Menlu AS Akan ke Bertolak Timteng untuk Bahas Israel-Hamas

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken di Harpa Concert Hall, di Reykjavik, Islandia, 18 Mei 2021. (Saul Loeb / Pool via REUTERS)

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dijadwalkan bertolak ke Timur Tengah hari Senin (24/5) setelah gencatan senjata antara Israel dan Hamas mulai berlaku pada Jumat dini hari.

Ini adalah lawatan pertama Blinken ke kawasan sebagai menteri luar negeri AS. Ia akan bertemu dengan mitra-mitranya di Israel, Palestina dan di kawasan, sebagai bagian dari upaya Washington untuk membahas kelanjutan gencatan senjata di Gaza.

AS menyatakan berkomitmen untuk bekerja sama dengan Otorita Palestina dan PBB untuk memberikan bantuan kemanusiaan segera serta menggalang dukungan internasional untuk Gaza dan upaya-upaya rekonstruksi Gaza.

“Fokus kami yang tanpa henti sekarang ini adalah menangani situasi kemanusiaan, mulai melakukan rekonstruksi dan pembangunan kembali, dan berdialog secara intens dengan semuanya, dengan Palestina, dengan Israel, dengan mitra-mitra di kawasan,” kata Blinken kepada CNN hari Minggu.

Sementara itu, para mediator Mesir melakukan perjalanan melintasi perbatasan Gaza dan bertemu dengan rival Hamas yang berbasis di Tepi Barat, Presiden Palestina Mahmoud Abbas, dalam upaya mempertahankan gencatan senjata. Mesir menengahi gencatan senjata Gaza antara Israel dan militan Palestina yang dipimpin Hamas.

Di PBB, para anggota Dewan Keamanan menyambut baik gencatan senjata antara Israel dan Hamas, mengulangi seruan untuk mencapai perdamaian yang komprehensif “berdasarkan pada visi sebuah wilayah di mana dua negara demokratis, Israel dan Palestina, hidup berdampingan dengan damai dengan perbatasan yang aman dan diakui.” Ini dimuat dalam sebuah pernyataan yang dirilis akhir pekan lalu.

Sebagian pakar mengatakan gencatan senjata tidak akan mengatasi isu lama yang telah menghalangi penyelesaian konflik puluhan tahun di sana. “AS harus menjelaskan posisinya mengenai seperti apa negara Palestina yang mampu bertahan, berdaulat dan hidup berdampingan,” dan harus “menguraikan tindakan apa yang dianggap merusak prospek solusi dua negara,” kata mantan duta besar Mesir Hesham Youssef, yang kini menjadi peneliti senior di United States Institute of Peace. [uh/ab]