Mentan Targetkan PDB Sektor Pertanian 4,81 Persen pada 2029

  • Fathiyah Wardah

FILE - Petani membersihkan lahan sawah dari gulma di desa Saojo, Kecamatan Pamona Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. 14 Januari 2021. (Yoanes Litha/VOA)

Presiden Prabowo Subianto telah menjadikan swasembada pangan sebagai salah satu target utama pemerintahannya. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menargetkan kenaikan produk domestik bruto (PDB) sektor pertanian naik dari 0,18 persen menjadi 4,81 persen pada 2029.

Dalam rapat kerja dengan komisi IV DPR di Jakarta, Amran Sulaiman mengatakan telah menyiapkan lima program untuk mencapai target itu, yaitu program swasembada nasional, pengembangan komoditas ekspor strategis, peningkatan produksi susu untuk program pangan bergizi, program pekarangan pangan bergizi dan program mandiri energi B-50.

Untuk mencapai swasembada pangan lima tahun mendatang itu, lanjutnya, adalah dengan mencetak sawah seluas tiga juta hektare, optimalisasi sistem irigasi atau bendungan, transformasi pertanian tradisional ke pertanian modern, dan pelibatan petani milenial/Gen Z.

Menurutnya transformasi pertanian tradisional ke modern diyakini dapat menekan biaya produksi hingga 50 persen dan meningkatkan produksi hingga 100 persen. Sementara program mandiri energi B50, ungkapnya, akan dicapai melalui peningkatan produksi minyak sawit mentah (CPO), peningkatan kapasitas industri biodiesel dan mengurangi ekspor CPO.

FILE - Presiden Joko Widodo dan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman di lahan tebu Merauke, Papua Selatan. (foto dok Setpres)

Beberapa program prioritas yang akan dikerjakan oleh Kementerian Pertanian Tahun Anggaran 2025, kata Amran, di antaranya meliputi program peningkatan produksi padi dan jagung, optimalisasi lahan, program cetak sawah, penyediaan benih dan pupuk subsidi, serta program pertanian modern berbasis petani millenial.

Kementerian Pertanian menargetkan produksi beras tahun depan sebanyak 32,83 juta ton, sedangkan produksi jagung pada 2025 ditargetkan sebesar 16,68 juta ton.

"(Kemudian) program intensifikasi (lahan pertanian) seluas 80 ribu hektare, optimalisasi lahan seluas 350 ribu hektare dengan anggaran cetak sawah yang anggarannya tersedia di Kementan untuk luasan 150 ribu hektare. Namun target yang kita usulkan adalah seluas tiga juta hektare selama empat tahun," katanya.

Pemerintah menyisihkan anggaran Rp.139,4 trilliun untuk membiayai seluruh program ketahanan pangan pada 2025, naik signifikan hingga 21,9 persen dari tahun sebelumnya.

Dalam rapat kerja tersebut, anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Rokhmin Dahuri mengatakan program swasembada pangan atau ketahanan pangan di Indonesia sudah memiliki sejarah panjang, yakni sejak era Orde Baru.

Dia menilai Kementerian Pertanian saat ini hanya memiliki dua strategi dalam mencapai swasembada pangan, yakni program pencetakan sawah dan optimalisasi lahan pertanian.

"Jadi jelaskan kepada kami kiat-kiat apa yang membuat Bapak (Amran Sulaiman) bisa meyakinkan Pak Prabowo dan rakyat Indonesia bahwa melalui pencetakan sawah (swasembada pangan) itu tidak akan gagal lagi, karena ini pertaruhan kita. Sekali ini gagal, sektor pertanian akan sulit untuk bangkit lagi," ujarnya.

BACA JUGA: Aktivis Papua Desak Penghentian Proyek Satu Juta Hektar Sawah di Merauke

Rokhmin mencontohkan di Kalimantan Tengah, menurut penelitian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), hanya seratus ribu hektare lahan yang cocok dijadikan sebagai sawah berdasarkan kedalaman gambut satu meter. Namun pemerintahan sebelumnya memaksakan program ketahanan pangan satu juta hektare di Kalimantan Tengah meski lahannya tidak cocok untuk ditanami padi.

Menurutnya, teknologi pertanian di Indonesia masih buruk dan sistem rantai pasokannya belum bagus. Yang menjadi masalah juga adalah kesejahteraan petani masih menjadi kantong-kantong kemiskinan. Hal ini dikarenakan sebagian besar petani masih merupakan petani gurem, yakni luas sawah miliknya sangat sempit.

