Setidaknya ada dua angka yang ditetapkan Kemenkes terkait kondisi Yogya dan Jakarta dalam dua pekan ke depan. Jika kasus terus memburuk dengan kenaikan 30 persen dari jumlah saat ini, situasi akan memburuk. Jika angka kenaikannya mencapai 60 persen, maka akan masuk kategori sangat buruk.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan itu, dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, Selasa (13/7).
“Jadi yang paling berat akan menghadapi, dalam seminggu sampai dua minggu ke depan, kalau ada perburukan terus sebesar 30 persen, atau kita kira-kira sekitar dua persen sampai tiga persen per hari, adalah Yogyakarta dan DKI Jakarta,” ujar Budi.
Kondisi paling berat dihadapi karena kedua provinsi itu akan mengalami kekurangan tempat tidur isolasi dan tempat tidur ICU. Dalam pertemuan rutin dengan para gubernur, Budi memastikan telah ada strategi yang disiapkan untuk mengantisipasi kondisi tersebut. Strategi yang diterapkan di Yogyakarta, akan berbeda dengan di Jakarta.
Dikatakan Budi, Yogyakarta memiliki total tempat tidur di seluruh rumah sakit rujukan COVID-19 berjumlah sekitar 8.200. Dari jumlah itu, sekitar 2.500 tempat tidur telah disiapkan untuk COVID-19 dan terpakai sekitar 2.400. Dengan jumlah itu, dalam data bed occupancy ratio (BOR) Yogya terlihat tinggi, yaitu sekitar 91 persen.
“Tetapi Yogya masih bisa mengkonversi dari 8.200 tempat tidur itu, penambahan setidaknya 2.000 dipindahkan ke khusus COVID-19. Jadi total ada 4.000 tempat tidur,” tambah Budi.
Dengan penambahan 2.000 tempat tidur hasil konversi dari layanan nonCOVID-19 ini, kata Budi, BOR DI Yogyakarta akan langsung turun dari 90 persen ke kisaran 60 persen.
Budi mengaku sudah mengkomunikasikan rencana ini dengan pihak rumah sakit dan organisasi dokter di Yogyakarta. Meski setiap dokter spesialis telah memiliki ruang-ruang sendiri bagi pasien mereka, penambahan kasus kali ini membutuhkan pengertian mereka.
“Saya minta tolong ke temen-temen di Yogya, dan rumah sakit di Yogya, tolong kita lebih disiplin karena sekarang sedang naik pasien COVID, jadi kita dedikasikan dulu tempat tidurnya ke COVID,” tambahnya.
Indonesia, kata Budi, memiliki sekitar 400 ribu tempat tidur di rumah sakit, di mana 120 ribu selama ini didedikasikan untuk pasien COVID-19. Sekitar 90 ribu tempat tidur khusus COVID-19 telah terisi tetapi dalam persentase tidak sama antar provinsi. Di Jawa, BOR-nya relatif jauh lebih tinggi.
Untuk Jakarta, kata Menkes, karena sudah lebih dari 50 persen tempat tidur dikhususkan untuk COVID-19, maka strategi yang diterapkan berbeda. Budi mengatakan, kebutuhan tempat tidur di Jakarta dipenuhi dengan mengalihkan sejumlah rumah sakit sebagai RS khusus COVID-19. Tiga rumah sakit telah menyandang status ini, RS Fatmawati, RS Persahabatan, dan RS Sulianti Saroso.
Strategi kedua adalah dengan rumah sakit lapangan memanfaatkan gedung-gedung yang sudah ada. Akhir pekan lalu, Wisma Haji telah dikonversi menjadi rumah sakit dengan sekitar 700 ruangan dari 900 ruangan yang ada. Dengan tambahan 100 tempat tidur ICU, Wisma Haji bisa menjadi rumah sakit dengan kapasitas total tempat tidur, sekitar 900-1.000.
Hadapi Jalan Buntu
Namun rencana Menkes itu nampaknya akan menghadapi rintangan besar khususnya di Yogyakarta. Direktur Utama RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, dr. H. Mohammad Komarudin, Sp.A mengatakan, menambah ruang dimungkinkan, tetapi operasionalnya akan terkendala.
“Sebenarnya dari segi ruangan, mau menambah itu tidak masalah. Siap. Di PKU Muhammadiyah Yogyakarta, sudah 30 persen kita konversi menjadi ruang perawatan COVID. Cuma yang jadi kendala sekarang, suplai oksigen dan Sumber Daya Manusia (SDM),” kata Komarudin ketika dihubungi VOA.
Dari sisi oksigen, PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan hampir seluruh rumah sakit di wilayah ini mengalami lonjakan kebutuhan hingga enam kali lipat dari kondisi normal. Rumah sakit yang dipimpinnya, kata Komarudin, setiap hari menerima dua kali pasokan, tetapi volumenya kecil. Dia memberi contoh, hari Senin siang pihaknya menerima kiriman dua ton oksigen. Pukul 06.00 hari Selasa, oksigen habis dan menerima pasokan lagi hanya 1,5 ton. Sepanjang Selasa, Komarudin mengakui kebingungan dan harus mengontak kanan-kiri untuk memperoleh suplai. Dia membandingkan, dua ton oksigen cair dulu bisa digunakan selama satu pekan. Saat ini, setidaknya dalam 24 jam mereka membutuhkan tiga ton oksigen.
Your browser doesn’t support HTML5
Masalah kedua adalah SDM. Komarudin menceritakan, hampir di setiap rumah sakit di Yogyakarta, 30 persen SDM mereka terkonfirmasi positif. Kasus konfirmasi ini terus berulang, sehingga mereka harus bergantian bekerja setelah selesai menjalani isolasi.
“Di PKU Muhammadiyah saja, dari lima dokter spesialis penyakit dalam dari ada empat terkonfirmasi, hanya satu yang bekerja. Dokter spesialis paru, dari tiga hanya satu yang bekerja. Padahal harus mengurus pasien di PKU Muhammadiyah Yogyakarta dan PKU Muhammadiyah Gamping. Kalau masing-masing 70 pasien saja, enggak akan mampu. Dokter umum lebih parah, separuh harus istirahat karena positif,” beber Komarudin.
Apalagi, Menkes menargetkan program itu dalam dua pekan ke depan. Menurut Komarudin, meski bekerja sama dengan Kemendikbud Ristek untuk menggunakan tenaga kesehatan yang baru lulus, langkahnya tidak mudah. Alasannya, kata Komarudin, pihaknya yang sudah membuka lowongan berulang kali saja, tidak mampu memenuhi target.
“Hampir semua rumah sakit membuka lowongan, tetapi tidak ada peminat,” ujarnya.
Sejauh ini yang bisa dilakukan di PKU Muhammadiyah adalah mengurangi perbandingan ideal antara perawat dan pasien yang dilayani. Untuk penambahan ruang, mereka telah menyediakan ruang transit IGD, yang memberi tempat lebih nyaman bagi pasien yang harus menunggu pelayanan.
“Ini buntu. Benar-benar buntu,” pungkas Komarudin. [ns/ab]