Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan Indonesia sangat prihatin terhadap tindakan Presiden AmerikaSerikat Donald Trump yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Menurut dia, perubahan atas status Yerusalem tersebut akan membahayakan proses perdamaian Palestina-Israel yang selama ini terus diupayakan.
"Segala perubahan atas status Yerusalem akan membahayakan proses perdamaian dan perdamaian itu sendiri. Saya juga menyebutkan pemerintahan dan kebijaksanaan Amerika Serikat dibutuhkan dalam masalah Palestina," kata Menlu Retno.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump Rabu (6/12) akhirnya secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel dan memerintahkan upaya pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat dari Tel Aviv ke Ibukota segera.
Amerika Serikat sebenarnya sudah mengesahkan Jerusalem Embassy Act pada 1995, dan mewajibkan pemerintah Amerika memindahkan kedutaannya ke Yerusalem. Namun undang-undang yang disahkan di era Presiden Bill Clinton itu, selalu ditunda oleh tiap presiden Amerika karena khawatir tindakan itu bakal menghancurkan proses perdamaian dan memperluas konflik.
Para pemimpin Arab, termasuk Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan Raja Abdullah dari Yordania, telah memperingatkan perubahan status atas Yerusalem bisa berakibat sangat fatal.
Ketua Prakarsa Persahabatan Indonesia-Palestina, Din Syamsuddin, juga menyayangkan sikap presiden Amerika Serikat tersebut. Menurutnya persoalan Yerusalem inilah sebenarnya yang menjadi hal penting dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina.
Yerusalem, kata Din, seharusnya tidak dimonopoli oleh sebuah negara . Langkah Trump mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel, menurut Din, justru akan memperburuk situasi dan menjauhkan resolusi konflik antara Palestina-Israel.
"Dunia termasuk dunia Islam sudah sangat moderat untuk mendukung solusi dua negara (Palestina-Israel) untuk hidup berdampingan secara damai. Tetapi itu belum terealisasi karena masalah ibukota, maka yang realistis Yerusalem dibagi kepada dua negara. Di bagian timur itu Palestina dan bagian barat untuk Israel," kata Din Syamsudin.
Opsi kedua adalah Yerusalem ditinggalkan dan menjadi kota internasional, kota suci tiga agama dan tidak menjadi ibu kota politik, kata Din Syamsudin menambahkan.
Din Syamsuddin menyatakan radikalisasi di dunia Islam sebagian di picu oleh tidak terselesainya konflik Palestina-Israel. Apalagi, lanjut Din, jika ada ketidakadilan global yang ditampilkan oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat.
"Itu yang mendorong radikalisasi di dunia Islam. Itu yang akan repot, lingkaran-lingkaran moderat dunia Islam akan kerepotan jika radikalisasi menguat hanya karena gara-gara ketidakadilan dalam penyelesaian masalah Israel-Palestina,” ujar Din Syamsuddin.
Yerusalem sendiri sebenarnya berstatus di bawah hukum internasional sejak Israel mencaplok kota suci tiga agama itu pada 1967. Namun secara sepihak negara Zionis ini mengklaim Yerusalem atau Al-Quds dalam bahasa Arab, sebagai ibu kota abadi mereka dan tidak dapat dibagi dua dengan Palestina.
Klaim ini dilakukan lewat Hukum Dasar Yerusalem yang disahkan Knesset (parlemen Israel) pada 1980.
Palestina selama ini menuntut kemerdekaan atas wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
Your browser doesn’t support HTML5