Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi, Jumat (23/2) menegaskan “tidak ada satu pun negara yang berada di atas hukum,” merujuk pada pendudukan ilegal Israel atas Palestina selama 57 tahun terakhir.
Pernyataan ini disampaikannya dalam sidang Mahkamah Internasional PBB di Den Haag, Belanda, yang dilangsungkan sejak hari Senin lalu (19/2) untuk menghasilkan advisory opinion atau fatwa hukum tentang legalitas pendudukan Israel selama 57 tahun di wilayah yang diupayakan sebagai sebuah negara Palestina.
Retno membuka pernyataan lisannya dengan mengajak 15 hakim pengadilan itu untuk melihat dua aspek utama dalam isu tersebut, yaitu yurisdiksi dan substansi. Mahkamah Internasional menurutnya memiliki yurisdiksi untuk memberikan advisory opinion karena “pemberian fatwa hukum tidak mengganggu proses negosiasi perdamaian, tidak ditujukan untuk mengambil kesimpulan akhir dari konflik saat ini, dan akan secara positif membantu proses perdamaian (Israel-Palestina) dengan mempresentasikan elemen hukum tambahan bagi penyelesaian konflik secara menyeluruh."
Sementara terkait substansi, Mahkamah Internasional PBB, ujar Retno, “telah secara tegas menyatakan Palestina berhak untuk menentukan nasib sendiri (self-determination), sehingga hal ini tidak lagi menjadi isu.” Ditambahkannya, berbagai keputusan Dewan Keamanan PBB dan Sidang Majelis Umum PBB juga telah memperkuat hal itu, dan “memenuhi hak tersebut menjadi kewajiban bagi semua (erga omnes).”
Dengan gamblang Retno menyampaikan empat alasan untuk mendukung pernyataannya itu. “Pertama, pendudukan Israel dilakukan sebagai hasil dari penggunaan kekerasan yang tidak dapat dibenarkan (unjustified). Kedua, Israel telah melakukan aneksasi ilegal terhadap Occupied Palestinian Territory (OPT). Ketiga, Israel terus memperluas pemukiman ilegal (dengan) memindahkan penduduknya ke wilayah pendudukan dan secara paksa memindahkan bangsa Palestina dari wilayah pendudukan, yang sangat berlawanan dengan aturan dasar dalam Hukum Humaniter Internasional. Keempat, Israel telah menerapkan kebijakan apartheid terhadap bangsa Palestina, terlihat dari diberlakukannya dua rezim kebijakan yang berbeda untuk warga Yahudi dengan warga Palestina.”
“Saya tegaskan, tidak ada satu pun negara yang berada di atas hukum. Setiap manusia, tanpa kecuali, dilindungi oleh hukum,” tegas Retno.
Saat memberikan keterangan pers secara virtual dari Den Haag seusai berbicara di forum itu, Retno menggarisbawahi “jangan sampai masyarakat internasional terus menerus membiarkan Israel melanjutkan tindakan-tindakan ilegalnya… Dunia dan masyarakat internasional memiliki harapan besar terhadap Mahkamah Internasional.”
Majelis Umum PBB melalui Resolusi 77/247 tahun 2022 telah meminta Mahkamah Internasional mengeluarkan fatwa hukum terkait konsekuensi hukum pendudukan ilegal Israel atas Palestina. Lima puluh satu negara dan tiga organisasi internasional telah diminta memberi masukan untuk membantu menyusun fatwa hukum itu.
Indonesia telah memberi pandangan tertulis pada Juli 2023 lalu.
Menlu Palestina di Sidang ICJ: Israel Lakukan Apartheid
Menteri Luar Negeri Palestina mendapat kesempatan pertama pada hari Senin (19/2) untuk berbicara di sidang Mahkamah Internasional PBB ini. Dengan suara lirih ia mengatakan “rakyat Palestina hampir putus asa mencari jalan keluar, pada siapa lagi mereka harus minta pertolongan.”
Maliki kemudian secara terang-terangan menuduh Israel melakukan apartheid dan mendesak Mahkamah Internasional PBB untuk menyatakan bahwa pendudukan Israel merupakan hal yang ilegal, harus diakhiri dengan segera dan tanpa syarat, agar harapan akan masa depan dua negara dapat bertahan.
Apartheid adalah suatu kebijakan segregasi atau pemisahan berdasarkan ras dan warna kulit. Kebijakan ini pernah diterapkan pemerintah kulit putih di Afrika Selatan dari sekitar awal abad ke 20 hingga tahun 1990.
Afrika Selatan berbicara pada hari kedua, disusul Amerika, Iran, dan China.
Meski Tak Dijadwalkan Bicara, Israel Kirim Surat
Perwakilan Israel tidak dijadwalkan untuk berbicara, namun pada bulan Juli 2023 lalu Israel mengirimkan surat sepanjang lima halaman kepada pengadilan yang diterbitkan setelah sidang hari Senin.
Dalam surat tersebut, Israel mengatakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ke pengadilan bersifat prasangka dan "tidak mengakui hak dan kewajiban Israel untuk melindungi warganya," membahas masalah keamanan Israel atau mengakui kesepakatan Israel-Palestina untuk merundingkan berbagai isu, termasuk "status permanen wilayah, pengaturan keamanan, pemukiman, dan perbatasan."
"Meskipun permohonan yang diajukan ke Pengadilan berusaha untuk menggambarkannya seperti itu, konflik Israel-Palestina bukanlah narasi kartun tentang penjahat dan korban di mana tidak ada hak-hak Israel dan tidak ada kewajiban Palestina," katanya.
"Menghibur kebohongan seperti itu hanya akan membuat kedua belah pihak semakin jauh terpisah dan bukannya membantu menciptakan kondisi yang mendekatkan mereka,” tambah pernyataan dalam surat itu.
Sidang Mahkamah Internasional PBB ini masih akan dilanjutkan minggu depan. [em/dw]