Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dijadwalkan bertemu dengan Direktur Kantor Komisi Sentral untuk Urusan Luar Negeri China, Wang Yi, pada Kamis (13/7), di sela-sela pembicaraan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Jakarta.
Blinken dan Wang bertemu bulan lalu di Beijing sebagai bagian dari upaya pemerintahan presiden AS Joe Biden untuk meredakan ketegangan hubungan antara kedua negara adidaya ini.
Setelah itu Menteri Keuangan AS Janet Yellen melakukan kunjungan ke Beijing pekan lalu, dan pekan depan, mulai 16 hingga 19 Juli, utusan khusus AS untuk masalah iklim John Kerry akan mengunjungi China.
Blinken dan Wang ambil bagian dalam pembicaraan ASEAN di Jakarta, seperti halnya Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov.
BACA JUGA: Bertemu Diplomat Senior China, Blinken Bahas Isu-isu Krusial dalam Hubungan AS-ChinaPertemuan yang berlangsung pada Kamis dan Jumat diperkirakan akan mencakup fokus pada upaya mengakhiri krisis di Myanmar dan mengenai ketegangan di Laut China Selatan.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan, “Dialog akan membuka jalan menuju solusi politik. Hanya solusi politik yang akan mengarah pada perdamaian yang bertahan lama. Kamis masih sangat prihatin melihat berlanjut dan meningkatnya kekerasan di Myanmar. Indonesia mengutuk keras penggunaan kekuatan dan kekerasan. Kami sangat mendesak semua pemangku kepentingan agar mengecam kekerasan karena ini sangat penting untuk membangun kepercayaan.”
Penguasa militer Myanmar belum menerapkan rencana perdamaian lima poin yang mereka sepakati tidak lama setelah menyingkirkan pemerintah pimpinan Aung San Suu Kyi pada awal 2021.
BACA JUGA: Menlu AS Blinken Peringatkan Menlu China Wang Yi agar Tak Bantu Rusia di UkrainaRencana yang disusun ASEAN itu mencakup seruan untuk segera menghentikan kekerasan, pengiriman bantuan kemanusiaan dan pembicaraan perdamaian.
Kekerasan di Myanmar telah membuat lebih dari 1 juta orang mengungsi, kata PBB.
Lucas Myers dari lembaga kajian Wilson Center mengatakan kepada VOA bahwa para anggota ASEAN terpecah pendapat mengenai apa dan bagaimana cara menghadapi penguasa militer Myanmar.
“Jadi, negara-negara maritim, Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, jauh lebih prodemokrasi dalam krisis Myanmar, sedangkan negara-negara daratan, yang sering kali lebih otokratis dalam kasus ini, jauh lebih mendukung junta yang berkuasa di Myanmar,” kata Myers. [uh/ab]