Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kinerja APBN hingga 30 April 2024 masih surplus Rp75,7 triliun.
“APBN kita mengalami surplus Rp75,7 triliun. Ini artinya 0,33 persen dari estimasi PDB tahun ini,” ungkap Menkeu Sri dalam konferensi pers, di Gedung Kemenkeu, Jakarta, Senin (27/5).
Angka ini diketahui lebih tinggi dari surplus APBN yang diperoleh hingga akhir Maret lalu, yang hanya menyisakan surplus Rp8,1 triliun atau setara 0,04 persen terhadap PDB.
Kinerja APBN yang masih positif hingga April 2024 ini diperoleh dari pendapatan negara yang masih lebih tinggi dari belanja negara. Hingga penghujung April, penerimaan negara mencapai Rp924,9 triliun atau setara dengan 33 persen dari target APBN. Sayangnya, angka ini terkoreksi 7,6 persen dari periode yang sama dari tahun lalu (year on year/yoy).
“Namun kalau dilihat dari tingkat pendapatan negara yang kita kumpulkan, terjadi penurunan dibanding tahun lalu yang memang kita mendapatkan windfall dari banyak commodity price yang meningkat,” jelasnya.
Pendapatan Negara dari Pajak Capai Rp624,19 Triliun
Menkeu menjelaskan, adapun pendapatan negara yang bersumber dari pajak mencapai Rp 624,19 triliun atau 31,38 persen dari target APBN 2024. Ia merinci PPh Non Migas tercatat mencapai Rp377 triliun, PPN & PPnBM Rp218,50, PBB & pajak lainnya Rp3,87 triliun, dan PPh Migas Rp24,81 triliun. Lalu penerimaan negara dari sisi bea dan cukai mencapai Rp95,7 triliun.
Sementara itu, untuk belanja negara sampai dengan akhir April tercatat Rp849,2 triliun atau setara dengan 25,5 persen dari pagu anggaran 2024. Menurutnya, terdapat peningkatan belanja negara sebesar 10,9 persen dari periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy).
Dengan demikian APBN masih mencatat surplus keseimbangan primer sebesar Rp237
Ekonomi Global Tetap Berpotensi Timbulkan Dampak
Meskipun kinerja anggaran negara ini masih positif, namun Menkeu Sri menekankan bahwa APBN masih bisa terpengaruh oleh kondisi perekonomian global yang masih tidak menentu dan kondisi geopolitik yang belum mereda.
Ia mencontohkan perang di Gaza yang kembali memanas setelah masuknya pasukan Israel ke Rafah. Juga perang dagang Amerika dan China. Kedua hal ini ditengarai berdampak cukup besar.
“Berbagai berita menunjukkan bahwa fragmentasi dan breaking down dari world rule atau hukum global itu terjadi, dan dampaknya pasti akan sangat besar di dalam perekonomian global. Di dalam rantai pasok global akan makin rentan, seperti adanya penerapan tarif empat kali lipat dari Amerika terhadap barang-barang RRT seperti produk electric vehicle,” jelasnya.
Meski kondisi global masih tidak menentu, Indonesia kata Menkeu harus bersyukur ekonomi masih bisa tumbuh 5,11 persen di kuartal-I 2024 ini. Menurutnya, hal ini berkat masih tingginya permintaan, konsumsi rumah tangga, investasi dan bahkan ekspor yang mulai tumbuh positif dengan dukungan dari belanja pemerintah yang masih kuat.
“Namun kita juga harus tidak boleh berpuas diri. Perlu untuk membaca dan memonitor situasi yang terus berubah. APBN harus terus kita jaga bersama untuk terus melindungi masyarakat, mendorong transformasi ekonomi kita dan juga untuk menciptakan pembangunan yang inklusif dan berkesinambungan,” tegasnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Ekonom: Waspadai Kemungkinan Defisit Anggaran yang Lebih Tinggi dari Proyeksi Pemerintah
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan penerimaan negara yang lesu ini salah satunya sebagai dampak dari menurunnya pendapatan negara yang diperoleh dari sektor perpajakan, dimana harga komoditas global yang juga cenderung menurun. Maka dari itu, menurutnya meskipun masih tercatat surplus, ia yakin cepat atau lambat akan terjadi defisit anggaran, yang ia perkirakan akan lebih tinggi dari yang sudah ditargetkan oleh pemerintah.
“Ini sudah mulai turun surplusnya dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, karena di saat yang bersamaan belanjanya cenderung meningkat, sementara itu penerimaannya lebih rendah. Sehingga kalau kita lihat sampai dengan akhir tahun ini memang akan ada potensi dimana fiskal defisit pemerintah ini akan melebar dari tahun lalu. Tahun lalu di bawah dua persen, tahun ini diperkirakan akan cenderung di atas dua persen, mungkin 2,3 persen terhadap PDB,” ungkap Josua.
Belanja pemerintah yang cenderung meningkat ini sedianya dibarengi dengan kenaikan penerimaan negara. Tetapi Josua mengingatkan efek domino jika pemerintah menaikkan besaran pajak dan cukai yang cenderung akan membebani masyarakat.
“Semua upaya sudah dilakukan untuk meningkatkan dari sisi penerimaan. Namun pemerintah harus menyadari bahwa dampak dari kenaikan cukai, kenaikan PPN itu memang akan positif buat kepada penerimaan negara, tapi ke perekonomian akan bisa melambat,” katanya.
Josua menyarankan pemerintah untuk terus memperbaiki birokrasi dan menciptakan iklim investasi yang ramah bagi para investor, yang secara tidak langsung akan memperbaiki fundamental perekonomian Indonesia ke depan.
“Pemerintah perlu mendorong iklim investasi yang ramah, sehingga investasi bisa masuk ke Indonesia, bisa mendorong pertumbuhan dan pada akhirnya penerimaan dari sektor perpajakan akan meningkat juga. Dalam kondisi seperti ini kita perlu menyadari bahwa peningkatan investasi, peningkatan produktivitas dari perekonomian kita, ini yang harus dilakukan oleh pemerintah. Supaya apabila kondisi global melambat, namun kita bisa lakukan penguatan dari sisi fundamental ekonomi kita,” pungkasnya. [gi/em]