Dalam siaran persnya, Mentan Amran mengatakan banyak generasi milenial yang berminat mengikuti program petani milenial tersebut termasuk bergabung dalam program cetak sawah dan pertanian modern yang ada di Kalimantan Selatan.
Menurutnya, hal ini karena pemerintah terus melakukan intervensi teknologi mekanisasi sebagai upaya mentransformasi pertanian tradisional ke modern.
“Pemerintah telah menyesuaikan (diri) dengan minat petani milenial, yaitu bertani tapi tidak kotor. Dan yang lebih penting bertani mampu menghasilkan keuntungan 2-3 kali lipat,” ungkap Amran.
Berdasarkan informasi yang dihimpunnya, saat ini ada ribuan petani milenial yang telah mendaftarkan diri untuk mengikuti program pertanian modern. Mereka rata-rata berasal dari kampus dan organisasi kepemudaan. Dari hitungan sementara, pendapatan bersih dari pertanian modern ini mencapai kurang lebih Rp20 juta per orang. Pendapatan ini merupakan proyeksi hasil panen yang akan didapat para petani milenial.
“Pertanian modern mampu menekan biaya produksi hingga 50 persen yang diperoleh dari efisiensi tenaga kerja karena kita menggunakan peralatan dan mesin modern, seperti traktor untuk olah tanah, transplanter untuk tanam bibit, drone untuk pupuk dan obat hama, dan combine harvester untuk panen sehingga potensi pendapatan masing-masing petani milenial mencapai Rp10-20 juta per bulan,” jelasnya.
Langkah pemerintah yang meluncurkan program untuk menarik minat anak muda untuk berkecimpung di sektor pertanian bukanlah tanpa alasan.
Wamentan Sudaryono, mengungkapkan mayoritas petani Indonesia saat ini adalah orang tua. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 38,02 persen petani adalah generasi baby boomers atau berusia 41-56 tahun. Sementara untuk petani muda hanya mencapai 21,93 persen, atau sekitar 6,2 juta orang.
Minimnya petani muda atau petani milenial menjadi perhatian serius Kementerian Pertanian karena menyangkut masa depan pangan di Indonesia. Oleh karena itu, pihaknya meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan jumlah petani muda.
"Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Kementerian Pertanian mendorong pertumbuhan petani muda melalui program Duta Petani Milenial (DPM) sebanyak 2,5 juta hingga tahun 2024. Kemudian program lain seperti, Duta Petani Andalan (DPA), Penerapan Digitalisasi Pertanian (PDP) dan Penumbuhan Wirausaha Muda Pertanian (PWMP), serta Program Petani Magang ke luar negeri," ungkap Sudaryono.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 04 Tahun 2019, petani milenial adalah mereka yang berusia 19 hingga 39 tahun dan adaptif terhadap teknologi digital. Program ini bertujuan untuk memulihkan perekonomian masyarakat pertanian, menumbuhkan semangat kewirausahaan, dan meningkatkan produksi pangan dan peternakan.
Apakah Sektor Pertanian Cukup Menjanjikan?
Didik Purwanto seorang petani milenial asal Kediri, Jawa Timur cukup tergelitik dengan program yang diluncurkan oleh pemerintah, dengan janji proyeksi pendapatan Rp10 juta per bulan dengan hanya menjadi seorang petani.
Didik yang sudah menjadi petani sayuran selama kurang lebih dua tahun ini mengatakan, sebenarnya penghasilan di sektor ini tersebut bisa lebih dari Rp10 juta per bulan.
“Tanggapan aku selaku petani milenial sebenarnya tidak setuju dengan program pemerintah, karena penghasilan petani sebenarnya bisa melebihi Rp10 juta per bulan. Saya pernah dapat penghasilan itu dari hasil (bertani) mentimun bisa sampai Rp6 juta per hari. Kalau pas lagi musim kemarau yang airnya sulit, itu biasanya harga-harga (produk pertanian) yang berurusan dengan air seperti mentimun itu sawah harus banyak air, pas kemarau itu biasanya harganya melonjak. Itu bisa sampai tinggi misalnya Rp6000 atau Rp7.000 per kg, ya tinggal kalikan saja (luas lahan), sehari dapat berapa,” ungkapnya ketika berbincang dengan VOA.
Meski begitu, menurutnya, penghasilan dengan besaran fantastis tersebut bisa diraih apabila pemerintah dapat menyelesaikan permasalahan struktural yang menghantui sektor pertanian dari dulu hingga saat ini.