BACA JUGA: Pakar Ragukan Janji Prabowo Soal Swasembada Pangan dan Energi dalam 5 Tahun

Rokhmin menyebutkan 60 persen petani di Jawa cuma mempunyai sawah seluas di bawah 0,5 hektare. Padahal untuk dibilang sejahtera dengan penghasilan Rp 7 juta sebulan, menurut Bank Dunia, petani itu harus memiliki sawah seluas 1,5 hetare.

Dia menyebutkan persoalan lainnya di bidang pertanian adalah penyusutan lahan pertanian. Setiap tahun, seratus ribu hektare hingga 150 ribu hektare sawah produktif dialihfungsikan.

Rokhmin mengakui problem lainnya di sektor pertanian adalah 80 persen impor dilakukan oleh mafia pangan. Selain itu, akses petani terhadap kredit masih bermasalah.

Berkaitan dengan impor pangan, dia mengusulkan impor hanya boleh dilakukan terhadap bahan pangan yang tidak bisa diproduksi di Indonesia dan mesti diatur.

FILE - Panen raya komoditas jagung di lahan food estate, di Gunung Mas, Kalteng, 11 Maret 2024. (Humas Kementan)

Pengamat pertanian dari Universitas Gadjah Mada Dwidjono H. Darwanto mengatakan jika pemerintah ingin melakukan swasembada pangan, yang pertama harus dilakukan adalah memperbaiki jaringan irigasi di seluruh Indonesia, yang saat ini 60 persennya telah rusak. Dia mengatakan peningkatan produksi atau swasembada pangan tidak akan tercapai jika airnya tidak mencukupi.

Berdasarkan hasil penelitiannya, kata Dwidjono, irigasi memegang peranan sekitar hampir 15 persen dari peningkatan produktifitas padi. “Minimal kalau kita bisa memperbaiki saluran irigasi ini, saya yakin produktifitas kita bisa meningkat, merata di seluruh Indonesia,” ujarnya.

Lebih lanjut dia mengatakan pada tahun 1984, Indonesia berhasil melakukan swasembada pangan. Hal itu dikarenakan Presiden Soeharto ketika itu telah membangun irigasi secara besar-besaran. Di banyak daerah, tambahnya, dibuat bendungan seperti di Wonogiri dan Boyolali. Namun sayang setelah itu, jaringan irigasinya tidak dipelihara dan akhirnya banyak yang rusak sehingga sulit meningkatkan produktifitas kembali.

FILE - Lahan sawah padi di distrik Kurik, Merauke, Papua Selatan. (foto: Setpres)

Selain memperbaiki jaringan irigasi, yang juga harus dilakukan oleh pemerintah jika ingin melakukan swasembada pangan adalah penggunaan bibit unggul. Menurutnya, varietas unggul itu sekitar 23 persen kontribusinya terhadap peningkatan produktifias. Penggunaan bibit unggul ini tidak dapat disamakan untuk semua daerah.

“Misalnya untuk daerah lahan kering, di daerah Timur Indonesia, itu juga ada ditemukan gogo rancah. Gogo rancah itu untuk padi lahan kering, itu juga sudah ada ditemukan. Kemudian untuk daerah rawa, kan banyak di Kalimantan, daerah rawa itu juga sudah punya bibit unggulnya cuma penyebarannya aja yang masih rendah. Yang cocok untuk daerah kering, daerah rawa, daerah pasang surut, di tanah dataran rendah biasa,” ungkap Dwidjono.

Lahan pertanian di Kajoran, Magelang, Jawa Tengah di kaki Gunung Sumbing. (Nurhadi/VOA)

Selain itu penggunaan pupuk juga hal yang penting diperhatikan, ungkap Dwidjono. Dia mengatakan penggunaan pupuk harus menyesuaikan kebutuhan di lapangan. Pasalnya, selama ini penggunaan pupuk itu sudah ditentukan dosisnya dari pabrik pupuk. Itu seolah-olah hampir semua daerah di Indonesia itu sama, padahal kebutuhan masing-masing daerah atau wilayah berbeda-beda.

Dwidjono menyakini jika perbaikan irigasi, penggunaan bibit unggul yang tepat dan penggunaan pupuk yang bijak dapat dilakukan dengan baik, maka pemerintah dapat melakukan peningkatakan produktifitas padi. [fw/lt]