Afghanistan merupakan salah satu negara miskin dan diliputi konflik kepanjangan. Berbagai masalah sosial eksis di sana, mulai dari kekeringan, krisis pangan dan air bersih hingga akses pendidikan yang sulit dijangkau terutama untuk perempuan dan anak di negara itu.
Hampir 80 persen anak perempuan Afghanistan tidak memperoleh hak untuk mengenyam pendidikan dan hak-hak lainnya.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi saat menghadiri pertemuan High-Level Event on Global Solidarity with Afghan Woman and Girls di Markas Besar PBB di New York, Selasa (19/9), mengatakan politik jangan sampai menghalangi solidaritas untuk menciptakan perdamaian dan kemakmuran di Afghanistan. Pasalnya, kata Retno, di atas politik, masih ada kemanusiaan.
“Kita semua berada di sini untuk satu tujuan, yaitu untuk perempuan dan anak-anak perempuan Afghanistan. Solidaritas artinya empati dan dukungan nyata,” tegas Retno.
Dunia, kata Retno, mengetahui perempuan dan anak-anak perempuan di Afghanistan menghadapi situasi yang mengkhawatirkan. Karena itu, Retno menanyakan kembali apa yang akan dilakukan masyarakat global terhadap masalah tersebut.
"Apakah kita akan membiarkan situasi politik menghalangi kita membantu dan duduk diam sedangkan jutaan wanita dan anak perempuan Afghanistan menderita. Atau kita akan melakukan apa saja yang kita bisa untuk membantu mereka tanpa mempedulikan kondisi politik (di Afghanistan)," katanya.
Indonesia meyakini membantu kaum hawa di Afghanistan merupakan pilihan yang bijak. Indonesia terus berkomitmen untuk membantu rakyat Afghanistan dalam hal bantuan kemanusiaan, memberdayakan peran ulama, dan pemberdayaan kaum hawa, terutama dalam sektor pendidikan.
Dalam konteks bantuan kemanusiaan, menurut Retno, Indonesia bekerja sama dengan UNICEF akan mengirim sepuluh juta dosis vaksin Polio ke Afghanistan. Kemudian, katanya, ulama-ulama Indonesia juga berbagi pengalaman bagus kepada ulama-ulama Afghanistan tentang bagaimana Indonesia memberikan hak yang sama bagi perempuan untuk memperoleh pendidikan.
Retno menambahkan sejumlah ulama Indonesia tergabung dalam sekelompok ulama dari Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang berkunjung ke Afghanistan.
BACA JUGA: Indonesia Sesalkan Taliban Larang Perempuan BerkuliahLebih jauh ia mengatakan, Indonesia juga telah memberikan beasiswa dan pelatihan untuk perempuan Afghanistan. Menurut keterangannya, Indonesia bersama Qatar juga menyelenggarakan konferensi internasional pertama yang membahas pendidikan bagi perempuan Afghanistan pada Desember tahun lalu.
Dari pertemuan itu, lanjutnya, berhasil diperoleh dukungan finansial yang signifikan untuk perempuan di Afghanistan. November tahun ini, Indonesia dan Qatar akan menggelar konferensi kedua tentang pendidikan bagi perempuan Afghanistan.
Retno menekankan Indonesia melakukan segala upaya karena ingin melihat Afghanistan menjadi negara yang damai dan sejahtera.
Menanggapi pidato Retno tersebut, pengamat Hubungan Internasional dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nanto Sriyanto menyatakan sikap dan pernyataan Retno konsisten sejak kunjungan Presiden Joko Widodo ke Afghanistan pada Agustus 2021.
"Apa yang sudah dilakukan oleh diplomat Indonesia yang melihat perempuan dan perdamaian di Afghanistan adalah dua hal yang sering luput dari perhatian banyak pihak. Bahkan negara-negara besar cenderung melihat perdamaian di Afghanistan semata persoalan terorisme, geopolitik," ujar Nanto kepada VOA.
Nanto menambahkan apa yang didorong oleh Indonesia merupakan hal penting meski tidak selalu menjadi bahasan utama dalam banyak kajian. Dia menilai walau Afghanistan secara budaya sangat didominasi oleh lelaki, tapi peran perempuan cukup signifikan dan sekarang justeru terabaikan akibat situasi di Afghanistan.
Nanto menilai dalam konteks sesama negara Muslim, Indonesia bersama Qatar dan beberapa negara lainnya dapat saling bersosialisasi mengenai peran perempuan. Indonesia juga telah berbagai pengalaman dengan berbagai komunitas di Afghanistan sebelum Taliban berkuasa lagi di negara Asia Tengah itu.
Menurutnya, Indonesia memang mengajukan syarat untuk pengakuan terhadap Taliban sebagai penguasa Afghanistan, namun di sisi lain Indonesia melihat ada kemungkinan Taliban akan berubah sikap. Ia menilai, isolasi atau hubungan diplomatik adalah harga mati dan bukan solusi sehinggapendekatan terhadap Taliban harus terus dilakukan.
Kepemimpinan Taliban di Afghanistan tambahnya masih bersifat tekstualis seperti pemahaman mereka. Dia mengakui pemerintahan Taliban belum banyak berubah di mana perempuan di Afghanistan belum banyak diberdayakan.
BACA JUGA: Kelompok HAM Klaim Taliban Aniaya Perempuan dan Anak PerempuanNanto menilai Indonesia masih melihat isu pemberdayaan perempuan di Afghanistan masih belum digarap dengan baik dan masih kurang dukungan. Karena itu, Indonesia melihat perlu sosialisasi agar makin banyak negara memberi perhatian.
Dia mengingatkan pemberdayaan perempuan di Afghanistan membutuhkan waktu dan memerlukan keberlangsungan. Namun terdapat sebuah tantangan terkait hal itu, yaitu apakah Indonesia bisa konsisten dengan pendekatan tersebut.
Sudah dua tahun lebih Taliban memimpin Afghanistan, tetapi hingga kini belum ada satu negara pun yang mengakui kepemimpinannya tersebut karena diantaranya dinilai belum menghormati hak asasi manusia, membentuk pemerintahan inklusif dan mengakui hak-hak semua warga negara Afghanistan. [fw/ab]