Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) dan Kepala Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro menyatakan virus corona D614G yang disebut 10 kali lebih menular tidak lebih berbahaya dan ganas.
Ia mengatakan, pihaknya sudah berkomunikasi langsung dengan Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID) yang melakukan analisa terhadap virus ini. Mereka, kata Bambang menjelaskan bahwa tidak ada atau belum ada bukti bahwa D614G ini lebih berbahaya dan ganas.
“Pada intinya beliau (Presiden GISAID) menyampaikan bahwa D614G ini sama dengan virus SARS-COV2 yang kita alami selama ini. Artinya belum ada bukti baik terhadap penyebaran maupun terhadap keparahan terhadap penyakit yang disebabkannya,” ujar Bambang dalam telekonferensi pers di Gedung BNPB, Jakarta, Rabu (2/9).
SARS-CoV-2 pada prinsipnya adalah Covid-19 yang dikenal selama ini. Namun virus itu telah bermutasi hingga ribuan kali. Salah satunya hasil mutasinya adalah D614G. Virus hasil mutasi ini disebut D614G karena mengalami perubahan asam amino dari D (asam aspartat) menjadi G (glisin) di posisi 614 dalam struktur molekulnya.
Lebih lanjut, Bambang menjelaskan D614G pertama kali ditemukan pada Januari 2020 di Jerman dan China, dan saat ini telah tersebar di seluruh dunia. Berdasarkan analisa genom yang disebut whole genom sequencing (WGS) dari seluruh sampel yang terkumpul di GISAID dari berbagai penjuru dunia, sekitar 78 persen diantaranya mengandung D614G.
Dari 24 sampel yang dikirim Indonesia ke GISAID, sembilan di antaranya mengandung D614G. Virus hasil mutsi ini ditemukan pada sampel yang berasal dari Surabaya (2), Yogyakarta (3), Tangerang (1), Jakarta (1), dan Bandung (2).
D614G Ditemukan di Indonesia Sejak April
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Amin Soebandrio mengatakan sebenarnya keberadaan D614G sudah terdeteksi di Indonesia sejak April lalu. Hal ini dibuktikan dengan temuan virus hasil mutasi ini di beberapa kota seperti Yogya, Bandung dan Jakarta.
Pihaknya pun telah melakukan penelusuran dan penelitian lebih lanjut terkait laju penyebaran virus ini di Tanah Air.
“Saat ini kami semuanya berupaya untuk mendapatkan informasi lebih lanjut dari kota-kota lain di Indonesia untuk mendapatkan gambaran seberapa luas penyebaran D614G ini dan informasi sementara dari kajian yang belum dilaporkan memang terindikasi ditemukannya mutasi ini,” ungkap Amin.
Senada dengan Bambang, ia menekankan bahwa sampai detik ini belum ada data ilmiah kuat yang membuktikan bahwa virus hasil mutasi ini menular lebih cepat dan mengakibatkan penyakit yang lebih parah.
BACA JUGA: Studi Baru: Mutasi Percepat Penyebaran Virus CoronaBaik Amin dan Bambang mengimbau kepada masyarakat, meskipun belum ada bukti bahwa mutasi virus ini lebih berbahaya dan ganas masyarakat,tidak boleh lengah dan tetap menjalankan protokol kesehatan.
Mutasi Virus Corona D614G Tidak Akan Mengganggu Kinerja Pengembangan Vaksin Covid-19
Bambang menegaskan, meskipun virus corona ini bermutasi, namun tidak akan mempengaruhi kinerja daripada pengembangan vaksin Covid-19 baik yang dikerjakan di Indonesia maupun di dunia.
“Pengaruh dari D614G ini pada intinya tidak akan mengganggu upaya pengembangan vaksin. Karena mutasi ini tidak menyebabkan perubahan struktur maupun fungsi dari Reseptor Bundling Domain (RBD) yang merupakan bagian dari virus spike yang dijadikan target vaksin. Jadi artinya upaya pengembangan vaksin merah putih maupun vaksin di luar tidak akan terganggu dengan keberadaan mutasi D614G ini,” ujar Bambang.
Satgas Covid-19 Awasi Mutasi Virus Corona D614G
Juru bicara Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 Prof Wiku Adisasmito mengatakan pihaknya mengawasi temuan mutasi virus corona D614G di Indonesia. Meski begitu, menurutnya diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan bahwa mutasi virus ini benar-benar lebih menular.
Your browser doesn’t support HTML5
“Dan kami melihat dengan deteksi RNA SARS COV2 ini biasanya lebih tinggi melalui usap mulut dan hidung, dan sebenarnya itu belum tentu cerminan dari potensi penularan. Yang jelas memang menginfeksi, tetapi potensi penularannya seperti apa belum dapat disimpulkan saat ini, dan penelitian-penelitian lebih lanjut harus dilakukan dengan melakukan deteksi terhadap virus-virus yang beredar di Indonesia dan dilihat jenis virusnya tersebut,” ungkap Wiku.
Lanjutnya, jika melihat perkembangan mutasi virus ini yang di temukan di negara lain terbukti bahwa hal tersebut tidak mempengaruhi tingkat keparahan pasien Covid-19.
“Dilaporkan di Inggris ada 999 kasus Covid-19 dan disini dilihat pasien yang terinfeksi virus yang mengandung virus D614G memiliki tingkat RNA virus yang lebih tinggi. Tetapi mereka tidak menemukan perbedaan dalam hasil rawat inap. Dan pengamatan klinis ini didukung oleh dua studi independen dari 175 pasien Covid-19 di Seattle, dan juga 88 pasien di Chicago, Illinois, Amerika Serikat,” paparnya.
Ia juga menambahkan, sampai saat ini faktor yang bisa memperparah penderita Covid-19 adalah orang dengan usia lanjut dan yang mempunyai penyakit penyerta (kumorbid) seperti jantung, ginjal, paru, dan lain-lain.
“Namun perlu kami pastikan bahwa proses penelitian dan investigasi sebaran kasus virus tentunya dilakukan lembaga penelitian bekerja sama dengan kementerian kesehatan,” jelasnya. [gi/ab]