Indonesia menekankan pentingnya kesatuan dan solidaritas dari kelompok G77 mengingat negara berkembang adalah pihak yang paling terkena dampak jika suatu krisis terjadi. Komitmen Indonesia tersebut dapat dilihat ketika mengemban tugas sebagai Ketua kelompok 20 ekonomi terbesar di dunia, G20 dan Ketua Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (the Association of Southeast Asian Nation/ASEAN).
Hal itu disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat melawat selama dua hari ke Havana, Ibu Kota Kuba pada 15-16 September. Dia juga menghadiri konferensi tingkat tinggi (KTT) G77 mewakili Presiden Joko Widodo.
BACA JUGA: Di KTT G20 India, Jokowi Ragukan Komitmen Negara Maju Atasi Krisis Iklim"Saya juga menekankan pentingnya kesatuan dan solidaritas dari kelompok G77 karena dari satu krisis ke ke krisis lain, negara berkembang selalu paling terdampak. Saya juga menekankan spirit Bandung menjadi lebih relevan saat ini," kata Retno dalam jumpa pers secara virtual dari Havana, Sabtu (16/9).
G77 adalah kelompok kerja sama negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang terdiri dari 134 negara berkembang dengan agenda utama memajukan kerja sama pembangunan.
Pada kesempatan yang sama, Retno juga menegaskan pentingnya memperkuat multilateralisme, yang mana G77 harus menjadi petunjuk moral bagi multilateralisme, solidaritas dan kemitraan yang saling menguntungkan.
Indonesia, kata Retno, juga mengimbau agar G77 mendorong upaya memperkuat hak pembangunan bagi negara berkembang, termasuk hak untuk membangun industri hilir dan menjadi bagian dari rantai pasok global.
Selain itu, ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi berperan sangat penting, karena itu G77 harus dapat mendorong akses lebih kuat bagi ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi untuk negara berkembang.
“Oleh sebab itu, Indonesia mendorong penguatan kerja sama di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi serta siap berkontribusi melalui Gerakan Non-Blok dan kerja sama pembangunan Indonesia,” tambah Retno
BACA JUGA: Seberapa Besar Keberhasilan Indonesia Sebagai Ketua ASEAN?Retno menambahkan pertemuan G77 di Havana menghasilkan satu dokumen yang diberi nama Deklarasi Havana, yang menekankan antara lain peran penting ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi dalam pencapaian tujuan pembangunan global jangka pendek dan dalam mengatasi berbagai tantangan global.
Deklarasi Havana menyoroti kesenjangan akses antara negara berkembang dan negara maju terhadap ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi. Deklarasi Havana menegaskan pula komitmen penguatan kerjasama selatan-selatan, selatan-utara, dan triangular di sektor ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi.
Pengaruh G77 Tidak Signifikan
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Diponegoro Mohamad Rosyidin mengingatkan pengaruh G77 saat ini tidak terlalu besar ketimbang kelompok lain seperti G20 atau G7.
"Ini karena terlalu gemuk anggotanya. Ada 77 negara berkembang dan masing-masing tentu punya kepentingan. Apalagi dikaitkan dengan rivalitas negara-negara besar, pasti semuanya tidak bisa solid satu suara. Ada yang pro-Amerika, ada yang pro-China, dan sebagainya. Ini menyulitkan G77 untuk bisa memberikan pe garuh bagi tata kelola internasional," ujar Rosyidin kepada VOA.
Selain keanggotaan kelewat besar, G77 tidak mempunya platform kuat soal bagaimana visi terhadap tatanan internasional. Solidaritas G77 sudah luntur dan tidak memiliki posisi ketika menghadapi isu-isu internasional, seperti Perang Rusia-Ukraina.
Your browser doesn’t support HTML5
Dalam konteks ekonomi, menurut Rosyidin, kerja sama selatan bisa mengakomodasi kepentingan negara-negara berkembang untuk bisa maju. Namun, sejauh ini dia melihat G77 tidak banyak berperan menyuarakan kepentingan negara berkembang di tataran global.
Kebanyakan isu yang diusung G77 adalah pembangunan, khususnya investasi dan ekspor impor karena G77 menguasai 80 persen total penduduk dunia.
Menurutnya, G77 harus mempunyai negara yang memainkan peran sebagai pemimpin tapi bukan jabatan ketua. G77 juga harus memiliki visi tatanan global yang berpihak pada negara berkembang. [fw/ah]