Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan realisasi sementara capaian kinerja APBN 2024 cukup baik meskipun mengalami defisit Rp507,8 triliun atau setara 2,29 persen dari PDB.
Defisit anggaran negara melebar dari capaian defisit APBN 2023 yang hanya mencapai Rp347,6 triliun atau 1,65 persen dari PDB.
“APBN 2024 itu kita bisa tutup dengan jauh lebih baik dari yang kita prediksikan di pertengahan tahun. Kita lihat defisit di Rp507,8 triliun, ini sangat impresif karena tidak hanya lebih rendah dari laporan semester yang waktu itu kita prediksikan memburuk Rp609,7 triliun (atau 2,7 persen dari PDB), namun juga bahkan lebih rendah dari (target) APBN awal yaitu yang Rp522,8 triliun,” ungkap Menkeu Sri dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (6/1).
Menkeu menjelaskan, capaian defisit tersebut merupakan target awal pemerintah yang sesuai dengan UU APBN 2024 yang ditargetkan bahwa defisit di APBN 2024 tidak lebih dari 2,29 persen terhadap PDB. Namun, pada pertengahan tahun 2024, pemerintah dan DPR sempat menyepakati target defisit yang diubah menjadi 2,7 persen terhadap PDB karena kondisi makro perekonomian pada semester-I 2024 yang begitu berat yakni karena tekanan pada harga pangan akibat kondisi El-Nino, tingginya harga minyak dunia, dan melemahnya perekonomian China.
Lebih lanjut, Menkeu Sri menjelaskan penerimaan negara pada 2024 mencapai Rp2.842,5 triliun atau naik 2,1 persen dari tahun 2023 dan sudah mencapai 101,4 persen dari yang ditargetkan oleh pemerintah.
Penerimaan negara tersebut bersumber dari penerimaan pajak Rp1.932,4 triliun, bea dan cukai Rp300,2 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp579,5 triliun dan hibah Rp30,3 triliun. Menkeu Sri mengeklaim semua pemasukan itu masih terjaga dengan baik meskipun terhantam tekanan yang bertubi-tubi.
“Jadi ini tiga pendapatan negara kita dalam situasi yang begitu rentan, begitu tidak pasti, tekanan bertubi-tubi, tapi masih terjaga. Sehingga pendapatan negara Rp2.842,5 triliun itu artinya kita masih tumbuh dibandingkan 2023 yang Rp2.783,9 triliun,” paparnya.
Realisasi sementara belanja pada 2024 mencapai Rp3.350,3 triliun atau naik 7,3 persen dari tahun lalu. Belanja keseluruhan pada tahun lalu, kata Menkeu, paling banyak berasal dari belanja kementerian/lembaga (K/L).
“Komponen terbesar adalah belanja Kementerian /lembaga, melonjak tadinya di APBN hanya Rp1.090,8 triliun, di laporan semester kita prediksi naik ke Rp1.198 triliun, dan di realisasi lebih tinggi lagi Rp1.315 triliun,” tuturnya.
Dengan defisit APBN di 2024 yang melebar, keseimbangan primer juga tercatat defisit Rp19,4 triliun, lebih rendah dari target APBN awal yang diproyeksikan mencapai Rp25,6 triliun.
“Kita mengalami SILPA (sisa lebih perhitungan anggaran) Rp45,4 triliun. Ini juga karena ada beberapa dari sisi pembiayaan yang terus kita lakukan,” tambahnya.
Tantangan di 2025
Dalam kesempatan ini, Menkeu Sri menekankan bahwa tantangan dalam tahun 2025 diproyeksikan tidak kalah sulitnya dibandingkan dengan tahun lalu. Ia menuturkan berbagai tantangan dalam tahun ini akan muncul seiring krisis iklim yang belum membaik. Selain itu, kondisi geopolitik yang juga belum mereda akan menjadi salah satu faktor utama penyebab ketidakpastian di dalam pengambilan berbagai kebijakan oleh pemerintahan negara-negara besar.
