Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo jengah dengan keraguan banyak pihak soal stok beras di Tanah Air. Pasalnya Indonesia diperkirakan akan mengalami surplus beras setidaknya 1,7 juta ton pada tahun ini.
“Hari ini di Bantul, meyakinkan kita bahwa di seluruh daerah di Indonesia ini memasuki musim panen dari hari ke hari yang makin masif. Bahkan kita katakan, tidak ada hari lagi tanpa panen di hampir semua daerah,” ujarnya.
Syahrul hadir di tengah petani di Bantul, Yogyakarta, Selasa (14/2) petang, yang menyelenggarakan panen raya. Ia bahkan ikut menaiki mesin pemanen di tengah hamparan padi. Satu hektare lahan di kawasan itu, kata Syahrul, menghasilnya 7,8 ton Gabah Kering Panen (GKP).
“Memasuki Februari ini, ada kurang lebih 1,9 juta hektare di seluruh Indonesia yang siap panen,” tandasnya.
Kementerian yang dipimpin Syahrul memang kerap diserang terkait produksi padi dalam negeri. Dalam beberapa kali rapat bersama Komisi IV DPR, kritikan tajam dilayangkan karena pernyataan Syahrul soal swasembada pangan dianggap tidak sesuai dengan kondisi lapangan.
Salah satu faktor yang menguntungkan Indonesia saat ini adalah kondisi alam dan cuaca yang cukup bersahabat. Hujan yang cukup mendukung produksi dalam musim tanam kali ini. Petani telah dapat meulai panen pada Februari, sedangkan puncak panen menurut Syahrul akan berlangsung Maret hingga April.
“Oleh karena itu kita berharap hasil produksi ini segera terproses di semua penggilingan. Dari penggilingan tentu akan menuju pasar, dengan begitu tentu kita berharap ketersediaan di seluruh Indonesia cukup,” tegasnya.
Stok Dipastikan Cukup
Syahrul menyebut, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi beras nasional 32 juta ton, sedang kebutuhan kurang lebih 30 juta ton. Setidaknya, akan ada cadangan hingga 1,7 juta ton. BPS dalam data itu juga menyebut bahwa panen dalam rentang Februari-Maret akan mencapai sekitar 10 juta ton.
Namun, pengamatan Kementerian Pertanian melalui satelit melihat produksi periode itu bahkan dapat mencapai 11,1 juta ton. Data satelit ini dijamin Syahrul valid karena memotret seluruh lahan padi di Tanah Air. Selain itu, laporan dari dinas-dinas provinsi dan kabupaten terkait panen padi, juga mendukung tren yang sama.
“Tidak bener kalau dibilang produktivitas kita kurang,” tegasnya lagi.
Kepala Dinas Pertanian Yogyakarta Sugeng Purwanto mengakui hampir seluruh pusat budidaya padi di daerah ini berasa pasa masa panen raya. Pada Maret dan April nanti, diperkirakan penambahan stok padi akan terjadi karena total luasan tanaman padi di provinsi ini mencapai 193 ribu hektare.
BACA JUGA: Kementan: Ketersediaan Pangan Strategis Cukup AmanSementara Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan Suwandi mengatakan panen raya memang sedang dilakukan di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan sebagian daerah di luar Jawa.
“Dari hasil hitungan kami, perkiraan produksi lebih dari 3 juta ton beras. Ini tentu mencukupi konsumsi beras nasional 2,5 juta ton per bulan. Namun, memang jika dipanennya Februari, masuk pasarnya akan sekitar awal Maret, karena ada proses panen, penggilingan dan sebagainya,” ucapnya.
Hasil Petani Bervariasi
Tidak semua lahan menghasilkan padi sebesar yang diklaim Syahrul Yasin Limpo, yaitu 7,8 GKP per hektare. Di Klaten misalnya, kabupaten yang bersebelehan dengan Bantul, Yogyakarta, hasil per hektarenya relatif lebih rendah.
“Satu hektare ini kalau musim penghujan seperti saat ini paling bisa enam ton,” kata Harjono, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Tani Makmur, Delanggu, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Rabu (15/2).
Salah satu masalah yang mereka hadapi untuk memaksimalkan hasil panen adalah kekurangan pupuk. Sementara ini, petani menyiasatinya dengan penggunaan pupuk organik.