Pertama, katanya, kemudahan untuk mendapatkan pupuk subsidi. Berdasarkan pengalamannya, petani-petani kecil kesulitan untuk meraih pupuk subsidi karena syarat yang diberlakukan tergolong rumit, seperti harus menyertakan sertifikat kepemilikan lahan. Ia menjelaskan, kebanyakan petani yang ada saat ini merupakan petani yang menyewa lahan, dan seringkali pemilik lahan tidak mau menyerahkan salinan atau fotokopi sertifikat lahan kepada para petani penggarap tersebut.
Kedua, katanya, obat-obatan untuk membasmi hama dan benih yang harganya sangat mahal. Hal lainnya, dan yang tidak kalah pentingnya, adalah masalah importasi yang kerap dilakukan oleh pemerintah dengan alasan untuk menstabilkan harga di level konsumen.
“Lalu soal importasi. Stabilisasi harga pangan yang digenjot oleh pemerintah itu sering bertabrakan dengan petani. Misalnya kita lagi panen raya tiba-tiba pemerintah impor beras atau jagung, otomatis harga langsung ambles di sini. Mau gak mau ya kita petani melempar sesuai harga di pasar, sementara harga sudah hancur. Cabai misalnya kalau harganya lagi Rp100 ribu itu kita senang, tapi pemerintah kan selalu melakukan stabilisasi harga, langsung impor otomatis harga langsung anjlok,” jelasnya.
Maka dari itu, menurut Didik, yang paling penting adalah pemerintah harus menyelesaikan dulu masalah-masalah tersebut sehingga dengan begitu sektor pertanian bisa menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit. Maka regenerasi petani bisa terjadi, dan bisa lebih maju ke depannya.
“Makanya program pemerintah ini sepertinya masih sekedar gimmick saja, mereka itu tidak kasih solusi terhadap masalah struktural petani yang selama ini ada. Kalau ini tidak dibenahi dasarnya dulu, nanti petani milenial pas masuk kaget, walaupun Ok dapat gaji (pendapatan) Rp10 juta, kayaknya gede. Tapi pas terjun dan menyelami masalah pertanian pasti kabur duluan,” katanya.
Sementara itu, Guru Besar fakultas pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) -- yang saat ini disebut IPB University -- Dwi Andreas Santosa mengungkapkan program serupa pernah dilakukan oleh pemerintah bekerja sama dengan perusahaan swasta Medco. Namun, sayangnya program tersebut gagal karena tidak ada anak-anak muda kala itu yang mau menjadi petani.
“Itu pernah dilakukan Medco dan tidak ada yang tertarik. Karena pas saat itu 2015 ada pembukaan sawah di Merauke, 1,2 juta hektare walaupun ya gagal total juga. Pas setelah itu Medco menawarkan lulusan IPB bergabung dengan gaji yang juga mendekati Rp10 juta itu tapi tidak ada yang tertarik, dan proyek tersebut gagal,” ungkap Dwi ketika berbincang dengan VOA.
Menurutnya, berdasarkan data statistik dari 17 sektor usaha di Indonesia, sektor pertanian merupakan sektor yang pendapatannya paling rendah. Maka dari itu, ia menekankan selama itu tidak menguntungkan maka anak-anak muda tersebut pasti enggan menjadi petani.
“Mana ada anak muda tertarik, produk pertanian ditekan harganya karena pemerintah terlalu berat sebelah ke konsumen. Ya sudah akhirnya apa? Impor. Itu yang terjadi, masyarakat teriak ketika harga beras naik, terus gimana? sehingga harga gabah kering di tingkat petani ditekan supaya harga beras tidak naik, selesai lah jadi petani, menanam untuk merugi,” jelasnya.
Menurutnya, upaya yang harus dilakukan saat ini oleh pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan petani.
Diakuinya, dalam beberapa tahun terakhir banyak petani muda yang menanam sayur hidroponik atau bergerak di usaha holtikultura dengan memperoleh keuntungan yang baik. Namun, pada umumnya, mereka menolak menanam tanaman pangan secara tradisional.
“Permasalahanya karena (harga) produk terlalu rendah, karena kebijakan pemerintah yang terlalu berat ke konsumen sehingga usaha tani terutama tanaman pangan tidak menguntungkan. Baru dua tahun ini agak membaik harganya, kalau sebelumnya tidak menguntungkan pertanian tanaman pangan, itupun belum kita bicara lahannya di mana dan sebagainya,” jelasnya. [gi/ab]