Pada Idul Fitri tahun ini, Hasan Lumi tidak bisa menjalani tradisi tahunan mengunjungi orang tuanya yang tinggal di Kabupaten Tojo Unauna, sekitar 155 kilometer dari rumahnya di kelurahan Sayo, Kecamatan Poso Kota, Kabupaten Poso.
Akibat sampar virus corona, pria berusia 47 tahun itu terpaksa mengurungkan rencana berlebaran bersama orang tuanya. Meski demikian dia bersyukur tahun ini dapat beribadah puasa dengan lancar dan mengikuti salat Ied di masjid dekat rumahnya.
Tahun ini, pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah meniadakan salat Idul Fitri berjamaah di tempat terbuka, masjid, dan musala yang berada di zona merah transmisi Covid-19. Sedangkan di zona kuning dan hijau, salat berjamaah dapat dilakukan seperti biasa, dengan mengikuti protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran penyakit mematikan itu.
Berbicara kepada VOA, Hasan Lumi mengatakan berbeda dengan tahun sebelumnya, tahun ini, dia dan anggota keluarganya hanya bersilaturahmi ke tetangga di lingkungan tempat tinggalnya. Sebelum wabah Covid-19 melanda, dia merasa bebas pergi kemana saja tanpa kekhawatiran tertular penyakit itu.
“Yang bisa kami lakukan itu antara lain silaturahmi ke tetangga, ke keluarga, karena ini ada batasan dengan penularan Covid. Jadi memang sangat terbatas lah. Tapi Alhamdulillah kita sudah syukur selesai melaksanakan ibadah puasa. Jadi bisa silaturahmi menggunakan telepon,” ungkap Hasan Lumi, Minggu (24/5).
Marlina (40), warga desa Sibowi, Kabupaten Sigi, merayakan Idul Fitri dengan situasi prihatin. Pada saat keluarganya masih bergulat dengan kesulitan ekonomi akibat bencana alam pada 2018, bebannya bertambah karena wabah virus corona yang membatasi kegiatan di luar rumah. Bahkan suaminya yang sedang bekerja di Kalimantan tidak dapat pulang dan berkumpul bersama keluarga pada saat hari raya Idul Fitri.
BACA JUGA: Lebaran di Era 'New Normal'Akibat bencana alam gempa bumi 2018 silam, Marlina kehilangan rumah dan sumber pendapatan sebagai buruh tani karena areal persawahan yang belum dapat diolah akibat kekeringan. Dia berusaha memberikan pengertian kepada ketiga anaknya untuk Lebaran tahun ini, dia belum bisa membeli baju baru Dan kue lebaran.
“Ditambah situsi ekonomi belum stabil ditambah corona yah begitulah barangkali,” kata Marlina.
Beban Makin Berat
Adriansa Manu, koordinator Sulteng Bergerak, organisasi yang mendampingi 5.000 penyintas di 18 lokasi hunian sementara dan dua kamp tenda darurat di kota Palu, menceritakan kesederhanaan perayaan Idul Fitri oleh para keluarga penyintas bencana alam di Palu.
Wabah Covid-19 makin memperberat kehidupan para penyintas karena banyak yang kehilangan pekerjaan. Meskipun mendapatkan bantuan sembako berupa lima kilogram beras, bantuan itu tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan beberapa waktu ke depan.
“Di Idul Fitri ini mereka makan apa adanya saja memang. Karena memang kalau kita lihat meski mereka sudah dapat sembako, tapi tidak cukuplah untuk kebutuhan mereka. Sebagian hanya makan mie, hanya makan telur. Itu kan tidak adil buat mereka di tahun ini,” kata Adriansa.
Your browser doesn’t support HTML5
Sulteng Bergerak berharap pemerintah tidak hanya sesekali memberi sembako bagi penyintas, tetapi berkelanjutan sampai mereka benar-benar pulih dari dampak rangkaian bencana alam 2018 dan wabah Covid-19 pada tahun ini.
“Bukan lagi kerawanan tapi sudah krisis pangan karena mereka tidak punya pangan. Memang hanya butuh bantuan. Selama ini mereka bisa makan karena ada bantuan macam-macam lembaga, ada juga dari partai politik. Itulah yang mereka pakai makan,” papar Adriansa Manu.
Adriansa Manu menekankan tanpa makanan yang cukup dan bergizi akan sulit bagi warga di lokasi-lokasi hunian sementara atau di kamp tenda darurat untuk menjaga kondisi kesehatan tubuh mereka terhadap virus corona. [yl/ft]