Harjono juga mengatakan periode panen petani di kawasan itu relatif panjang karena tanaman tidak ditanam bersamaan. Panen padi biasanya berlangsung dalam titik-titik tertentu di lahan yang memiliki luas sekitar 10 hektare dan bergiliran. Petani, kata Harjono, sebenarnya sadar bahwa mereka berperan dalam menjaga pasokan besar nasional.
“Kemarin kita dikumpulkan oleh dinas, disuruh untuk ikut menyukseskan ketahanan pangan. Kita mau. Asal harganya sesuai dengan harga keenonomian, karena biaya produksi itu mahal,” tegasnya.
DPR Nilai Beda Data
Dalam pernyataan di laman resminya, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Anggia Erma Rini meminta komunikasi terkait data ketersediaan beras diperbaiki. Dia menyatakan dari hasil pantauannya erdapat perbedaan informasi data dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Kementan.
"Data Bapanas menyatakan bahwa persediaan beras kita minus dalam waktu enam bulan ke depan. Sedangkan data yang disampaikan Kementan berdasarkan BPS, kita sudah surplus. Ini yang perlu kita gali lebih banyak, dan kita tadi lihat di lapangan benar memang tidak ada barangnya (beras),” kata Anggia di Kabupaten Jombang, Kamis (2/2).
Di Jombang, anggota DPR ini berharap menemukan jawaban dari kesimpangsiuran soal stok beras.
BACA JUGA: Meredam Ancaman Krisis Pangan Tahun Depan“Yang harus dilihat apakah benar tidak ada berasnya? Baik itu di petani, di lumbung, di penggilingan, atau di manapun penyimpanannya atau memang sengaja disembunyikan atau bagaimana,” tambahnya.
Karena itu, jika dua institusi pemerintah memiliki data berbeda, DPR meminta ada komunikasi lebih dalam. Jika data salah, Anggia khawatir intervensi yang dilakukan pemerintah juga akan salah.
Daerah Dibebani Masalah
Upaya pemerintah pusat memastikan stok pangan aman, khususnya beras, memang tidak mudah. Di Jawa Tengah misalnya, kata Gubernur Ganjar Pranowo, sejumlah persoalan masih harus diselesaikan untuk mengejar target.
“Dari sisi produksi, ternyata memang ya kita ada masalah. Masalah pertama yang berhasil kita identifikasi adalah luasan panennya memang tidak merata. Kita mau dorong ke kelompok tani, ke Gapoktan dengan para penyuluh agar kita atur pola tanamnya,” kata Ganjar.
Dengan pengaturan pola tanam, pemerintah bisa memprediksi jumlah panen dan stok yang akan dimiliki. Jika memang kondisi tidak terlalu baik, langkah antisipasi bisa dilakukan jauh sebelumnya.
Persoalan kedua adalah digitalisasi, misalnya dengan pemutakhiran kartu tani untuk mendata jumlah petani dan luas area yang mereka kelola. Dengan pola tanam seragam dan data spasial yang tepat, proyeksi panen akan mudah diketahui.
Persoalan lain adalah pada jumlah produksi itu sendiri.
“Kira-kira 5,6 ton per hektare, ini kecil. Terlalu kecil. Apa penyebabnya? Kemungkinan ada dua. Satu benihnya kurang bagus, dua pupuknya kurang,” tandas Ganjar.
Your browser doesn’t support HTML5
Sebagai gambaran, Jawa Tengah membutuhkan pupuk urea sekitar 1 juta ton per tahun, tetapi hanya menerima alokasi 74,05 persen dari angka itu. Selain itu, kebutuhan pupuk NPK mereka mencapai hampir 1 juta ton, dan lagi-lagi pasokan yang tersedia hanya 420.799 ton atau sekitar 42 persennya saja. Sedangkan kebutuhan Jawa Tengah untuk NPK plus berada di angka 2 juta ton dan hanya dipenuhi sekitar 1,1 juta ton.
“Maka kalau kita bicara produktivitas, ya tantangan kita masih berat. Ditambah sekarang perubahan iklim membikin situasi pertanian kita berubah,” tambah Ganjar. [ns/ah]