Menlu 19 Negara Sepakati Proposal Penyelesaian Konflik di Suriah

Menteri Luar Negeri AS John Kerry (kiri), utusan khusus PBB untuk Suriah Staffan de Mistura (tengah) dan Menlu Rusia Sergey Lavrov dalam konferensi pers di Wina, Austria (14/11). (AP/Ronald Zak)

Ke-19 negara itu juga menyepakati mekanisme pelaksanaan gencatan senjata yang dikendalikan PBB.

Para menteri luar negeri dari 19 negara hari Sabtu (14/11) menyepakati sebuah proposal untuk mengakhiri konflik di Suriah yang telah ikut menyuburkan kelompok-kelompok radikal Islam.

Proposal itu menetapkan 1 Januari 2016 sebagai tenggat untuk memulai perundingan antara Presiden Suriah Bashar al-Assad dan kelompok-kelompok oposisi.

Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan pihak Assad sudah mengajukan wakilnya, sementara utusan khusus PBB untuk Suriah Staffan de Mistura akan berusaha menentukan siapa yang akan mewakili pihak oposisi.

Dalam waktu enam bulan, menurut proposal itu, perundingan di Suriah harus menghasilkan pemerintahan transisi yang “kredibel, inklusif dan non-sektarian.” Pemerintahan ini akan menetapkan jadwal pembentukan konstitusi baru dan pelaksanaan pemilu yang dipantau oleh PBB.

Ke-19 negara itu juga menyepakati mekanisme pelaksanaan gencatan senjata yang dikendalikan PBB. Meski demikian, masih ada sejumlah kendala.

Para peserta pertemuan di Wina itu tidak mencapai titik temu tentang kelompok mana lagi selain militan Negara Islam (ISIS) dan afiliasi al-Qaida, yang tidak akan terlibat dalam gencatan senjata itu. Menurut proposal tersebut, negara-negara yang membantu kelompok-kelompok oposisi dalam perang di Suriah harus menjamin kepatuhan mereka terhadap gencatan senjata.

Menlu Lavrov mengatakan Yordania akan memimpin proses untuk menentukan kelompok mana yang ditetapkan sebagai teroris sehingga tidak akan dilibatkan. Proses itu rencananya akan rampung sebelum transisi politik di Suriah dimulai Januari.

Amerika dan Rusia juga masih berselisih tentang penyebab ekstremisme di Suriah. Menteri Luar Negeri Amerika John Kerry mengatakan orang-orang radikal datang ke Suriah guna melawan rezim Assad, argumen yang disanggah Lavrov. Kedua negara itu bersengketa tentang peran apa – jika memang ada – yang akan dimainkan Assad dalam proses transisi di Suriah.

Kata Kerry, “meskipun masih ada perbedaan pendapat tentang posisi Assad, kami sepakat bahwa pertumpahan darah di Suriah harus dihentikan. Sudah saatnya memberikan tempat berlindung bagi teroris.”

Menurut Lavrov, masalahnya bukan pada Assad karena “musuh kita adalah ISIS.”

Memasuki tahun kelima, konflik di Suriah telah menewaskan lebih dari 250.000 orang. Sekitar 11 juta orang terpaksa mengungsi, sementara militan ISIS telah menguasai banyak wilayah strategis di Suriah dan Irak untuk dijadikan kekhalifahan mereka. Konflik itu juga telah menyulut krisis migrasi, dengan puluhan ribu migran dan pengungsi berbondong-bondong memasuki Eropa.

Para peserta pertemuan di Wina itu juga memutuskan untuk melakukan rapat berikutnya di Paris sebelum akhir tahun. Keputusan itu tampaknya untuk menghormati Perancis usai serangan teror hari Jumat yang menewaskan sedikitnya 129 orang. [th]