Dalam pertemuan dengan Raja Yordania Abdullah II dan Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, Minggu, Menteri Blinken berbicara tentang perlunya Israel mengurangi korban sipil dalam perang Israel-Hamas di Gaza. Ia juga mengatakan bahwa pembicaraan mencakup upaya membebaskan lebih dari 100 sandera yang diyakini masih ditahan Hamas setelah perjanjian sebelumnya yang dimediasi Qatar gagal.
Pada konferensi pers bersama Perdana Menteri yang merangkap Menteri Luar Negeri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al Thani di Doha, Blinken mengakui, “Ini adalah momen ketegangan yang mendalam di kawasan. Ini adalah konflik yang bisa dengan mudah menyebar, menyebabkan lebih banyak ketidakamanan dan bahkan lebih banyak penderitaan.”
Memulai pembicaraan mengenai masa depan Gaza pascaperang, Blinken meyakinkan pemimpin Arab bahwa Amerika menentang pemindahan paksa orang-orang Palestina dari Gaza atau Tepi Barat yang diduduki.
“Warga sipil Palestina harus bisa kembali ke rumah mereka segera setelah kondisinya memungkinkan. Mereka tidak bisa, dan tidak boleh, dipaksa untuk meninggalkan Gaza,” imbuhnya.
BACA JUGA: Raja Abdullah Peringatkan ‘Dampak Bencana’ Perang Israel-HamasDalam kesempatan itu, Blinken menanggapi pembunuhan dua jurnalis Al Jazeera, media yang berbasis di Qatar, dalam serangan Israel di Gaza. Ia menyebutnya “tragedi yang tak terbayangkan”. "Ini juga terjadi pada terlalu banyak laki-laki, perempuan, dan anak-anak Palestina yang tidak bersalah," kata Blinken mengenai kematian Hamza Wael Dahdouh dan Mustafa Thuria.
Kantor berita Associated Press melaporkan, Hamza adalah putra koresponden kawakan Al Jazeera Wael Dahdouh, yang telah kehilangan istri, dua anak, dan seorang cucu – dan hampir membunuh dirinya pada awal perang. Belum ada komentar dari militer Israel mengenai pembunuhan kedua jurnalis.
Setelah Qatar, Blinken melanjutkan lawatannya di Timur Tengah ke Uni Emirat Arab. Ia juga akan ke Arab Saudi, Israel, Tepi Barat, dan Mesir sebelum kembali ke Washington. Ini adalah misi keempat Blinken di wilayah tersebut sejak perang dimulai.
Di Israel, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Minggu, di depan kabinet perang negaranya berkomitmen melanjutkan aksi militer Israel terhadap Hamas di Gaza.
“Kita tidak boleh berhenti berperang sampai kita mencapai semua tujuan: ditumpasnya Hamas, dibebaskannya semua sandera dan janji bahwa Gaza tidak akan lagi menjadi ancaman bagi Israel,” tandas Netanyahu.
Netanyahu menegaskan, “Kemenangan hanya akan tercapai jika kita mencapai tujuan kita,” katanya kepada anggota kabinet.
BACA JUGA: Dua Jurnalis Tewas dalam Serangan Udara Israel di GazaBerbicara di Yerusalem, mantan Wakil Presiden Amerika Mike Pence menyatakan merasa “terganggu” mendengar bahwa diam-diam pemerintahan Biden menekan Israel agar menyetujui gencatan senjata lagi atau memperlambat operasi militernya di Gaza. Pence meminta Amerika agar mengirim “pesan yang jelas dan tidak ambigu,” mendukung Israel sampai Hamas “ditumpas.”
Sementara itu di Gaza tengah, direktur Rumah Sakit Al-Aqsa Iyad Abu Zaher meminta masyarakat internasional agar mencegah apa yang disebutnya “bencana nyata” jika fasilitas medis dan pekerja kesehatan tidak dilindungi dalam perang antara Hamas dan Israel.
Your browser doesn’t support HTML5
Menanggapi permintaan Zaher, Sean Casey dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada konferensi pers di luar rumah sakit tersebut mengatakan rumah sakit Al-Aqsa “kewalahan melayani banyak pasien” dan “sangat sedikit staf yang merawat pasien.”
“Fasilitas kesehatan harus dilindungi. Tenaga kesehatan harus dilindungi. Pasien harus aman dan dapat mengakses perawatan,” kata Casey.
Lebih dari 22.800 orang Palestina telah tewas dalam perang itu, sebagian besar perempuan dan anak-anak, menurut Kementerian Kesehatan di Gaza yang dikuasai Hamas yang tidak membedakan antara kematian warga sipil dan kombatan. Sekitar 1.200 orang, sebagian besar warga sipil, tewas di Israel dalam serangan Hamas yang memantik perang tersebut. [ka/lt]