Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan perlunya Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) untuk menyatakan bahwa pendudukan Israel di wilayah Palestina secara keseluruhan adalah tindakan yang melanggar hukum atau ilegal. Oleh karena itu, Israel yang tengah menduduki Palestina diharapkan untuk segera menarik diri dari wilayah tersebut tanpa prasyarat atau tunduk pada negosiasi apapun.
Pandangan lisan mengenai isu Palestina tersebut disampaikan Retno secara lisan di hadapan ICJ, Den Haag, Belanda, Jumat (23/2). Indonesia diberi kesempatan berbicara di ICJ bersama dengan Namibia, Norwegia, Oman, Pakistan, Qatar, Inggris, Sudan, Swiss, Suria dan Tunisia.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta Indonesia dan 51 negara lainnya, serta tiga organisasi internasional untuk menyampaikan pernyataan lisan dalam proses pembentukan advisory opinion atau nasihat hukum tentang konsekuensi pendudukan Israel di Palestina.
Retno menyampaikan pendudukan Israel atas wilayah Palestina dilakukan dengan berbagai kekerasan yang tidak dapat dibenarkan. Indonesia melihat Israel terus memperluas permukiman Yahudi yang bersifat ilegal di Tepi Barat. Kebijakan Israel untuk memindahkan bangsa Palestina secara paksa sangat melanggar hukum humaniter internasional dan bertentangan dengan Konvensi Jenewa.
Menurutnya, kependudukan Israel secara permanen tidak akan pernah menjadi dasar yang sah untuk mengklaim hak legal atas wilayah Palestina. Retno juga menggarisbawahi tidak ada negara yang kebal hukum dan hukum internasional ICJ harus dijunjung tinggi.
"Pendudukan Israel terhadap wilayah Palestina tidak berdasar hukum dan kekejamannya harus dihentikan, tidak boleh dinormalisasi atau diakui. Sangat jelas, Israel tidak memiliki keinginan untuk menghormati kewajiban-kewajibannya dalam hukum internasional," tukas Retno.
Menurutnya, semua negara dan PBB tidak boleh mengakui situasi legal yang timbul akibat pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Israel.
Retno juga menegaskan ICJ memiliki yurisdiksi untuk memberikan fatwa hukum. Saat ini memang tidak ada proses perundingan antara Palestina dan Israel. Sebaliknya, Israel terus melanggar semua ketentuan hukum internasional dan tidak menghiraukan keputusan-keputusan Dewan Keamanan PBB. Yang lebih parah, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan sangat bangga dapat menggagalkan upaya pembentukan negara Palestina.
Retno menekankan fatwa hukum ICJ tidak ditujukan untuk mengambil keputusan akhir dari konflik saat ini. Solusi hanya dapat dilakukan melalui perundingan. Menurutnya, fatwa hukum ICJ akan secara positif membantu proses perdamaian dengan cara mempresentasikan elemen hukum tambahan bagi penyelesaian konflik secara menyeluruh.
BACA JUGA: AS: Pemukiman Baru Israel di Tepi Barat ‘Melanggar’ Hukum InternasionalMajelis Umum PBB pada akhir 2022 meminta ICJ mengeluarkan fatwa hukum terkait konsekuensi hukum dari kebijakan ilegal Israel terhadap Palestina. ICJ kemudian meminta sejumlah negara untuk memberi pandangan hukum guna membantu ICJ menyusun fatwa hukumnya.
Karena itu, lanjut Retno, Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk menyampaikan pandangan hukumnya di hadapan ICJ. Pandangan tertulis sudah disampaikan pada Juli tahun lalu.
Dukung Perjuangan Palestina
Guru Besar Hukum Internasional yang sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, Hikmahanto Juwana, mengatakan tampilnya Indonesia dalam sidang Mahkamah Internasionalmerupakan bagian dari langkah diplomasi Jakarta dalam mendukung perjuangan Palestina.
Hikmahanto menilai Majelis Umum PBB mencerminkan demokrasi masyarakat internasional, yang jauh lebih demokratis dibanding forum Dewan Keamanan yang masih memberi hak istimewa pada lima negara besar, yaitu Amerika Serikat (AS), Inggris, Prancis, China dan Rusia untuk menentukan keputusan.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara Mohamad Rosyidin, pengamat hubungan internasional dari Universitas Diponegoro, berpendapat bahwa dalam kancah politik internasional, setiap negara memiliki kedudukan yang sama atau setara. Artinya tidak ada negara yang secara inheren lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lain.
Ia berpendapat hukum internasional dan badan penegaknya tetap ada, tetapi pengaruhnya terbatas. Yang berpengaruh, kata Rosyidin, adalah politik kekuasaan, yaitu negara-negara yang kuat menekan yang lemah. Permasalahannya adalah bahwa negara-negara yang kuat sering menjadi pelanggar terbesar hukum internasional.
Rosyidin mengatakan ketergantungan Israel kepada AS cukup besar, terutama pada bidang militer. Salah satu indikasi AS bisa mempengaruhi Israel adalah keputusan Israel untuk menarik sebagian pasukannya dari Gaza atas desakan Washington. [fw/ah]