Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Anthony Blinken akan melawat ke Arab Saudi pada Minggu (28/4) ketika tenggat untuk mencapai kesepakatan bersejarah yang akan mendorong Saudi untuk mengakui Israel, makin dekat. Para analis berpendapat peluang tercapainya kesepakatan itu sangat kecil.
Blinken melawat ke Riyadh hampir tujuh bulan setelah konflik di Gaza yang menghambat kemajuan kebijakan luar negeri Presiden AS Joe Biden yang bersejarah.
Lawatan itu juga berlangsung menjelang Pemilu AS pada November ketika warga akan menentukan apakah Biden yang berusia 81 tahun itu akan mendapatkan masa jabatan kedua. Pemilu tersebut bisa saja menghambat kemajuan normalisasi hubungan antara Saudi dan Israel yang telah dicapai sejauh ini.
Pada September, sebelum serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober yang memicu perang, Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman mengatakan kepada Fox News bahwa “setiap hari kita semakin dekat” untuk mencapai kesepakatan yang juga dapat meningkatkan kemitraan keamanan Washington-Riyadh.
Namun, Pangeran Mohammed, yang merupakan pemimpin de facto Arab Saudi yang berusia 38 tahun, juga menyatakan bahwa isu Palestina "sangat signifikan" bagi Riyadh. Dia menambahkan bahwa "penting bagi kita untuk membantu meringankan penderitaan rakyat Palestina."
Ketika pertempuran berlarut-larut dan para mediator berjuang untuk mencapai gencatan senjata, para pejabat Saudi menegaskan kembali desakan mereka untuk mengakui negara Palestina merdeka.
Putri Reema binti Bandar al-Saud, duta besar Saudi untuk Washington, menyatakan kepada Forum Ekonomi Dunia pada Januari bahwa normalisasi tidak mungkin terjadi tanpa adanya jalan yang "tidak dapat dibatalkan" menuju pembentukan negara tersebut.
Menurut analis Saudi Aziz Alghashian, meskipun tidak mengejutkan jika Arab Saudi menghubungkan normalisasi hubungan dengan Israel dengan penyelesaian konflik Israel-Palestina, "biaya yang harus dibayar untuk normalisasi, terutama oleh pihak Palestina, pasti akan meningkat."
“Yang bisa dikatakan adalah perlu ada sesuatu yang lebih nyata daripada teori,” ujarnya.
BACA JUGA: Saudi: Tidak akan Ada Hubungan Diplomatik dengan Israel Tanpa Negara Palestina Merdeka“Dengan kata lain, lebih banyak langkah yang jelas dan tidak dapat diubah, bukan sekedar janji.”
Departemen Luar Negeri AS mengatakan bahwa Blinken akan membahas “jalan menuju negara Palestina merdeka dengan jaminan keamanan bagi Israel”, dalam pembicaraan di Riyadh pada Senin dan Selasa.
Kemajuan yang Terganggu
Arab Saudi, rumah bagi situs-situs paling suci umat Islam, tidak pernah mengakui Israel dan tidak bergabung dengan Perjanjian Abraham (Abraham Accords) 2020 yang dimediasi oleh AS. Berdasarkan perjanjian itu, negara tetangganya di Teluk, yaitu Bahrain dan Uni Emirat Arab, serta Maroko, menjalin hubungan formal dengan Israel.
Pada debat 2019, Biden bertekad akan memperlakukan Pangeran Mohammed sebagai "paria" terkait isu hak asasi manusia.
Namun, setelah Biden mengunjungi Kota Jeddah dan saling 'fist-bump' atau adu kepalan tangan dengan putra mahkota pada 2022, pemerintahannya aktif mengejar kesepakatan Saudi-Israel yang akan memperkuat Perjanjian Abraham, sebuah kemenangan kebijakan luar negeri bagi pendahulunya, Donald Trump.
Saudi mengindikasikan bahwa mereka menginginkan lebih dari yang dimiliki negara-negara Teluk, dengan melakukan tawar-menawar yang tegas untuk mendapatkan keuntungan seperti jaminan keamanan AS dan bantuan program nuklir sipil dengan kapasitas pengayaan uranium.
Dalam beberapa bulan berikutnya, pejabat Israel dan AS mengeluarkan pernyataan optimis, sementara Arab Saudi, seperti biasanya, tidak banyak berkomentar.
Pengaruh mereka, yang diperkuat oleh status mereka sebagai pemimpin di dunia Muslim, tidak pernah diragukan, kata Elham Fakhro dari lembaga kajian Chatham House.
“Arab Saudi menyadari betapa pemerintahan Biden sangat menginginkan kesepakatan,” kata Fakhro.
“Mereka juga sadar bahwa tidak ada negara Arab lain yang mempunyai pengaruh sebesar yang mereka miliki dalam melobi Palestina.”
BACA JUGA: Makin Akrab, Biden Jabat Erat Tangan Putra Mahkota SaudiSeluruh momentum apa pun tiba-tiba terhenti setelah serangan Hamas pada 7 Oktober, yang mengakibatkan kematian sekitar 1.170 orang, sebagian besar warga sipil, menurut penghitungan AFP berdasarkan angka resmi Israel.
Serangan militer balasan Israel untuk menghancurkan Hamas telah menewaskan lebih dari 34.000 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menurut kementerian kesehatan di Gaza yang dikuasai Hamas.
Riyadh secara konsisten mengecam tindakan pasukan Israel di Gaza, dan menuduh mereka melakukan “kejahatan perang keji yang tidak terkendali” minggu ini.
Perintah yang Sulit
Bahkan tanpa perang Gaza, mencapai kesepakatan Saudi-Israel-AS akan menjadi sebuah tantangan besar.
“AS harus mewujudkan sesuatu dan tidak ada syarat (atau permintaan) Arab Saudi yang mudah,” kata Fakhro.
“Pakta pertahanan harus melalui Kongres dan persetujuannya masih jauh dari pasti.”
Kemarahan yang muncul selama musim pemilihan di AS membuat terciptanya kesepakatan bipartisan semakin sulit.
BACA JUGA: Biden Sebut Pendekatan Netanyahu terhadap Perang Hamas sebagai ‘Kesalahan’Bagaimanapun, Netanyahu telah berulang kali menegaskan penolakannya terhadap negara Palestina. Ia menegaskan pada bulan lalu bahwa Israel menolak segala upaya untuk “menjejalkan” usulan tentang negara Palestina tersebut.
Mengingat posisi Arab Saudi, hal ini berarti tidak mungkin terjadi terobosan dalam waktu dekat.
Para pengamat diplomasi Saudi menegaskan bahwa situasi ini tidaklah mengejutkan, meskipun terjadi banyak pertemuan dan pernyataan baru-baru ini.
“Sejak awal, Arab Saudi sudah jelas: mengatasi konflik Palestina-Israel dengan cara yang memuaskan rakyat Palestina adalah prasyarat untuk normalisasi dengan Israel,” kata analis Saudi, Hesham Alghannam.
"Arab Saudi sungguh-sungguh dalam kondisi bahwa normalisasi terkait dengan akhir dari pendudukan Israel atas tanah Palestina,” tukasnya. [ah/ft]