Wacana pemekaran Papua bergulir cepat setidaknya satu tahun terakhir. DPR menyetujui empat RUU pembentukan daerah otonomi baru, sementara sebagian masyarakat Papua menolak. Kondisi Papua harus dijaga, agar pemekaran tidak menjadi konflik yang berujung kekerasan dan menimbulkan korban.
Akhir Mei lalu, DPR kembali menyetujui satu Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait Daerah Otonomi Baru (DOB), yaitu untuk provinsi Papua Barat Daya. Pada 3 Juni 2022, warga berbagai kota di Papua kembali berunjuk rasa menentang rencana pemekaran. Sedangkan pada Selasa (7/6), sekelompok mahasiswa di Jakarta menggelar aksi meminta RUU pemekaran Papua segera disahkan.
Berbicara kepada VOA, Mathius Murib, Direktur Perhimpunan Advokasi Kebijakan Hak Asasi Manusia (PAK HAM) Papua mengakui, pro-kontra memang sangat terasa dalam isu ini.
“Perbedaan itu tentu ada, pro-kontra, tentu dua-duanya ada kepentingannya. Lalu, pro-kontra di era demokrasi kita itu sah-sah saja. Hanya yang kita khawatirkan, pro-kontra itu jangan berakhir dengan konflik, kekerasan, apalagi ada korban. Yang jadi kekhawatiran kita bersama, saya kira itu,” kata Mathius, Rabu (8/6).
Your browser doesn’t support HTML5
Karena itulah, untuk menghindari kondisi yang lebih buruk, Mathius berharap tidak ada penggunaan kekuasan atau kewenangan yang berlebih. Tindakan semacam itu, dikhawatirkan akan menimbulkan korban. Mediasi yang baik, lanjutnya sangat dibutuhkan agar kedua pihak bisa berkomunikasi dan memiliki kesepahaman bersama.
“Fakta di lapangan, pro-kontra masih ada dan kuat. Karena itu saya kira, harus ada ruang yang terus dibuka, sehingga pro-kontra itu ada saluran yang baik. Dan kalau itu disampaikan, sebaiknya direspon, walaupun itu bertentangan,” tambahnya.
BACA JUGA: Temui Jokowi, Perwakilan Masyarakat Papua Klaim Pemekaran Wilayah Aspirasi WargaTanpa saluran komunikasi bagi dua belah pihak, potensi konflik kian besar dan tidak terhindarkan. Dalam kasus ini, konflik lebih terlibat antara negara dan masyarakat Papua. Mathius menyarankan, dua pihak ini memilih pihak yang ketiga yang sama-sama dipercaya oleh keduanya, sebagai penengah. Pihak ketiga itu harus netral, baik terhadap kebijakan pemerintah maupun penolakan masyarakat Papua. Mereka bisa berasal dari akademisi atau organisasi non-pemerintah, dan bahkan gereja. Prinsipnya, kedua pihak percaya penuh terhadap netralitas penengah.
“Masyarakat Papua itu masih sangat trauma dengan masa lalu, konflik dan kekerasan. Jadi, jangan sampai konflik dan kekerasan masa lalu itu berulang. Karena itu, kehadiran negara dengan kekuatan militer untuk mengamankan semua kebijakan, termasuk DOB, butuh lebih berhati-hati untuk menghindari konflik,” tegas Mathius.
Kesejahteraan Tak Terjamin
Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), Yones Douw, mengakui konflik masih terus terjadi di Papua. Namun dia meyakini, pemekaran daerah bukan jawaban untuk mengatasi kondisi tersebut. Jika alasannya adalah pemerataan pembangunan. Yones juga meyakini tidak ada hubungan antara keduanya. Belajar dari pemekaran kabupaten yang pernah dilakukan di Papua, kata Yones, pembangunan tetap tidak berjalan di kabupaten-kabupaten baru itu.
“Kabupaten Dogiai, Kabupaten Deiayi, yang tidak ada konflik saja, di halaman kantor bupati itu rumput tinggi. Lalu sekarang ko pejabat-pejabat itu minta pemekaran. Itu kan terbalik to. Kau bangun dulu baik-baik rumah yang lama, baru kau bangun rumah yang berikut,” kata Yones kepada VOA.
