Arab Saudi harus meninjau kembali tujuan-tujuannya dalam memangkas emisi karbon dan mempertimbangkan adopsi target yang harus dipenuhi paling cepat pada 2030, kata Menteri Transisi Energi Prancis Agnes Pannier-Runacher kepada AFP.
Pannier-Runacher meninggalkan negara eksportir minyak terbesar dunia itu pada Minggu (9/7) pagi setelah bertemu dengan rekan sejawatnya dari Saudi dan para pebisnis Prancis dan Saudi.
Target pengurangan emisi bisa lebih kredibel "ketika kita menetapkan tujuan kita sendiri dalam waktu singkat -- 2030-2035 -- dan karenanya tidak menunda target tersebut hingga 2050," kata Pannier-Runacher dalam wawancara pada Sabtu (8/7) malam.
Arab Saudi berjanji pada 2021 untuk mencapai emisi karbon nol bersih pada 2060.
Perjalanan menteri Prancis itu dilakukan ketika Uni Emirat Arab bersiap untuk menjadi tuan rumah KTT iklim COP28 pada November, sebuah acara di mana negara tetangga Arab Saudi dapat memainkan "peran kepemimpinan," kata Pannier-Runacher.
Pertemuan mengenai iklim ini mewakili "waktu untuk mengevaluasi perjalanan masing-masing negara," tambahnya. Prancis akan melakukannya, "dan tentu saja mendorong semua negara, terutama Arab Saudi, untuk juga meninjau perjalanannya," imbuhnya.
Perusahaan energi Saudi Aramco yang sebagian besar dimiliki negara, merupakan sumber pendapatan utama kerajaan, menargetkan untuk mencapai emisi karbon "operasional net-zero" pada 2050, yang berlaku untuk emisi yang dihasilkan langsung lokasi-lokasi industrinya.
Aktivis lingkungan sangat skeptis terhadap tujuan Riyadh, yang digambarkan Greenpeace sebagai "tidak lain hanyalah propaganda bahan bakar fosil.”
BACA JUGA: Arab Saudi Bertekad Pangkas Ketergantungan pada MinyakPara pejabat di Arab Saudi, eksportir minyak terbesar di dunia yang sedang berupaya melakukan diversifikasi ekonomi, terus mendorong investasi lebih lanjut dalam produksi bahan bakar fosil. Aramco berencana meningkatkan kapasitas produksinya dari 12 juta menjadi 13 juta barel minyak mentah per hari pada 2027.
Aktivis iklim dan beberapa legislator Barat mengkritik pembicaraan COP28, terutama setelah Sultan al-Jaber, CEO Perusahaan Minyak Nasional Abu Dhabi, dipilih untuk memimpin mereka.
Namun, Jaber mendapat dukungan dari pihak COP, termasuk utusan iklim AS John Kerry.
Jaber menyerukan pengembangan cepat energi terbarukan dan mengakui bahwa "penurunan bertahap bahan bakar fosil tidak dapat dihindari."
BACA JUGA: Sejumlah Ekonom Ragukan Gebrakan Arab Saudi dalam Menggaet Investor AsingArab Saudi juga sedang mengembangkan sumber energi terbarukan, termasuk proyek hidrogen hijau di kota megaproyek futuristik bernama Neom yang direncanakan akan menekan investasi sekitar $500 miliar.
Pannier-Runacher pada Sabtu (8/7) menghadiri pertemuan meja bundar tentang hidrogen dan kemudian mengatakan kepada AFP bahwa Prancis sangat ingin bekerja sama dengan kerajaan itu dalam mengembangkan sektor energi nuklirnya.
"Arab Saudi telah meluncurkan kompetisi untuk proyek reaktor nuklir berkekuatan tinggi, dan kami ingin menjadi bagian dari kompetisi ini dan menunjukkan kualitas industri nuklir Prancis untuk dapat memenuhi harapan Arab Saudi," katanya. [ah/rs]