novi tentang agama Cheng Ho ini mestinya akan menjadi sebuah diskusi yang menarik bagi kalangan sejarawan Islam di Indonesia,” tambahnya.
Hamdan bahkan merekomendasikan penelitian perlu dilakukan, dengan mendasarkan sejumlah pendapat yang sudah ada dalam buku-buku yang telah terbit di Indonesia. Klaim yang ada harus disandingkan dengan temuan Novi Basuki, yang diperoleh dari naskah-naskah kuno berbahasa mandarin, agar fakta sejarah yang disimpulkan lebih pas. [ns/ab]