Yones juga mengakui, rencana pemekaran sudah menjadi polemik di antara masyarakat Papua sendiri. Namun dia menilai, mereka yang pro jauh lebih sedikit dibanding yang menolak. Mereka yang mendukung, kata dia, mayoritas adalah kelompok tertentu yang sering memperoleh dukungan dari pemerintah, dalam kegiatan-kegiatannya. Sedangkan masyarakat bawah, cenderung menolak ide pemekaran.
Belajar dari Pemekaran Kabupaten
“Setelah pemekaran, kesejahteraan tidak datang. Sama dengan sekarang provinsi. Pemekaran hanya pemerintahan saja, pemekaran provinsi. Pemekaran diskriminasi, pemekaran pelanggaran HAM, yang akan muncul kemudian hari,” tegas Yones.
Masalahnya ada pada pimpinan yang tidak jujur. Yones mengibaratkan, di sebuah keluarga yang kaya tetapi kepala rumah tangganya membuang banyak uang di luar rumah.
BACA JUGA: Warga Dogiyai Adukan Pengerahan Pasukan Besar-Besaran ke Komnas HAM“Di Papua hari ini, di kabupaten pemekaran, masyarakat tidak sejahtera, jalan juga tidak betul, pembangunan kantor juga tidak betul,” tambahnya.
Pemekaran Papua, menjadi dua, sepuluh atau dua puluh provinsi sekalipun, kata Yones tidak berdampak banyak. Penyebabnya adalah karena kebijakan itu diambil untuk kepentingan politik, bukan karena niat baik pemerintah pusat.
Tidak Semua Menolak
Tentu saja, ada sebagian masyarakat Papua yang menyambut baik rencana pemekaran wilayah tersebut, seperti Ismael Isack Assa Mebri, Ondofolo atau pemimpin suku di Kampung Yoka, Kota Jayapura, Papua.
“Dengan pembagian ini, masing-masing daerah bisa mempercepat pembangunan, kita melihat itu dan mendukung. Banyak saudara kita juga yang menolak, karena pengalaman 20 tahun lalu, keberpihakan kepada orang Papua mungkin belum dirasakan,” kata Ismael.
Kepada VOA, dia menyebut bahwa Papua adalah tanah yang luas. Sejak menjadi provinsi di Indonesia pada tahun 60-an, kata Ismael, pembangunan tentu sudah berjalan, hanya belum menyentuh hingga ke kampung-kampung. Jika hanya memiliki dua provinsi seperti saat ini, pembangunan hingga ke level paling bawah itu akan lambat.
“Kita bersyukur kepada Tuhan, karena pemerintah sudah mengesahkan UU Otsus fase 2, dan juga pemekaran. Ini anugrah Tuhan untuk Papua, jadi kita harus sambut itu dan terima, untuk mempercepat pembangunan. Kita tidak bisa tolak-tolak terus, kalau kita tolak terus, kita akan tertinggal, orang Papua ini,” jelas Ismael yang juga Ketua Umum Dewan Presidium Pusat Masyarakat Adat Tabi (DEPMATA), Papua.
Dalam sejarahnya, Papua terdiri dari tujuh wilayah adat. Karena itu, Ismael menyambut baik rencana pemerintah pusat membentuk tujuh provinsi di Papua, dengan setiap masyarakat adat memiliki kesempatan lebih besar membangun wilayah adat sendiri.
Sebagai pihak yang setuju, Ismael mengatakan pihaknya berusaha membangun komunikasi dengan sebagian masyarakat yang menolak. Selama ini, antara masyarakat yang menolak dan mendukung, hanya berkomunikasi melalui diskusi-diskusi kecil di aplikasi percakapan.
“Untuk pertemuan besar, musyawarah besar Papua, ini sedang kita rancang, bersama Uncen dan perguruan tinggi lain, untuk memberi masukan-masukan berbobot, memberikan percerahan kepada masyarakat Papua untuk bisa mengerti dan menerima kebijakan pemerintah ini. Semua pihak itu harus diundang, agar Papua bisa menghadapi situasi ini dengan damai,” tegas Ismael. [ns/lt]