“Yang terutama bisa menciptakan spill over atau rambatan ke perekonomian global, apakah itu di Amerika Serikat dalam hubungannya dengan negara tetangganya, atau dengan RRT (China) ataukah itu di Eropa yang sebagian besar perekonomian terutama negara-negara besar tidak dalam posisi yang cukup baik sehingga menimbulkan krisis politik,” katanya.
Menurutnya, berbagai kondisi ini harus meningkatkan kewaspadaan semua pihak dan harus bersiap dengan banyaknya kemungkinan yang akan terjadi.
“Di sisi lain kita juga menyampaikan rasa syukur dan optimis(tis) karena dengan pengalaman sejak dari COVID, pasca COVID, geopolitik dan berbagai ketidakpastian, kita mampu terus merespons dengan APBN yang terus mengurangi risiko bagi masyarakat. Kita juga melihat untuk tahun 2024 inflasi mulai mereda, dan suku bunga sudah mulai dipangkas namun ketidakpastian global kembali menyampaikan bahwa tekanan dan ancaman inflasi ini belum selesai,” tegas Menkeu.
Pengelolaan Fiskal Diprediksi Akan Terus Melemah
Pengamat Ekonomi dari Next Policy Yusuf Wibisono mengapresiasi capaian defisit APBN 2024 yang sesuai dengan target awal APBN, yang tidak lebih dari 2,29 persen. Namun, menurutnya, ini bukan prestasi yang baik. Pasalnya, defisit APBN pada tahun 2023 bisa terjaga di level 1,65 persen terhadap PDB. Itu, menurutnya, merupakan capaian terbaik pasca pandemi COVID-19.
“Jadi kalau 2024 defisitnya 2,29 persen, itu tambah buruk sebenarnya karena di 2023 kita mampu di 1,65 persen. Dan ini merupakan yang terbaik pasca pandemi, pandemi 2020 kita defisitnya 6,14 persen dari PDB, 2021 di 4,75 persen. Kita baru mulai konsolidasi fiskal di 2022, itu defisit APBN-nya 2,35 persen. Jadi 2023, ketika defisitnya menjadi 1,65 persen itu menunjukkan semangat konsolidasi fiskal yang bagus. Kita hargai itu. Namun ketika di 2024, ini sebenarnya menyayangkan karena ini menunjukkan konsolidasi fiskal yang melemah,” ungkap Yusuf ketika berbincang dengan VOA.
Lebih jauh, Yusuf menjelaskan kondisi fiskal APBN di tahun 2025 yang ia nilai semakin memburuk. Pasalnya, defisit APBN di 2025 ditargetkan meningkat menjadi 2,53 persen dari PDB. Target ini, kata Yusuf tidak mencerminkan semangat konsolidasi fiskal yang sudah susah payah dibangun pasca pandemi COVID-19.
“Artinya, target defisit anggaran 2025 itu penuh dengan kompromi politik, menunjukkan defisit 2025 tantangannya sangat berat. Sejak awal kita sudah menunjukkan kompromi politik yang sangat tinggi sampai ke 2,53 persen. Nanti di semester-I menentukan sekali bagaimana perkembangan pengeluaran negara. Kalau sampai melonjak tidak terkendali, sedangkan penerimaan perpajakan yang ditargetkan ini akan meningkat tinggi tetapi tidak tercapai, apalagi PPN 12 persen batal berlaku umum, ini menjadi pertaruhan besar,” paparnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Yusuf berharap pemerintah bersiap melakukan langkah-langkah berarti untuk mendongkrak penerimaan negara tanpa membebani masyarakat.
“Strategi apa yang akan ditunjukkan oleh pemerintah? Kita tentu khawatir apalagi di tahun pertama langsung banyak program unggulan Presiden Prabowo yang dilaksanakan seperti program MBG, cetak sawah 3 juta hektare, pembangunan rumah rakyat 3 juta unit. Kita berharap tetap ada disiplin fiskal yang ditunjukkan oleh pemerintah dan di saat yang sama ada langkah atau terobosan yang ditunjukkan dalam menaikkan penerimaan negara tanpa menyusahkan rakyat, seperti menaikkan PPN kemarin,” pungkasnya. [gi/ka]