Lewat keputusan Mahkamah Konstitusi, pembelian saham Newmont sebesar 7 persen harus melalui persetujuan DPR.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyampaikan kekecewaannya atas keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan pemerintah mendapat persetujuan DPR RI jika ingin membeli saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT).
Pada wartawan di Jakarta, Rabu (1/8), Agus mengatakan bahwa pembelian saham Newmont oleh pemerintah pusat merupakan kesempatan bagi negara untuk digunakan sebaik-baiknya.
“Ada rasa prihatin, karena di negara-negara lain itu [dianggap] investasi yang baik, dan investasi dalam arti yang berbeda dari penyertaan modal pemerintah. Jadi investasi negara itu dilakukan dengan baik bahkan ada beberapa negara yang sudah aktif sampai ke luar negeri untuk melakukan investasi, untuk menciptakan nilai bagi negaranya, tapi kalau di Indonesia kita mau melakukan investasi sudah ditunda dan akhirya tidak berhasil,” ujar Agus.
Setelah melakukan proses uji materi selama sekitar satu tahun terkait upaya pemerintah membeli 7 persen saham NNT, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pada Selasa (31/7) bahwa pemerintah tidak dibenarkan membeli saham tersebut tanpa persetujuan dari DPR karena menyangkut anggaran negara.
Pengamat pertambangan dari Institut Teknologi Bandung, Irwandi Arif, mengutarakan kekecewaannya juga atas keputusan MK, dan ia mendesak agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersatu.
“Sebaiknya pemerintah daerah, pemerintah pusat itu bersatu untuk memikirkan Indonesia sebagai negara. Masalahnya kan sebenarnya ada dua aliran, aliran pertama yang mendasarkan diri pada UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, itu yang mengharuskan penyertaan modal negara melalui persetujuan DPR. Pemerintah sendiri, terutama Menteri Keuangan, mengacu pada UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara sehingga tidak memerlukan izin DPR. Tapi kalau memang kita lihat jiwanya itu kan sebenarnya bagaimana negara menguasai kembali sesuai perjanjian yang ada, kan intinya itu,” ujar Irwandi.
Menurut anggota Badan Anggaran DPR RI, Harry Azhar Aziz, sebaiknya pemerintah pusat memberi kesempatan kepada Pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat untuk kembali memilki saham Newmont. Jika pemerintah pusat khawatir Pemda NTB menyalahgunakan kesempatan tersebut ditambahkannya pemerintah pusat bisa tetap melakukan kontrol melalui berbagai lembaga.
“Kalau mereka macam-macam kan kita punya mekanisme juga kontrol, ada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ada mekanisme APBN dan seterusnya dan seterusnya. Janganlah kita perbesar ketidakpercayaan itu, itu membuat marah daerah, untuk mempersatukan bangsa ini, distribution of income ke seluruh daerah itu harus semakin fair,” ujarnya.
Keputusan Agus Martowardojo pada Mei tahun lalu untuk membeli 7 persen saham NNT dianggap tidak sesuai hukum oleh anggota DPR dan BPK. Penjualan 7 persen saham NNT senilai US$248,6 juta tersebut merupakan saham terakhir setelah sebelumnya perusahaan tersebut menjual 24 persen sahamnya. Saham 24 persen senilai $883 juta tersebut dijual kepada pemerintah kabupaten Sumbawa Barat dan Sumbawa, serta provinsi Nusa Tenggara Barat, melalui usaha gabungan dengan PT Multicapital, unit Bakrie Group.
Agus berargumen bahwa tidak ada yang salah dengan keputusan investasi karena pemerintah pusatlah yang memberikan kontrak kerja pada NNT pada 1986 dan memegang hak penolakan terkait saham tersebut. Pembelian tersebut dianggap Agus akan memberikan komposisi ideal untuk pemegang saham NNT, yaitu perusahaan swasta asing dan nasional, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Pada wartawan di Jakarta, Rabu (1/8), Agus mengatakan bahwa pembelian saham Newmont oleh pemerintah pusat merupakan kesempatan bagi negara untuk digunakan sebaik-baiknya.
“Ada rasa prihatin, karena di negara-negara lain itu [dianggap] investasi yang baik, dan investasi dalam arti yang berbeda dari penyertaan modal pemerintah. Jadi investasi negara itu dilakukan dengan baik bahkan ada beberapa negara yang sudah aktif sampai ke luar negeri untuk melakukan investasi, untuk menciptakan nilai bagi negaranya, tapi kalau di Indonesia kita mau melakukan investasi sudah ditunda dan akhirya tidak berhasil,” ujar Agus.
Setelah melakukan proses uji materi selama sekitar satu tahun terkait upaya pemerintah membeli 7 persen saham NNT, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pada Selasa (31/7) bahwa pemerintah tidak dibenarkan membeli saham tersebut tanpa persetujuan dari DPR karena menyangkut anggaran negara.
Pengamat pertambangan dari Institut Teknologi Bandung, Irwandi Arif, mengutarakan kekecewaannya juga atas keputusan MK, dan ia mendesak agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersatu.
“Sebaiknya pemerintah daerah, pemerintah pusat itu bersatu untuk memikirkan Indonesia sebagai negara. Masalahnya kan sebenarnya ada dua aliran, aliran pertama yang mendasarkan diri pada UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, itu yang mengharuskan penyertaan modal negara melalui persetujuan DPR. Pemerintah sendiri, terutama Menteri Keuangan, mengacu pada UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara sehingga tidak memerlukan izin DPR. Tapi kalau memang kita lihat jiwanya itu kan sebenarnya bagaimana negara menguasai kembali sesuai perjanjian yang ada, kan intinya itu,” ujar Irwandi.
Menurut anggota Badan Anggaran DPR RI, Harry Azhar Aziz, sebaiknya pemerintah pusat memberi kesempatan kepada Pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat untuk kembali memilki saham Newmont. Jika pemerintah pusat khawatir Pemda NTB menyalahgunakan kesempatan tersebut ditambahkannya pemerintah pusat bisa tetap melakukan kontrol melalui berbagai lembaga.
“Kalau mereka macam-macam kan kita punya mekanisme juga kontrol, ada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), ada mekanisme APBN dan seterusnya dan seterusnya. Janganlah kita perbesar ketidakpercayaan itu, itu membuat marah daerah, untuk mempersatukan bangsa ini, distribution of income ke seluruh daerah itu harus semakin fair,” ujarnya.
Keputusan Agus Martowardojo pada Mei tahun lalu untuk membeli 7 persen saham NNT dianggap tidak sesuai hukum oleh anggota DPR dan BPK. Penjualan 7 persen saham NNT senilai US$248,6 juta tersebut merupakan saham terakhir setelah sebelumnya perusahaan tersebut menjual 24 persen sahamnya. Saham 24 persen senilai $883 juta tersebut dijual kepada pemerintah kabupaten Sumbawa Barat dan Sumbawa, serta provinsi Nusa Tenggara Barat, melalui usaha gabungan dengan PT Multicapital, unit Bakrie Group.
Agus berargumen bahwa tidak ada yang salah dengan keputusan investasi karena pemerintah pusatlah yang memberikan kontrak kerja pada NNT pada 1986 dan memegang hak penolakan terkait saham tersebut. Pembelian tersebut dianggap Agus akan memberikan komposisi ideal untuk pemegang saham NNT, yaitu perusahaan swasta asing dan nasional, pemerintah daerah dan pemerintah pusat.